Demokrasi Kalap
Konferensi pers di Rembang baru-baru ini yang dihadiri mereka yang menyebut tokoh-tokoh nasional di kediaman Gus Mus dengan lontaran kritikan tajam kepada pemerintahan Jokowi merupakan titik balik perpalingan mereka yang menyebut pejuang demokrasi pendukung Jokowi.
Saya masih ingat dalam acara pergantian pimpinan ICRP (Indonesian Conference on religion and Peace), pada waktu itu yang terpilih sebagai ketua ICRP adalah Ulil, seorang motor penggerak Jaringan Islam Liberal, yang kemudian menjadi Ketua Litbang Partai Demokrat.
Pada acara akhir pelantikan pengurus ICRP yang dihadiri tokoh-tokoh nasional yang bertempat di Kantor Pusat PGI, jalan Salemba Raya, dikumandangkanlah tekat bahwa mereka akan berjuang dari dalam bersama Jokowi menguatkan toleransi beragama di Indonesia, Kebebasan beragama di Indonesia untuk menguatkan demokrasi Indonesia. Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan pemerintahan orde baru yang absolutis. Tekat para aktivis berjuang dari dalam pemerintahan itu membuat nurani saya tersentak, apakah mungkin kekuasaan yang memegang pedang itu tidak diawasi? Apakah mereka tahan berjuang dari dalam sambil menikmati kue kekuasaan yang amat lezat itu?
Masuknya Ulil ke partai demokrat menyebabkan Jaringan Islam Liberal yang kerap bersuara lantang dan disasar kelompok-kelompok garis keras tertentu itu meredup. Musdah Mulia adalah salah seorang petinggi ICRP dan pernah menjadi Direktur Megawati Institut.
Setelah meredupnya Jaringan Islam Liberal mereka yang biasa berkumpul di markas jaringan Islam Liberal itu sebagian besar bergabung di Salihara yang didirikan Gunawan Muhammad. Tempo dengan Saliharanya yang didirikan Gunawan Muhammad menjadi markas baru perjuangan mereka yang menyebut diri pejuang demokrasi.
Kita tentu berbesar hati dengan hadirnya pejuang-pejuang demokrasi itu. Tapi, pada arena pemilu kali ini, apakah tidak mungkin didalamnya juga ada niat menikmati kue kekuasaan bersama capres baru dukungan mereka.
Kita tentu heran, mengapa tiba-tiba pendukung Jokowi terdiam, dan yang tampil adalah pembenci Jokowi, setidaknya terbaca dari kekecewaan, kemarahan yang terkandung dalam kata-kata kotor yang memenuhi ruang publik.
Penggunaan “Istilah bajingan” apakah layak dilontarkan untuk menghina orang nomor satu di Indonesia? Jika demokrasi di negeri ini mati, atau setidaknya jika itu terjadi pada era orde baru, apakah mereka masih bisa hadir di ruang publik?
Benarkah Demokrasi Indonesia telah mati?
Mengamati rentetan penyerangan terhadapa Jokowi yang sangat sistimatis, mengalir deras, teratur tentu saja ada sutradaranya. Bisa jadi sutradaranya adalah mereka yang kuatir Prabowo yang kian akrab dengan Jokowi akan memenangkan pilpres bersama Gibran. Dan tentunya juga ada dana besar yang mengalir, perjuangan menguasai ruang publik itu butuh dana besar.
Kalau demikian, dari mana dana mereka, apakah para pejuang demokrasi itu tidak terkait sama sekali dengan tim pemenangan pilpres yang lain? Apakah tidak ada campur tangan asing yang beriringan dengan perjuangan demokrasi itu. Tentu saja ada, setidaknya itu tersurat dan tersirat pada berita media-media asing yang mengarahkan tembakannya pada pribadi yang sama.
Kita tentu setuju pada era global bangsa-bangsa di dunia perlu menyatu untuk menciptakan damai di bumi. Tapi, jangan lupa negera-negara yang menyebut diri negara demokrasi kerap menciptkan perang.
Masyarakat perlu hati-hati dengan niat tersembunyi dibalik perjuangan penegakkan demokrasi, apalagi demokrasi itu sendiri sebuah usaha bersama, bukan usaha individu atau kelompok tertentu. Dan jangan lupa pemilu adalah pesta demokrasi.
Mengamati kehadiran Todung Mulya Lubis sebagai tim pemenangan salah satu pasangan capres tentu kita paham, Todung Mulya Lubis dengan yayasan TIFA kerap mendapat julukan peternak LSM, karna TIFA banyak memberikan dana hibah dalam dan luar negeri untuk LSM-LSM pejuang demokrasi, apalagi yang terkait dengan hak-hal asasi manusia?
Tentu saja tidak salah PDIP memilih Todung Mulya Lubis sebagai tim pemenangan pilpres, apalagi dengan gema jargon politik dinasti, Todung sebagai orang yang identik dengan pejuang HAM, secara khusus perjuangannya menolak hukuman mati di Indonesia, Todung merupakan orang yang tepat, dan jaringannya sangat luas, dalam dan luar negeri.
