Tuesday, January 30, 2024

Agama dan Fanatisme Agama



 “Wajah Ganda Agama Dan Fanatisme Agama ”





 Agama pada satu sisi dapat menjadi agen pembawa damai, namun pada sisi lain juga menampilkan wajah garang yang tampil dalam koflik agama. 

Umat beragama di Indonesia, termasuk umat Kristen perlu mewaspadai fanatisme agama yang dekat dengan radikalisme agama yang kerap menampilkan kekerasan agama.

Radikalisme tidak identik dengan terorisme, namun, upaya preventif agar mereka yang memiliki paham radikal itu  tidak terkooptasi menjadi teroris harus dikerjakan secara bersama.




Dalam terminologi politik, istilah “radikalisme” mengacu pada individu atau gerakan yang memperjuangkan perubahan sosial atau sistem politik secara menyeluruh. 

Radikalisasi dalam beragama muncul di tengah panggung politik secara global.  Kekerasan atas nama agama seringkali muncul dari perbedaan dalam memahami kitab suci dan agama itu sendiri.




Pelaku tindakan kekerasan atas nama agama merasa paling beriman di muka bumi. Karena menganggap diri sebagai makhluk agung di antara manusia, mereka mengangkat dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. Karena itu gemar memaksakan kehendaknya seolah-olah menjadi Tuhan atas semua orang.




Kaum radikalisme agama memandang dirinya berhak memonopoli kebenaran, seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. 




Kelompok Radikalisme agama ini kerap  mengumandangkan  penolakannya untuk memberikan proteksi terhadap  kebebasan beragama yang ditetapkan dalam konstitusi negeri ini.




 “sebagian besar orang memang mengakui keberagaman dan perbedaan, namun dengan sikap curiga dan merasa terancam, sehingga tidak terjadi pergaulan yang saling memperkaya.” 




Meningkatnya intoleransi agama tersebut diteguhkan dengan maraknya cluster-cluster yang membelah masyarakat berdasarkan agama. Cluster-cluster masyarakat berdasarkan agama di negeri ini terus meningkat, dan parahnya usaha integrasi antar kelompok itu sebaliknya makin melemah. 




Dampak Fanatisme Agama 




Hubungan antar agama di negeri ini bisa dikatakan sedang bergerak mundur dari hubungan yang bersifat saling memperkaya, creative proexistence, ke level yang lebih rendah yakni hubungan yang sekadar tidak saling mengganggu (live and let live). Bahkan  pada beberapa tempat di negeri ini hubungan antarumatt beragama itu sedemikian buruk yakni sudah pada taraf menampilkan hegemoni agama yang menjurus pada kekerasan agama (live and let die). 




Pertumbuhan sebuah agama kerap diringi dengan pembelengguan kebebasan beragama pada agama-agama yang berbeda. Lahirnya perda-perda bernuansa agama, baik perda syariah maupun raperda Injil meneguhkan hubungan antar agama yang amat memperihatinkan itu.




Masyarakat Indonesia yang mulanya hidup saling memerhatikan dan saling memercayai  bergerak mundur menjadi hubungan yang penuh kecurigaan, dan perasaan terancam. Kondisi terancam itu membuat agama-agama kehilangan kesadaran interdepedensi satu dengan yang lainnya, yang ada hanyalah usaha bagaimana agama-agama itu mempertahankan eksisitensinya tanpa memedulikan akibatnya pada yang lain, atau dengan sengaja menekan pertumbuhan agama yang lain.




Radikalisme dan fanatisme keagamaan yang semakin subur di negeri ini ternyata berdampak buruk terhadap kerukunan antarumat beragama yang lama bersemayam di negeri ini. Deradikalisasi agama menjadi persoalan penting yang harus dikerjakan dengan serius jika memang kita ingin melihat agama-agama di negeri ini terus menebarkan wajah perdamaian.







Mewaspadai Wajah Ganda Agama




 Di satu sisi, secara unik dan inheren agama hadir dengan berbagai sifat eksklusif, partikularis, dan primordial. Namun di sisi lain, pada waktu yang bersamaan, ia kaya dengan identitas yang berelemen inklusif, universalis, transendental. Kedua sisi ini datang silih berganti  secara simultan. Itu sebabnya mengapa agama berpotensi menampakkan wajah kekerasan dan wajah perdamaian.




