IMPLEMENTASI PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF DALAM PLURALISME BERAGAMA DI INDONESIA
Aulia Diana Devi1, Seka Andrean2 auliadianadevi15@gmail.com, sekaandrean28@gmail.com
Abstract : This paper aims to describe the normative theological approach to religious pluralism in Indonesia. Research methods are used with the library study approach through library sources from various sources of literature on normative theological approaches in religious pluralism. Then analyzed and presented the data findings objectively. The result of this research is the implementation of normative approaches in religious pluralism in Indonesia through two elements, namely; first, uphold religious tolerance by respecting each other and respecting each other among other religions according to the practice of pancasila. second, the attitude of help in religion manifested in the form of mutual gotong royong in helping others in order to realize the welfare of each other's lives. This means that religious pluralism is an important point in people's lives in Indonesia that have different populations of different races, tribes, ethnicities, and religions.
Keywords: Approach, Normative Theology, Pluralism, Religion.
1 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
2 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
PENDAHULUAN
Di era modernisasi saat ini, pembahasan mengenai “agama” kembali muncul ke permukaan, bahkan menjadi objek kajian yang paling di minati oleh berbagai ilmuwan di dunia. Agama dan masyarakat secara kesatuan mempunyai jalinan yang erat dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dalam agama terkandung sumber nilai dan moral universal sehingga dapat membentuk sikap dan prilaku manusia dalam menjawab tantangan kehidupan. Bahkan dikatakan manusia sebagai makhluk sosial belum menjadi manusia sepenuhnya tanpa agama. Agama bukan nilai yang terpisah dari kehidupan nyata, tetapi menyatu dalam perilaku manusia. Agama merupakan aturan hidup manusia yang memberikan pengajaran serta nilai-nilai kebaikan yang harus dikerjakan setiap pemeluknya.3
Oleh sebab itu, agama mempunyai sifat mengikat pada para pemeluknya, maka ajaran-ajaran moral agama lebih besar dan dalam pengaruhnya dari ajaran-ajaran moral yang dihasilkan falsafah dan pemikiran manusia.4 Ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan Pencipta Alam Semesta mempunyai sifat kekudusan dan absolut yang tidak dapat ditolak oleh manusia. Perintah manusia masih bisa dilawan, tetapi perintah Tuhan tak dapat ditentang. Paham inilah yang membuat norma-norma akhlak yang diajarkan agama mempunyai pengaruh besar dalam membina manusia yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.5 Yang menjadi kritik terhadap agama saat ini adalah bahwa agama, tepatnya pemikiran-pemikiran keagamaannya terlalu menitik beratkan pada struktur-struktur logis argumen tekstual (normatif). Ini berarti mengabaikan segala sesuatu yang membuat agama dihayati secara semestinya. Dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagaman manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan, dimana salah satunya adalah pendekatan teologis normatif.
Jika dilihat seperti ini, agama tentu sudah tidak lagi menjadi sebuah kesatuan entisitas dan kekuatan pendorong bagi terciptanya sebuah tatanan yang rahmatan lil alamin, dan juga agama bukan lagi menjadi sebuah entisitas yang mampu memberikan
3 Catur Widiat Moko, ‘Pluralisme Agama Menurut Nurcholis Madjid (1939-2005) Dalam Konteks Keindonesiaan’, Medina-Te : Jurnal Studi Islam, 13.1 (2017), p. hlm. 62.
4 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2001), p. hlm. 11.
5 Harun Nasution, p. hlm. 12.
kedamaian, kesejukan dan keramahan bagi terciptanya keharmonisan sosial beragama.6 Karena itu, salah satu solusi yang diusung dalam mini riset ini adalah dengan menerapkan teori pluralisme agama dengan menggunakan pendekatan teologis normatif yang diprediksikan cukup ampuh untuk meredam konflik antar umat beragama. Pendekatan teologis normatif penting untuk dipahami, karena setiap agama memiliki sikap-sikap keberagamaan, dimana semua umat beragama mengklaim bahwa agama yang dianut dan diyakini adalah agama yang paling benar. Meski pada kenyataannya tidak bisa dipungkiri bahwa pendekatan teologis normatif merupakan pendekatan yang sudah usang dalam penelitian agama Islam.