Sudah jamak tim pemenangan capres mendapatkan jabatan menteri ketika capres yang didukungnya berkuasa. Pertanyaannya kemudian, apakah benar bahwa mereka kuatir dengan kehadiran orde baru yang tampil dengan Pasangan Prabowo Gibran? Apakah tidak mungkin sesungguhnya mereka ingin terus menikmati kue kekuasaan, dan takut kehilangan kesempatan menikmati kue kekuasaan setelah era Jokowi?
Kita perlu hati-hati menganalisi hasil-hasil survey pilpres, apalagi yang berasal dari lembaga-lembaga survey yang terkait paslon tertentu, juga dengan kehadiran institusi survey dadakan, karena survey itu berbiaya mahal,
Jargon politik dinasti yang beredar liar itu jangan-jangan terkait “kampanye negative” untuk mempromosikan barang dagangan “penegakkan demokrasi” partai tertentu.
Pejuang demokrasi tidak boleh kalap memperjuangan pemikirannya, apalagi jika menimbulkan kekacauan, rakyat yang akan dirugikan. Dalam alam demokrasi semua individu dan kelompok punya hak yang sama untuk berbicara.
Demokrasi Kalap
Kita tentu heran, bagaimana mungkin orang nomor satu di Indonesia, kader partai terbaik tak memiliki tempat di hati partainya. Presiden sebelumnya selalu saja hadir sebagai tokoh partai, contohnya Megawati, SBY, kecuali Gus Dur yang gagal karena terjegal Muhaimin.
Wajar-wajar saja kehadiran Kaesang di PSI, tak ada salahnya, karena setahu saya kader-kader PSI seperti memiliki semangat baru untuk bisa masuk Senayan. Pemilu tahun lalu meski PSI memperoleh suara signifikan di daerah, mereka belum sukses menempatkan wakilnya di senayan.
Fuan Maharani, AHY mendapatkan karpet merah untuk mendapatkan posisi-posis penting di partai. Bisa saja kita menyebut dinasti Megawati, Dinasti SBY, dan Dinasti Jokowi. Tapi bukan politik dinasti. Ini masih negara demokrasi bukan!
Kita tentu setuju, dalam politik tidak ada teman sejati, dan tentunya juga tak ada musuh kekal, politik praktis tujuannya adalah untuk mendapatkan kekuasaan, itu sah-sah saja, karena dalam perebutan posisi-posisi itu ada aturan permaian.
Individu atau kelompok selalu saja berusaha untuk menghadirkan aturan yang berpihak pada individu atau kelompok tertentu, pada kondisi itu pemerintah perlu mengembalikannya pada aturan yang adil. Itulah sebabnya demokrasi perlu dipahami sebagai sebuah perjalanan, bukan hanya pencapaian.
Kita tidak perlu mendeklarasikan demokrasi di negeri ini sudah kuat atau sudah mati, karena variable dan indikator yang menjadi alat ukur demokrasi itu sangat kompleks. Contoh sederhananya, bagaimana mungkin tiba-tiba terjadi perpalingan pendukung Jokowi menjadi lawan Jokowi? Apakah itu suara mayoritas? Tentu saja belum tentu, karena mereka yang bersuara di publik tentunya mereka yang memiliki media-media publik, apalagi di saat kemajuan teknologi saat ini, semua orang bisa bicara seperti pakar di tiktok, youtube, facebook dll.
Politik juga demikian, siapa yang pernah masuk partai politik, dan menjadi tim sukses atau tim pemenangan pemilu sadar betul, ada banyak variable yang tak terduga yang bisa mempengaruhi perolehan suara dalam pemilu.
Para penyerang Jokowi boleh-boleh saja berusaha menarik hati rakyat untuk mendapatkan kekuasaan, dan boleh saja mengutarakan penilaiannya terhadap kondisi Indonesia. Jangan lupa penilaian terhadap realitas itu bergantung pada teori apa yang ingin digunakan.
Bisa saja keinginan dan harapan, atau napsu kekusaan individu atau kelompok itu dicari pembenarannya dengan menjadikan realitas itu pembenaran, untuk memaksakan keinginan dan harapan individu atau kelompok tertentu.
Menurut saya pejuang demokrasi tak perlu kalap, apalagi mereka yang beriringan dengan tim sukses capres. Utarakan saja temuan-temuan tentang kondisi Indonesia saat ini dengan cara-cara yang sejuk dan jangan lupa jangan hanya mengungkapkan kekecewaan, kemarahan, tetapi juga solusi terbaik untuk Indonesia. Utarakanlah Visi,Misi yang akan memajukan Indonesia.