Karena itu penggambaran agama yang melulu penuh kekerasan dan tidak toleran merupakan gambaran yang tidak lengkap.   Karena banyak gerakan-gerakan religius mutakhir dengan agenda yang sama untuk mendukung keadilan, toleransi, dan perdamaian.




Untuk Indonesia, konflik agama terbilang relatif kecil pada era orde lama maupun orde baru. Pada era tersebut, konflik lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap pemerintah berupa usaha-usaha untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI. 




Namun, pada masa reformasi panggung konflik di Indonesia beralih ke etnis dan agama. 




Jadi konflik agama yang berujung pada kekerasan sesungguhnya bukanlah warisan sejarah Indonesia. Bahkan, posisi agama yang begitu terhormat di negeri ini awalnya telah mempopulerkan Indonesia  sebagai tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. Perjalanan sejarah negeri ini menyaksikan bahwa agama bukan sumber masalah, dan kontribusi positif agama-agama sangat dibutuhkan. 







Betapapun universalnya suatu agama dan  betapapun kekalnya doktrin-doktrin agama itu, kepercayaan-kepercayaan ini tidak bisa menjadi prinsip ideologis formal bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi semua warga negara dan masyarakat Indonesia.  




Negara yang  membiarkan agama tertentu menjadi alat penentu untuk memperlakukan para warga negara secara berbeda, sama saja dengan  mengabaikan prinsip-prinsip inklusifitas dan non-diskriminasi yang terdapat di dalam Pancasila. 




Ketika politik mengizinkan dirinya dikooptasi oleh agama, seketika itu juga ia kehilangan fungsinya yang paling luhur, mengayomi dan memperlakukan warganya secara adil, tanpa diskriminasi.




Lahirnya peraturan-peraturan yang bernuansa agama meski dengan alasan demi merukunkan antarumat beragama justru telah membuat kehidupan antarumat beragama menjadi tidak rukun, dan penuh konflik, karena kehadiran undang-undang bernuansa agama tak terbantahkan sarat dengan politisasi agama. 




 Semangat yang menampilkan kekerasan agama sebagaimana dipertontonkan kaum radikalisme keagamaan adalah buah dari cara-cara beragama yang salah tersebut.




Konteks Kristen




Radikalisme agama ada pada semua agama, termasuk dalam kekristenan. Karena itu umat Kristen Indonesia harus mewaspadai hal itu. Khusunya Fanatisme agama yang dekat dengan radikalisme agama.




Fanatisme agama selalu mengandaikan ke-murni-an atau purifikasi agama yang pada kenyataannya mustahil, karena sejarah dan realitas terus bergerak. Golongan fanatisme agama cenderung menganggap dirinya lebih murni atau suci, saleh dan benar sendiri, tanpa dibarengi nalar kritis.

Pebedaan-perbedaan pemahaman kemudian melahirkan fanatisme-fanatisme sektarian dan semakin melembaga.Fanatisme dan ketiadaan pemahaman tentang esensi beragama dan ber-Tuhan  membuat pemeluk agama melihat agama lain dari kacamata kepicikan yang sempit, sehingga cenderung merendahkan agama lain, atautafsiran agama dari kelompok agama yang berbeda dengan mereka.




Kelompok fanatisme agama merupakan segerombolan orang-orang yang berupaya untuk terus memelihara nilai-nilai terdahulu yang mereka anut, menghadirkan monumen masa lalu ke masa sekarang. 

Fanatisme adalah sikap terlampau kuat atau berlebihan menyakini ajaran agama. Akibatnya, sering kali melahirkan tindakan yang anti keberagaman. 

Fanatisme cenderung melahirkan arogansi, menebar kebencian, anti perbedaan, dan dekat dengan kekerasan. “Fanatisme adalah musuh besar kebebasan.” Artinya, dimana fanatisme tumbuh dengan subur, di situ pastilah terjadi pemasungan kebebasan beragama.