Berkaitan dengan hal diatas, Indonesia merupakan negara pluralis artinya bahwa Indonesia adalah bangsa yang dihuni oleh beragam budaya, ras, suku, bahasa, adat istiadat, serta agama. Ada budaya Jawa, Sunda, Madura, Batak, dan lainnya. Setiap budaya memiliki bahasa, dan adat-istiadat yang tidak sama pula. Selain itu, agama yang dianut masyarakat pun berbeda-beda walaupun mayoritas adalah pemeluk Islam, namun di negara ini masih ada penganut Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan sebagainya.
Disamping itu pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan manusia, melalui mekanisme dan pengimbangan masing masing pemeluk agama dan menceritakan secara obyektif dan transparan tentang histores agama yang dianutnya. Kehidupan beragama di masyarakat sering memunculkan berbagai persoalan yang bersumber dari ketidak seimbangan pengetahuan agama, termasuk budaya sehingga agama sering dijadikan kambing hitam sebagai pemicu kebencian. Padahal fitroh agama masing-masing mengajarkan kebaikan dan kemanusiaan.
METODE PENELITIAN
Analisis metode dalam jurnal ini menggunakan library research dengan menggunakan pendekatan filosofis (memgkaji implementasi pendekatan teologis normatif dalam pluralisme beragama di Indonesia). Teknik pengmpulan data yang digunakan dalam artikel adalah dengan teknik dokumentasi yaitu mengumpulan bahan data berupa dari sumber buku-buku yang ada di perpustakaan, artikel-artikel yang
6Rubaidi. Diseminasi Pendidikan Perdamaian Berbasis Agama: Gagasan Intensifikasi Konsep Peace Building Berbasis Agama. Nizamia.Vol. 8.No. 1. 2005. Hlm. 14-15.
berbuhungan dengan tulisan-tulisan terkait dengan penelitian, serta dikumpulkan dan diambil dan diintisarikan serta dikaitkan dengan objek kajian.7
Analisis data dilakukan dengan cara menelaah berbagai literature dari data dokumentasi terhadap berbagai data-data dari hasil penelitian terkait dengan obyek penelitian artikel. Tahap petama dilakukan dengan memganalisis dan mengidentifikasi seperti apa masalah yang dikaji. Tahap kedua mengkaji sebagai sumber dan dokumentasi yang perlu dicari solusinya atas persoalan masalahnya. Tahapan ketiga adalah menarik kesimpulan atas kajian masalah yang telah ditulis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsep Pendekatan Teologis Normatif Dalam Pluralisme Beragama Pendekatan Teologis Normatif
Teologi berasal dari kata theos dan ology, yang kemudian dialihkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi teologi atau theology dalam bahasa Inggris. Ology berasal dari akar kata Yunani logos yang memiliki arti percakapan, pengkajian, dan penelitian, atau struktur rasional yang dapat dipahami melalui pembicaraan dan pemikiran manusia. Sedangkan theos dalam bahasa Yunani berarti Tuhan (God), yang berkenaan dengan Tuhan, atau sesuatu yang berkenaan dengan Tuhan. Jadi, teologi dalam bahasa Yunani berarti penelitian rasional tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan Tuhan.8
Pendekatan teologis normatif merupakan salah satu pendekatan dalam studi islam yang cukup populer dikalangan umat islam. Pendekatan teologis diterjemahkan sebagai upaya memahami atau meneliti agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu kegaamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya.9 Seperti yang diketahui teologi adalah sebagai ilmu tentang ketuhanan.
Dalam insyklopedia Everyman’s, disebutkan tentang Teologi sebagai pengetahuan tentang agama, yang disana membahas tentang Tuhan dan Manusia.10 Maka teologi sendiri memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya membentuk
7 Joko Subagyo, Metode Penelitian Dan Praktek (Jakarta: Rhineka Cipta, 1991), p. hlm. 109.
8 Juhaya S. Praja, Filsafat Dan Metodologi Ilmu Dalam Islam Dan Penerapannya Di Indonesia,
(Jakarta: Teraju, 2002), p. hlm. 41-42.
9 Abuddin Nata, Metodologi Study Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), p. hlm. 28.
10 A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam ( (Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2001), p. hlm. 1.
pola pikir manusia yang nantinya akan berimplikasi pada prilaku keberagaman seseorang. Oleh karena itu, untuk membentuk pola pikir tersebut, maka diperlukannya pendekatan-pendekatan teologis yang berfungsi sebagai cara yang melahirkan suatu pemikiran teologis yang baru, apakah pemikiran tersebut tradisional, liberal, atau modern.
Pluralisme Beragama
Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti jamak atau lebih dari satu. Pluralis yaitu bersifat jamak (banyak). Pluralisme adalah hal yang mengatakan jamak atau tidak satu; kebudayaan: berbagai kebudayaan yang berbeda-beda di suatu masyarakat.11 Dalam kamus teologi, pluralisme adalah pandangan filosofis yang tidak mereduksikan segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, melainkan menerima adanya keragaman. Pluralisme dapat menyangkut bidang kultural, politik dan religius.
Berdasarkan pemahaman mengenai pluralisme maka terdapat pula beberapa pendapat dari para elit agama yang ada di indonesia dalam memahami pluralisme beragama, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.Pandangan Elite Islam, menegaskan bahwa pluralisme memiliki arti adanya saling menghargai, namun menolak anggapan bahwa semua agama benar adanya.12
b.Pandangan Elite Kristiani, berpandangan bahwa pluralisme adalah menerima kebenaran agama lain. Dalam konteks ini maksudnya adalah bahwa semua agama memiliki ajaran yang benar, semua harus mengasihi dan tidak merasa benar sendiri.13 Sebagaimana pluralisme agama, khususnya Islam, Kristen dan Yahudi berasal dari rumpun yang sama.
c.Pandangan elite Hindu tentang pluralisme bahwa perbedaan adalah absah sebagaimana keragaman dalam agama Hindu. Dalam konteks ini, umat Hindu dituntut mampu memberikan penghargaan, karena pluralitas adalah suatu kenyataan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
d.Pandangan Elite Budha, bahwa semua agama memiliki tujuan sama, yakni mengajak umatnya menjadi orang baik, menghindari kejahatan dan keburukan. Dengan
11 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), p. hlm.
691.
12 Umi Sumbulah, ‘Pluralisme Dan Kerukunan Umat Beragama Perspektif Elite Agama Di Kota
Malang Pluralism and Religious Harmony in Religious Elites Perspectives in Malang City’, Uin Maulana Malik Ibrahim Malang, 22.1 (2015), p. hlm. 3.
13 Sumbulah, p. hlm. 20.
demikian, semua agama mempunyai tujuan yang sama, namun menempuh jalan yang berbeda-beda. Jika ingin mencapai tujuan yang sama, atau mencapai hidup yang bahagia maka semua umat beragama harus saling membantu dan menolong sesuai kemampuan masing-masing.
Dengan demikian, berdasarkan beberapa pandangan diatas makan dapat disimpulkan bahwasanya inti dari pluralisme itu sendiri adalah menjaga kerukunan antar umat beragama. Ratanajayo berpandangan bahwa pluralisme berarti mengakui kebenaran agama sendiri dan menerima kebenaran agama lain.14 Dengan paham pluralisme, umat beragama akan bisa bersifat inklusif dan pluralis, karena menghormati fakta keberbagaian, dengan tetap berpatokan pada keyakinan sendiri, dan tidak harus menganggap bahwa semua keyakinan adalah sama. Salah satu hak asasi manusia ialah mengakui hak orang lain untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaanya masing- masing dan mengakui hak pemeluk agama tersebut untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaannya. 15
Karakteristik Pendekatan Teologis Normatif Dalam Pluralisme Beragama
Dalam konteks teologi agama-agama, pluralisme mengacu kepada teori atau sikap bahwa semua agama, meskipun dengan jalan masing-masing yang berbeda, mengacu pada tujuan yang sama: yang absolut, yang terakhir, yang hollygious.16 Salah satu bagian penting dari tata kehidupan global yang ditandai dengan kemajemukan etnis, budaya, dan agama adalah membangun dan menumbuhkan kembali pemahaman tentang konsep teologi pluralime dalam masyarakat. Dewasa ini pemahaman akan konsep teologi sering kali masih membawa manusia ke arah ketersekatan umat.