Dr. Binsar A. Hutabarat
https://www.binsarinstitute.id/2023/07/agama-dan-fanatisme-agama.html
/> Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/T23L7D

Perang keadilan

 








Menggugat Teori Perang Keadilan

Amerika adalah korban konsep war of justice, yang kemudian menjadi teori yang dianggap absolut bahwa untuk ada damai perlu ada peperangan.

Teori perang keadilan itu menjadi instrumen yang memosisikan Amerika sebagai polisi dunia, sebuah kesombongan yang mengerikan, dan kesombongan itu mendahulu kejatuhan. Amerika bukannya menghadirkan perdamaian dunia, sebaliknya pencipta perang di berbagai penjuru dunia. 

Ketika Amerika menjadi polisi dunia dengan segala hak veto yang dimiliki menetapkan perang demi keadilan untuk hadirnya perdamaian, pada konteks tertentu, ternyata perang tidak dibutuhkan untuk hadirnya perdamaian. 

Kejahatan Amerika sebagai polisi dunia, atau yang menempatkan diri menjadi polisi dunia dengan segala fasilitas hak veto untuk menetapkan perang telah menjadikan Amerika seperti hakim yang tidak adil, seperti juga kejahatan yang terjadi di pengadilan. 

Usaha-usaha restoratif justice yang diusahakan untuk menyelesaikan konflik di luar pengadilan adalah usaha untuk memberi keadilan kepada yang berkonflik di luar pengadilan. Pengadilan bukan solusi bagi penyelesaian segala konflik yang ada, apalagi ketika pengadilan itu sendiri tidak jarang memproduksi ketidakadilan.

Perang keadilan ini konsep Kristen yang perlu hati-hati digunakan, biasanya teori ini dicetuskan berdasarkan konsep Perjanjian Lama (PL) yang memerangi bangsa-bangsa untuk menghadirkan keadilan dan perdamaian. Israel yang merasa menjadi bangsa yang paling hebat bukan hanya tidak mampu menghadirkan perdamaian untuk bangsa-bangsa, tetapi juga dalam kehidupan mereka berbangsa. Itulah sebabnya Israel di buang Tuhan.

Menurut saya semua teori-teori yang kita terapkan sebagai landasan dalam mengambil keputusan perlu terus dikaji dan diuji untuk hadirnya landasan yang lebih baik. Sebuah kebijakan yang unggul, atau alternatif teori akan menghadirkan kehidupan bersama yang damai, tapi tidak ada landasan bersama yang sempurna yang dibangun manusia yang tidak sempurna, apalagi manusia yang menerapkannya juga tidak sempurna. 

Keyakinan diri paling hebat, paling tahu, paling menguasai kebenaran hanya akan menghadirkan alternatif kebijakan yang buruk  yang kemudian berujung pada konflik yang tidak berkesudahan. Bukankah ini terjadi antar denominasi gereja yang tak pernah bisa rukun, saling menyesatkan, merasa denominasinya paling baik, paling suci, paling kudus, dan tak bisa hidup bersama secara baik untuk membangun hidup bersama yang lebih baik.

Dr. Binsar A. Hutabarat





https://www.binsarinstitute.id/2023/09/perang-keadilan.html /> Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/T23Kxc

Sunday, January 28, 2024

Hikmat Allah menghasilkan kebaikan

 




Hikmat Allah menghasilkan kebaikan





Kemampuan intelektual yang luar biasa, pengetahuan yang melimpah, tanpa hikmat Allah tak akan menghasilkan kebaikan. Pengetahuan manusia yang melimpah hanya akan menghadirkan persoalan yang lebih besar tanpa hikmat Allah.
 

Sumber Hikmat Allah.




Hikmat adalah kemampuan menggunakan pengetahuan secara tepat. Hikmat yang benar dapat menggunakan pengetahuan secara tepat. Sebaliknya hikmat yang salah menghasilkan kekacauan dari penggunaan pengetahuan.


Pengetahuan manusia yang tidak tuntas dalam segala hal menyebabkan pertambahan pengetahuan berelasi dengan pertambahan masalah kehidupan. Parahnya lagi penggunaan pengetahuan itu dilandasi oleh hikmat manusia berdosa yang dikuasai  semangat melawan Allah, hawa nafsu dan tipu daya setan ata kegelapan. Itulah sebanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berhasil menghadirkan duniayang damai, sebaliknya perang antar bangsa tak pernah surut.