Adapun landasan pemikiran teologi normatif selama ini dalam pluralisme beragama ialah berkaitan erat dengan karakteristik sebagai berikut:
a.Kecenderungan untuk mengutamakan loyalitas kepada kelompok sendiri.
b.Adanya keterlibatan pribadi dan penghayatan yang begitu kental dan pekat kepada ajaran-ajaran teologi yang diyakini kebenarannya.
14 Sumbulah, p. hlm. 4.
15 Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam Untuk Pluralisme (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), p. hlm. 38-39.
16 Kautsar Azhari Noer, dkk, Pluralisme, Konflik, Dan Pendidikan Agama Di Indonesia,
(Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2005), p. hlm. 219.
c.Mengungkapkan perasaan dan pemikiran dengan menggunakan bahasa aktord an bukannya bahasa pengamat.17
Menyatunya tiga karakteristik tersebut dalam diri seseorang atau kelompok memberi andil yang cukup besar untuk terciptanya komunitas teologis yang cenderung bersifat eklusif, emosional, dan kaku. Karakteristik tersebut menjadikan manusia terbiasa dalam pengkotak-kotakan. Berteologi semacam inilah yang dapat mengganggu keharmonisan masyarakat agama-agama di era pluralistik dalam menumbuhkan paham pluralisme. Dalam menanamkan paham pluralisme di dalam kehidupan beragama, hal yang paling mendasar untuk dilakukan adalah bagaimana cara menempatakan sebuah konsep teologi suatu agama untuk mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain. Berteologi dalam konteks keagamaan mempunyai tujuan untuk memasuki dialog antar agama. Dengan demikian munculah pemaham mendalam mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan penyelamatan untuk umat manusia yang beriman kepadanya.18
Bersatunya ketiga karakter diatas dalam diri seseorang atau kelompok justru akan memberikan andil yang cukup besar bagi terciptanya “enclaveenclave” komunitas teologis yang cenderung bersifat eksklusif, emosional, dan kaku. Ketiga karakter di atas muncul, ketika seseorang harus mendefinisikan posisi dirinya di tengah-tengah masyarakat yang mempunyai paham teologis yang berbeda dengan dirinya. Bahkan paham teologis di luar kita itu, memiliki keabsahan dan diakui eksistensinya. Belum lagi masalah-masalah sosial, politik, yang sering memunculkan ketegangan dan krisis di kalangan mereka. Menurut Hugh Goddard, proses pendefinisian itu berujung pada kesalahpahaman pemeluk teologis kerena adanya kondisi “double standars” (standar ganda).19
Problem Pluralisme Beragama di Indonesia
Dalam konteks ke-Indonesia-an, sebagaimana sudah sama-sama kita ketahui, bahwa bangsa Indonesia adalah terdiri dari beragam etnis, bahasa, budaya, dan agama. Dari keragaman ini tidak menutup kemungkinan muncul konflik dan gesekan kepentingan. Konflik yang terjadi pada komunitas keagamaan selama ini karena adanya kesalahpahaman atau kurangnya kesadaran beragama sehingga menyebabkan banyak
17 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005),
p. hlm. 21.
18 Syamsul Ma’arif, p. hlm. 22.
19 Said Masykur, ‘Pluralisme Dalam Konteks Studi Agama-Agama’, Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama, 8.1 (2016), p. hlm. 63.
terjadi konflik antar umat beragama. Salah satu masalah berkaitan dengan kemajemukan bangsa adalah dalam hal kehidupan beragama. Kerukunan antar atau internal umat beragama di Indonesia sangat penting karena agama bagi masyarakat Indonesia adalah sistem acuan nilai yang menjadi dasar dalam bersikap dan bertindak bagi para pemeluknya.
Agama merupakan elemen fundamental dalam kehidupan manusia, oleh karena itu kebebasan umat beragama harus dihargai dan dijamin. Dalam hal ini, negara memberikan kebebasan kepada setiap warga negara menganut agama sesuai pilihannya masing-masing dan menjalankan ibadat sesuai kepercayaannya. Hal ini secara jelas dan tegas dicantumkan dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.20 Adapun tujuan penyelenggaraan kerukunan umat beragama untuk menjamin terpenuhinya hak-hak Umat beragama agar dapat berkembang, berinteraksi, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya kerukunan umat beragama yang berkualitas dan berakhlak mulia.
Dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama dalam berbagai keberagaman agama, di Indonesia masih banyak menyisakan masalah yang dilatar belakangi oleh agama antara lain dipicu oleh konflik umat beragama karena perbedaan keyakinan atau akidah, pendirian tempat ibadah dan penggunaan simbol-simbol untuk kepentingan tertentu. Problem yang paling nyata yang terjadi di masyarakat dari paham pluralisme agama ini adalah menghilangkan pokok-pokok ajaran Islam yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an atau hadis, yaitu dengan cara menyamakan semua agama dengan dalih toleransi, agar tercipta negara yang aman, damai, dan sejahtera.
Implementasi Pendekatan Teologis Normatif Dalam Pluralisme Beragama Di Indonesia
Keberagaman dan kebinekaan agama adalah realita yang ada di Indonesia karena masyarakat di Indonesia memiliki umat yang berbeda agama, yaitu agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha yang dijadikan agama resmi dan diakui oleh pemerintah Indonesia. Adanya kepedulian terhadap keberagaman di Indonesia
20 Ibnu Rusydi and Siti Zolehah, ‘Makna Kerukunan Antar Umat Beragama Dalam Konteks Keislaman Dan Keindonesian’, Journal for Islamic Studies, 1.1 (2018), p. hlm. 177.
mempunyai tujuan untuk saling mengembangkan sikap hormat menghormati, bekerjasama dalam lingkup “Hablum Minannas” dengan pemeluk-pemeluk agama lain agar tercipta kerukunan dan suasana yang kondusif, saling membantu mengatasi masalah-masalah yang dibutuhkan dalam masyarakat.21
Di Indonesia, paham pluralisme agama telah disebarkan oleh kalangan Muslim liberal bahkan tokoh pembesar agama melalui liberalisasi pemikiran Islam dengan dalih toleransi. Akan tetapi, apa yang diwacanakan adalah doktrin teologis dengan pernyataan-pernyataan yang menklaim bahwa pahamnya lah yang paling benar. Problem yang paling nyata yang terjadi di masyarakat dari paham pluralisme agama ini adalah menghilangkan pokok-pokok ajaran Islam yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an atau hadis, yaitu dengan cara menyamakan semua agama dengan dalih toleransi, agar tercipta negara yang aman, damai, dan sejahtera.
Jika doktrin pluralisme agama harus mengakui kebenaran agama lain berdasarkan keyakinannya masing-masing. Seperti Islam hanya mengakui Islam yang paling benar di sisi Allah (Sesungguhnya agama yang diterima disisi Allah adalah agama Islam), Begitupun dengan agama yang lainnya, krirten menganggap bahwa agamanyalah yang paling benar, hindu menganggap bahwa tiada agama yang paling benar selain agamanya sendiri, dan lain sebagainya. Oleh karena itu hal ini berkaitan dengan cara kita memahami ketuhanan yang bersumber dari kitab agama masing-masing atau memahami ajaran agama masing-masing yang sama dengan agama lain. Dari masalah konsep ketuhanan pasti akan berbeda-beda dalam setiap agama. Dan semua agama pasti akan merasa paling benar dengan konseptual ketuhanan mereka masing-masing.
Namun, terdapat kesamaan dalam semua agama yang menyakini dan meyatakan bahwasanya alam jagad raya atau alam semesta itu merupakan ciptaan tuhan. Disini, Tuhan yg dikonsepkan pasti akan berbeda-beda dengan agama yang satu dan agama yang lainnya. Maksud dari konsep itu adalah dari segi nama seperti dalam islam menyebut Tuhannya adalah Allah, kristen menyebut Tuhannya adalah Yesus dan lain sebagaimana. Dengan demikian setiap ajaran agama masing-masing, mereka meyakini dan mempercayai adanya Tuhan, tetapi dengan konsep yang berbeda-beda. Dengan demikian inilah yang dinamakan dengan pluralisme atau bisa dikatakan dengan adanya kesamaan ajaran dalam keberagamaan agama.
21 Soemanto, et. all, Eksperimen Pendidikan Agama Berwawasan Kerukunan (Jakarta: PT Pena Cita Satria, 2008), p. hlm. 19-20.
Berdasarkan hal tersebut, maka bagaimana cara kita untuk mengatasinya, yaitu dengan cara mengimplementasikan pendekatan teologis normatif dalam pluralisme beragama, artinya adalah dalam keberagaman agama terdapat ajaran agamanya masing- masing yang sama dengan agama yang lain. Dengan tujuan agar supaya tidak ada beda pandangan antar umat beragama. Maka dari itu, disini ada beberapa contoh pendekatan teologis normatif dalam pluralisme agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, adalah sebagai berikut:
1.Toleransi dalam beragama
Pada akhir-akhir ini ramai dibicarakan di tengah masyarakat tentang betapa pentingnya toleransi dalam beragama. Islam telah memberi pedoman sedemikian jelas, bahwa agama tidak boleh dipaksakan. Disebutkan pula di dalam al Qur'an bahwa, semua orang dipersilahkan memilih agama sebagaimana yang diyakini masing-masing. Yakni yang berbunyi “Lakum diinukum wa liya diin'” yang berarti “ Untukmu Agamamu dan Untukku Agamaku ”. Hal tersebut sesuai dengan nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia yang menjadi dasar Negara, yaitu Pancasila, maka toleransi beragama di Indonesia dikembangkan. Nilai-nilai luhur pancasila tersebut sesuai dengan sila yang tercantum dalam Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. UUD 1945 pasal 29 ayat 2, menguatkan tentang perlunya toleransi beragama yang harus dilaksanakan di Indoneisa yaitu “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu”.22
Dalam beragama, jika seseorang memaksakan untuk tidak boleh, apalagi juga terkesan mengganggu, tentu tidak dibenarkan. Karena dalam beragama sangat dipersilahkan seseorang untuk memilih agamanya dan kepercayaannya masing- masing. Apabila jika sikap dan pandangan itu diaplikasikan dalam kehidupan sehari- hari oleh pemeluk agama, maka sebenarnya tidak akan terjadi suatu masalah selagi itu tidak melanggar norma-norma yang ada. Seperti: Mereka yang beragama Islam beribadahnya ke masjid, mereka yang beragama Kristen beribadahnya ke gereja, mereka yang beragama Hindu beribadahnya ke pura dan demikian pula lainnya.
Toleransi saat ini menjadi terasa tidak terpelihara dikarenakan di antara mereka yang berbeda merasakan ada sesuatu yang mengganggu. Bisa jadi, gangguan itu
22 Rusydi and Zolehah, p. hlm. 177.
sebenarnya bukan bersumber dari agamanya, tetapi berasal dari aspek lain, misalnya dari ekonomi, sosial, hukum, keamanan, dan semacamnya. Melihat orang atau sekelompok orang terlalu memonopoli kegiatan ekonomi sehingga merugikan atau mengganggu orang atau kelompok lain, maka muncul rasa kecewa dan atau sakit hati. Demikian pula jika terdapat sekelompok orang tidak mempedulikan dan bahkan berperilaku merendahkan, maka orang lain dimasud akan merasa terganggu.
Hal demikian tersebut kemudian menjadikan pihak lain merasa dirugikan, direndahkan, atau dikalahkan. Padahal sekalipun mereka memeluk agama berbeda, tetapi jika mereka masih sanggup menjaga hubungan baik, berperilaku adil, jujur, menghormati pihak lain, maka tidak akan terjadi atau menimbulkan persoalan dalam kehidupan bersama. Semua orang akan merasa senang ketika diperlakukan dengan cara baik, darimana pun datangnya kebaikan itu. Orang yang berperilaku baik akan diterima oleh siapapun. Sebaliknya, ketika sudah berbeda suku, etnis, atau bahkan agama, tetapi kehadirannya juga dirasakan mengganggu, maka akan melahirkan rasa tidak senang. Jangankan berbeda agama, etnis atau bangsa, sedangkan sesama bangsa, etnis, dan agama sekalipun juga akan bermusuhan manakala nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran diganggu.