Sumber hikmat manusia terikat pada natur manusia berdosa, sedang sumber hikmat Allah berasal dari Allah sendiri, karena itu hikmat manusia dan hikmat Allah berbeda. Hikmat menusia yang jahat melawan hikmat Allah.


Untuk menggunakan pengetahuan secara benar manusia membutuhkan hikmat Allah, sebaliknya hikmat manusia tak akan dapat menggunakan pengetahuan manusia yang terbatas itu menjadi kebaikan, baik individu maupun komunitas.



Menerapkan hikmat Allah.




Orang percaya setidaknya memiliki tiga musuh, pertama, keinginan yang melawan Allah (keduniawian yang kontras dengan hal spiritual), kedua, kedagingan, hawa nafsu manusia yang menguasai manusia ketika jatuh di dalam dosa, ketiga, setan atau kuasa kegelapan.


Pengetahuan manusia tidak menghasilkan hal yang baik karena yang mengendalikan adalah hikmat manusia berdosa yang dikuasai keinginan yang melawan Allah, nafsu kedagingan dan keinginan keinginan jahat yang berasal dari kegelapan.
Penggunaan pengetahuan yang didasarkan iri hati, mementingkan diri sendiri, kesombongan, penipuan, keinginan jahat menyebabkan pengetahuan dan teknologi menghancurkan kehidupn bersama manusia.


Sebaliknya segala yang baik yang mulia, yang adil, benar berasal dari Allah, itulah yang diteladani Yesus ketika hadir dalam dunia. Yesus memiliki pengetahuan yang tak terbatas, dan dengan hikmatNya mampu menggunakan seluruh pengetahuan yang dimiliki menjadi kebaikan semata.


Untuk menggunakan hikmat Allah, manusia perlu hidup bergantung dengan Allah dengan hidup meneladani Yesus Kristus sebagai teladan manusia sejati.



Hasil Hikmat Allah




Hukum tabur tuai merupakan kebenaran. Mereka yang menaburkan kebaikan akan menuai kebaikan, sebaliknya mereka yang menabur kejahatan akan menuai hukuman kekal.


Orang yang hidup dalam hikmat Allah akan hidup dalam kebenaran, keadilan, kasih dan segala sesuatu yang baik. Itulah sebabnya mereka yang hidup dalam hikmat Allah akan menuai kebaikan.


Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghancurkan manusia dan kehidupan bersama adalah hasil dari penggunaan hikmat yang salah, hikmat yang dikuasai natur manusia berdosa.
Hiduplah dalam hikmat Allah untuk menghadirkan kebaikan dan hidup bersama yang memuliakan Tuhan.

 

https://www.binsarinstitute.id/2024/01/hikmat-allah-menghasilkan-kebaikan.html /> Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/T1yvnq

Saturday, January 27, 2024

Suka cita keluarga Allah

"Suka cita Keluarga Allah"Membangun Gereja, Jemaat baru adalah Membangun Keluarga Allah dengan Yesus Kristus sebagai dasar. Karena itu sukacita tiap individu menjadi sukacita bersama



Melihat sukacita jemaat dalam keluarga Allah menjadi sukacita tersendiri bagi pelayan Tuhan. Jemaat yang mulai beribadah pada bulan Juni 2022, hampir setahun, seiring menurunnya penyebaran covid-19 tampak menampilkan sukacita dalam ber foto bersama. Kami mulai merintis jemaat ini Februari 2020, satu bulan kemudian karena covid, ibadah diselenggarakan secara online. Persoalan kuota hp menjadi tantangan tersend. Oleh anugerah Tuhan jemaat yang kecil ini setia beribadah kepada Tuhan.Semangat untuk melayani Tuhan terungkap jelas pada saat retreat bersama jemaat untuk merumuskan program pelayanan bersama, semua anggota jemaat memiliki tempat pelayanan sesuai karunia dan talenta masing-masing. Tidak ada yang terunggul, kami semua sama-sama anggota tubuh Kristus, dengan Yesus sebagai kepala.Bapak/Ibu/saudara yang mungkin kehilangan tempat ibadah, tidak lagi beribadah secara offline, belum memiliki keanggotaan gereja, dan ingin bertumbuh menjadi anggota keluarga Allah yang baik, silahkan bergabung bersama kami.Hubungi: 081310947679


https://www.binsarinstitute.id/2023/05/suka-cita-keluarga-allah.html />  

Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/T1xCKQ

Menguji kepakaran?