Oleh karena itu sebenarnya, bukan perbedaan agama yang dipersoalkan, melainkan perilaku yang merugikan dan mengganggu itulah yang selalu menjadikan orang atau sekelompok orang tidak ingin bertoleransi. Tidak jarang dan di mana-mana dapat disaksikan, di antara orang yang berbeda suku, bangsa dan agamanya tetapi masih sangat rukun. Di antara mereka yang berbeda, termasuk berbeda agama, saling menyapa, berbagi kasih sayang, dan juga tolong menolong. Hal demikian itu, dikarenakan antara mereka saling mengenal, menghargai, dan menghormati dengan cara selalu menjaga nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan, kejujuran, dan kebenaran, sebagaimana dikemukakan di muka.
Dengan fakta keberagaman suku, ras, agama dan kepercayaan masyarakat Indonesia yang sedemikian plural ini, mewujudkan toleransi adalah suatu keniscayaan. Mengapa? Sebab, jika pluralitas adalah sebuah kenyataan tak terelakkan, maka toleransi akan menjadi persyaratan untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat yang majemuk dan pluralistik. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan kemajemukan, toleransi diperlukan karena realitas pluralistik. Dalam kata-
kata yang sederhana, toleransi didasarkan pada perbedaan dan keanekaragaman. Dengan toleransi, kita dapat memahami kekeliruan dan kesalahan orang lain, menghormati gagasan dan ide yang berbeda, dan memaafkan segala sesuatu yang harus dan layak dimaafkan.
2.Sikap tolong menolong dalam beragama
Secara general, ta’awun lebih dikenal di mata masyarakat dengan makna “tolong menolong”. Tolong menolong dalam jalan kebaikan adalah perintah yang sangat dianjurkan dengan maksud membantu meringankan beban seseorang tanpa mengharap imbalan. Secara garis besar semua agama mengajarkan umatnya untuk menolong orang lain. Misalnya agama Yahudi mengajarkan: “cintailah tetanggamu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri”. Dalam ajaran agama Kristiani disebutkan : “And as you wish that men would do to you, do so to them. Demikian juga dengan ajaran agama Islam, Allah berfirman: “tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam perbuatan dosa. (QS alMa’idah/5:2). Rasulullah saw. pun bersabda bahwa: “Sesungguhnya Allah senantiasa menolong hambanya selama hambanya menolong orang lain (HR. Muslim).23
Di Indonesia tolong menolong merupakan budaya luhur masyarakat yang mulai terkikis dengan perkembangan zaman yang lebih modern. Teknologi yang semakin canggih membuat manusia tanpa sadar mulai meninggalkan budayanya. Jika kembali berkaca dengan melihat kebiasaan orang dulu, maka didapatkan bahwa mereka sangat menjunjung tinggi perilaku tolong menolong. Mereka yakin dan percaya bahwa di dalam perilaku tolong menolong terkandung nilai persatuan yang akan mengantarkan pribadi sesorang saling menghargai dan menghormati tanpa memandang agama, ras, maupun suku. Sebagaimana sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan.24
Dengan demikian sikap tolong menolong merupakan bentuk pengabdian kepada sesama manusia yang dilakukan dengan penuh keiklasan dan tanpa pamrih, semata-mata mengharap ridho Tuhan Yang Maha Esa. Selain tolong menolong
23 Syamsudduha Saleh, ‘Cinta Damai Upaya Meminimalisir Konflik Dalam Masyarakat’, Al- Fikr, 14.3 (2010), p. hlm. 394.
24 Aslati, ‘Toleransi Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Islam’, Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, 4.1 (2012), p. hlm. 4.
semua agama juga mengajarkan agar sesama manusia saling menyayangi, saling mengasihi, saling menghormati dan saling menghargai. Dan menghindari ucapan- ucapan buruk kepada siapapun, karena ucapan buruk dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian, jika berlarut-larut akan menjurus kepertumpahan darah.
Jadi mari kita menjadi warga negara yang saling peduli, menolong dan perhatian terhadap saudara sebangsa dan beragama. Harapan dan cita-cita kita bersama akan mudah tercapai dengan membudayakan perilaku ta’awun yang akan membuat pekerjaan susah menjadi mudah, mempererat tali persaudaraan, menumbuhkan kerukunan dan melahirkan kehidupan masyarakat yang sejahtera. Mudah-mudahkan kita semua senantiasa mengamalkan amalan yang mulia ini dalam kehidupan dengan istiqomah.
KESIMPULAN
Pendekatan teologis normatif dalam pluralisme beragama adalah suatu keberagaman agama dalam memahami ajaran agamanya dengan agama lainnya. Sebagai landasan pemikiran teologi normatif dalam pluralisme beragama mengacu pada beberapa karakteristik, diantaranya yaitu kecenderungan untuk mengutamakan loyalitas kepada kelompok sendiri, adanya keterlibatan pribadi dan penghayatan yang begitu kental dan pekat kepada ajaran-ajaran teologi yang diyakini kebenarannya dan mengungkapkan perasaan dan pemikirannya dengan menggunakan bahasa aktor dan bukannya bahasa pengamat. Implementasi pendekatan normatif dalam pluralisme beragama di Indonesia melalui dua unsur yaitu; pertama, toleransi beragama yang menjungjung tinggi nilai-nilai perbedaan keyakinan dengan cara saling menghormati dan saling menghargai antar pemeluk agama lain sesuai pengamalan pancasila. kedua, sikap tolong menolong dalam beragama yang diwujudkan dalam bentuk saling gotong royong dalam membantu sesama demi mewujudkan kesejahteraan hidup masing- masing. Artinya pluralisme beragama menjadi poin penting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia yang memiliki penduduk berbeda-beda ras, suku, etnis, dan agama.
DAFTAR RUJUKAN
Hanafi, A. 2001. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru. Nata, Abuddin. 2002. Metodologi Study Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syariati, Ali . 1992. Humanisme Antara Islam Dan Madzhab Barat, Terj Afif Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah.
Abdullah, Amin. 1995. Filsafat Kalam Di Era Post Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moeliono. Anton M. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Aslati. ‘Toleransi Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Islam’, Media Ilmiah
Komunikasi Umat Beragama, 4.1 (2012)
Rachman, Budhy Munawar. 2010. Argumen Islam Untuk Pluralisme. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nasution, Harun. 2001. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Subagyo, Joko. 1001. Metode Penelitian Dan Praktek. Jakarta: Rhineka Cipta.
Praja, Juhaya S. 2002. Filsafat Dan Metodologi Ilmu Dalam Islam Dan Penerapannya Di Indonesia. Jakarta: Teraju.
Noer , Kautsar Azhari, dkk. 2005. Pluralisme, Konflik, Dan Pendidikan Agama Di Indonesia. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei.
Luk, Luk, and Nur Mufidah, ‘Pendekatam Teologis Dalam Kajian Islam’, Misykat, 02.Nomor 1 (2017)
Masykur, Said, ‘Pluralisme Dalam Konteks Studi Agama-Agama’, Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama, 8.1 (2016)
Moko, Catur Widiat, ‘Pluralisme Agama Menurut Nurcholis Madjid (1939-2005) Dalam Konteks Keindonesiaan’, Medina-Te : Jurnal Studi Islam, 13.1 (2017)
Rusydi, Ibnu, and Siti Zolehah, ‘Makna Kerukunan Antar Umat Beragama Dalam Konteks Keislaman Dan Keindonesian’, Journal for Islamic Studies, 1.1 (2018)
Soemanto, et. all. 2008. Eksperimen Pendidikan Agama Berwawasan Kerukunan.
Jakarta: PT Pena Cita Satria.
Sumbulah, Umi, ‘Pluralisme Dan Kerukunan Umat Beragama Perspektif Elite Agama Di Kota Malang Pluralism and Religious Harmony in Religious Elites Perspectives in Malang City’, Uin Maulana Malik Ibrahim Malang, 22.1 (2015)
Syamsudduha Saleh, ‘Cinta Damai Upaya Meminimalisir Konflik Dalam Masyarakat’,
Al-Fikr, 14.3 (2010)
Ma’arif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme Di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka.
https://www.kti.binsarhutabarat.com/2021/02/pluralisme-beragama-di-indonesia.html
No comments:
Post a Comment