 Pada era informasi dengan kemajuan teknologi informasi saat ini, kita kerap disuguhi pemikiran-pemikiran yang tak berlandaskan karya ilmiah, meski pembicara bergaya layaknya pakar, dan herannya, pembicara itu bergairah mengutarakan kajian yang amat beragam, wajar jika kita bertanya pakar apa orang itu?









Hari-hari ini kita sering mendengar istilah kajian Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin. Istilah ini secara khusus akrab untuk mereka yang biasa merancang kurikulum perguruan tinggi.  Apakah perbedaan kualifikasi ketiganya? Uraian ini sekaligus menjadi alat untuk menguji kepakaran.

Pada program sarjana, secara khusus jika kita melihat dari sudut Kerangka Kualifikasi Nasional Idonesia (KKNI), kualifikasinya adalah level 6 (enam), yaitu analisis deskriptif. Pada level ini, luaran atau lulusan memiliki kemampuan membangun teori, secara khusus teori yang menjadi konsentrasi program studi itu. Membangun teori ini kemampuan awal seorag ilmuwan, karena tanpa teori kita tidak bisa membaca realitas.

Untuk memperluas wawasan level 6 (enam) ini lulusan di bekali dengan teori-teori yang memiliki kaitan dengan teori utama yang menjadi konsentrasi program studi itu, teori-teori yang diperlukan untuk membaca realitas yang terkait dengan kerja atau pelayanan lulusan.Suasana akademik yang terbentuk adalah terciptanya kajian-kajian multidisiplin. 

Lulusan dipersiapkan untuk memiliki wawasan bahwa teori yang dipahaminya bukan jalan tunggal untuk jawaban segala sesuatu. Pada level multi disiplin ini luaran belum memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan disiplin ilmu yang berbeda, atau teori-teori yang berbeda dengan konsentrasi keilmuannya, karena kualifikasi level itu hanya pada analitis deskriptif, menganalis apakah sebuah bangunan teori yang dibentuk itu memenuhi prosedur yang telah dipelajari.

Pada level 8 KKNI barulah luaran memiliki kemampuan interdisiplin. Saya tidak membahas level 7 KKNI, karena kualifikasi level 8 akademik ini setara dengan level 8 profesi 2, sedang level 7 adalah profesi 1. Pada level 8 akademik ini kualifikasi luaran adalah interdisiplin, luaran bukan hanya menguasai satu teori, seperti pada level sarjana, dan perlu diingat kemampuan membangun teori level sarjana ini lebih kepada prosedur pembangunan teori.

Tamatan Magister memiliki kualifikasi evaluasi, artinya luaran mampu melakukan kritik atau perbandingan dua teori. Kedua teori itu tentunya adalah berasal dari dua disiplin ilmu atau kajian yang bisa diintegrasikan . Luaran memiliki penguasaan minimal dua teori yang diintegrasikan. 

Pekerjaan kajian interdisiplin akan menghasilkan solusi atau sebuah masalah yang disoroti dengan menggunakan dua teori dengan hasil yang lebih baik dibandingkan kajian multi disiplin yang masing-masing menyoroti masalah dalam perspektif teori yang berbeda, serta tanpa usaha integrasi. 

Berbeda dengan kajian multi disiplin yang hanya pada tataran wawasan, bahwa jawaban terhadap satu masalah bukan hanya pada teori tertentu, tetapi juga pada teori lain, maka dalam kajian interdisiplin berpusat pada usaha untuk menghasilkan jawaban terhadap sebuah masalah. 

Kajian interdisiplin menghasilkan Jawaban yang lebih baik terhadap satu persoalan dibandingkan muti disiplin. Jangan lupa, penelitian merupakan usaha untuk memberikan solusi bukan bergenit-genit dengan teori.

Selanjutnya pada level doktor, level 9 KKNI, luaran memiliki kemampuan pengembangan teori atau merumuskan teori baru. Dalam kajian-kajian konseptual biasanya luaran memiliki kemampuan untuk mengembangkan teori, itulah sebabnya karya akhir kajian konseptual akan menyusuri teori-teori para pakar, kemudian mengembangkan teori-teori pakar yang ada. 

Kajian konseptual ini biasa kita temukan pada kajian filosofis atau metafisika. Pada kajian empiris kualitatif dan kuantitatif, sebelumnya perlu juga dipahami bahwa kajian empiris bisa merupakan kajian eksperimen di laboratorium atau bisa juga kajian eksperimen di luar laboratorium, asalkan memenuhi syarat kajian ekperimen, yaitu peneliti membuat perlakuan terhadap variable-variabel yang diteliti sebagaimana layaknya penelitian eksprimen laboratorium.

Tidak salah jika kita mengatakan, Kemajuan ilmu pengetahuan sesungguhnya menjadi tanggung jawab para lulusan doktor secara khusus, itulah sebabnya para doktor itu perlu membimbing dosen yunior, demikian juga mahasiswa untuk menemukan hal-hal baru, atau memberikan jawaban terhada permasalahan masyarakat. 

Kajian pada level doktor selain meneumukan teori baru atau mengembangkan teori, bisa juga merupakan penerapan baru sebuah teori, maksudnya dari berbagai pandangan pakar tentang teori yang sama dicari sintesisnya, kemudian dicari penerapan baru yang merupakan solusi terhadap permasalahan yang ada.

Pada penelitian kuantitatif level doktor ini umumnya minimal variabel yang diteliti adalah 3 variabel. Penelitiannya juga  bukan hanya hubungan sebab akibat, tetapi juga hubungan interaksi. Itu dimungkinkan karena pada level ini kemampuan penelitian program doktor sudah mencapai puncaknya, dan sejatinya mampu menghasilkan karya-karya baru, tentu saja terkait dengan program studi yang ditekuninya. 

Pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud dengan kajian transdisiplin yang menjadi kualifikasi level doktor untuk memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan dalam masyarakat?

Berbeda dengan level magister dengan kualifikasi interdisiplin, dimana kedua teori yang dievaluasi merupakan kajian yang dipelajari dalam proram studi itu, maka pada kajian transdisiplin, kajian yang digunakan untuk memberikan solusi terhadap sebuah permasalahan, tidak hanya dilihat dari kajian yang dipelajari pada program studi. Tapi, seorang tamatan doktor bisa menggunakan kajian yang dipelajari sendiri di luar program studinya untuk memberikan jawaban yang lebih baik terhadap sebuah permasalahan.

Tentu saja tidak tiba-tiba seorag doktor menggunakan beberapa teori untuk menjawab permasalahan, tetapi terlebih dulu memahami teori itu. Jangan lupa, seorang tamatan doktor mestinya mampu membangun teori dari data yang dikumpulkannya. Kemampuan grounded theory, membangun teori dari data perlu dikuasai seorang lulusan docktor, itulah sebabnya seorang doktor memiliki kemampuan mengerjakan kajian transdisiplin.

Kita tentu tidak heran jika Calvin seorang doktor hukum mampu menghasilkan karya-karya teologi bermutu, karena kemampuan Calvin sebagai seorang doktor hukum dalam membangun teori-teori hukum, tentu saja dapat digunakan untuk membangun teologi sebagaimana telah dikerjakannya. Tapi sayangnya, teologi Calvin kerap dibekukan, seakan itu rumusan baku dan tidak bersalah. Teologi Calvin seakan berada di atas Alkitab.



Kita tentu setuju setiap luaran sarjana, magister dan doktor perlu bicara pada bidang keahliannya, demikian juga seorang tamatan doktor. Itulah sebabnya karya-karya seorang ilmuwan di jurnal ilmiah perlu merujuk pada kajian-kajian sebelumnya. 





 
https://www.binsarinstitute.id/2023/11/menguji-kepakaran.html />
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/T1xCCn

Mengungkap Kejahatan Pendidikan

 


 





Mengungkap Kejahatan Pendidikan




 



Saya setuju
pendidikan tinggi merupakan institusi tercepat yang dapat menghadirkan
perubahan dalam kehidupan masyarakat, utamanya dalam mewujudkan masyarakat
sejahtera, adil dan makmur.



Siapapun yang
mengelola pendidikan tinggi perlu menjaga mutu dan meningkatkan mutu pendidikan
tinggi secara berkelanjutan.  Membiarkan pendidikan tinggi tidak bermutu dan membiarkan luaran perguruan
tinggi tanpa kompetensi merupakan kejahatan.



Akreditasi
merupakan salah satu cara pemerintah untuk mengawasi mutu pendidikan tinggi
sesuai dengan undang-undang pendidikan tinggi. Akreditasi sebagai audit mutu
eksternal mengukur, menilai dan mengevaluasi berdasarkan standar eksternal yang
ditetapkan pemerintah dalam standar nasional pendidikan tinggi.



Kompetensi
lulusan perguruan tinggi yang direncanakan sebuah perguruan tinggi juga ada
acuannya, yaitu Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), itu ditetapkan
untuk membedakan kualifikasi seorang sarjana, magister dan doktor. Apa jadinya
Jika lulusan perguruan tinggi yang menyandang gelar sarjana, magister dan
doktor itu tidak menghsilkan karya bermutu?



Akreditasi
bukanlah cara pemerintah untuk menutup perguruan tinggi, sebaliknya
memfasilitasi pengelola pendidikan tinggi untuk melaksanakan kewajiban
menghadirkan pendidikan tinggi bermutu. Demikian juga standar kompetensi lulusan
yang mengacu pada KKNI menjamin bahwa lulusan perguruan tinggi memiiki
kompetensi yang ditetapkan mengacu standar nasional pendidikan tinggi.



Bagaimanakah
dengan kondisi pendidikan tinggi keagamaan Kristen di Indonesia?



Berdasarkan
level akreditasi yang pada umumnya hanya menduduki akreditasi baik, yang
awalnya menggunakan sebutan akreditasi C sudah dapat diduga bahwa mutu
pendidikan tinggi keagamaan Kristen di Indonesia masih rendah.



Belum lagi
setiap pendidikan tinggi keagamaan Kristen yang didirikan gereja umumnya
berafiliasi pada denominasi gereja yang beragam, sehingga ketika sebuah
pendidikan tinggi ingin menetapkan profil lulusan lingkup kerja lulusan
dibatasi oleh denominasi gereja pendiri pendidikan tinggi teologi itu. Itulah
sebabnya luaran perguruan tinggi teologi harus rela mengerjakan apa saja demi
mencukupi kebutuhan  hidup mereka karena
denominasi gereja membatasi lingkup pelayanan luaran perguruan tinggi.



Masih
rendahnya mutu perguruan tinggi teologi Kristen itu menyebabkan animo masyarakat
memasuki sekolah tinggi teologi semakin rendah, apalagi integrasi perguruan
tinggi teologi dengan pelatihan atau pendidikan warga gereja yang dilaksanakan
gereja tidak terjadi.



Rendahnya
mutu perguruan tinggi teologi tampak pada input perguruan tinggi yang banyak
berkonsentrasi merekrut calon mahasiswa dari daerah tertinggal dengan
iming-iming bea siswa dan kelulusan yang mudah. 
Menurut saya perguruan tinggi perlu menyadari praktek jahat membiarkan
pendidikan tinggi tidak bermutu yang merugikan individu, masyarakat, bangsa dan
negara.



Kita tentu
setuju program doktor merupakan program penting yang menghasilkan temuan-temuan
baru yang bermutu untuk menghadirkan perubahan kearah yang lebih baik. Tapi,
apa jadinya jika luaran doktor teologi itu tidak bermutu?

 


https://www.binsarinstitute.id/2024/01/mengungkap-kejahatan-pendidikan.html />
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/T1x23t

Wednesday, January 24, 2024

Pantai Ambon menjelang senja


http://dlvr.it/T1pnQcKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/T1qCKL

Binsar Antoni Hutabarat: Kebohongan Sekte Setan!

Binsar Antoni Hutabarat: Kebohongan Sekte Setan! :   Kebohongan Satanic atau Sekte Setan! Informasi terkair beredarnya kitab satanic yan...