Dalam pemilihan umum semua calon yang dicalonkan partai politik adalah pilihan rakyat, dan siapapun yang menang adalah kemenangan rakyat, karena rakyat mendapatkan pemimpin terbaik melalui seleksi partai. Pemilu bukan pertarungan untuk saling menyingkirkan, semua capres adalah milik bangsa Indonesia.
Jangan kalap, meski suara perjuangan, suaran nurani yang kita kumandangkan itu tak merespon hasil, kesempatan mengutarakan suara nurani itu adalah kesempatan, dan pemberian kontribusi terbaik, tapi jangan kotorkan dengan usaha pemaksaan, apalagi mengatasnamakan suara nurani yang subyektif itu.
https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/11/demokrasi-kalap.html
/>
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/Syld82
Monday, November 13, 2023
BISAR INSTITUTE: Demokrasi Kalap
BISAR INSTITUTE: Demokrasi Kalap: Demokrasi Kalap Konferensi pers di Rembang baru-baru ini yang dihadiri mereka yang menyebut tokoh-tokoh nasional di kediaman Gus Mus denga...
Sunday, November 12, 2023
Panggung Sandiwara Pilpres 2024
Panggung Sandiwara Pilpres 2024
Drama politik yang terjadi menjelang pilpres 2024 ini sesuai dengan isi sair lagu “Panggung Sandiwara” yang dinyanyikan Ahmad Albar, vokalis band “God Bless”yang pernah tersohor, “Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah…”
Popularitas Jokowi tiba-tiba menukik tajam, para pendukung yang dulu berjanji berjuang bersama Jokowi untuk menghadirkan pemerintahan yang berpihak kepada rakyat tiba-tiba menjadi lawan Jokowi.
Dengan alasan ketakutan kembalinya kekuatan orde baru yang absolutis melalui dinasti Jokowi yang kini menjadi berita utama diberbagai media, baik dalam negeri maupun luar negeri, secara khusus ketika keputusan MK, dan keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), suara kekecewaan, marah, benci memenuhi ruang publik.
Cinta dan Benci
Cinta dan Benci menjadi pesan drama yang kita tidak tahu siapa sutradarnya. Serangan terhadap Jokowi tiba-tiba saja muncul secara berantai, rupanya cinta berlebihan terhadap Jokowi berbalik meluap menjadi kebencian. Ungkapan kemarahan, kekecewaan menggantikan pujian selangit yang pernah dikumandangkan untuk Jokowi.
Hubungan PDIP dan Jokowi yang mulai retak membuat serangan terhadap Jokowi kian bertubi-tubi. Apalagi Tim pemenangan partai melibatkan para presenter kondang yang terbiasa menggelar press release untuk memengaruhi massa, membentuk opini publik. Disana juga ada figur yang pernah mendapat julukan "peternak LSM", yang memberikan bantuan dana dalam dan luar negeri untuk mereka yang menyebut diri pejuang demokrasi.
Kita tentu berharap kerja keras mereka bukan hanya untuk tampil untuk mendapatkan peluang menikmati kue kekuasaan dari capres yang mereka dukung.
Youtuber-youtuber kondang pencinta Jokowi, kini banyak yang beralih menjadi pembenci Jokowi, dengan Jargon politik dinasti, maka seluruh keluarga dan kerabat dekat Jokowi menjadi sasaran tembak.
Apakah dengan alasan mereka mewakili suara publik, suara mayoritas mereka bisa berbuat semaunya? Jangan terjebak cinta buta, dan kemarahan buta, tataplah Indonesia dengan ratusan juta orang di dalamnya, kita berharap tujuan bersama Indonesia menjadi tujuan utama, bukannya sekadar menghabisi mereka yang dibenci, apalagi mereka juga pernah dicinta.
Tidak tanggung-tanggung beberapa tokoh yang menyebut diri tokoh nasional berkumpul menyampaikan kekuatirannya baru-baru ini di Rembang, Peristiwa seperti ini jamak terjadi sebelum pernyataan dukungan para aktifis dan tokoh-tokoh nasional itu terhadap pemerintahan Jokowi.
Kita tentu prihatin dengan kata-kata kasar yang diutarakan kepada orang nomor satu di Indonesia, ada banyak sindiran dan kata-kata kotor yang tak patut diutarakan kepada orang nomor satu di negeri ini.
Kita berharap mereka yang kecewa, marah terhadap pemerintahan saat ini juga bertindak sesuai aturan yang berlaku. Jangan kalap mengungkapkan kekuatiran, kemarahan dan kekecewaan, utarakanlah dengan bijak dengan tujuan untuk kebaikan Indonesia.
Pada satu sisi saya berbesar hati, karena banyaknya orang yang sadar perlunya mengawal pemerintahan Jokowi agar pemerintahan Jokowi dapat berakhir sesuai mandat rakyat.
Masyarakat perlu mengawal pemerintahan Jokowi agar pemerintah yang memiliki pedang itu menggunakan pedangnya untuk menegakkan keadilan, yang bermuara pada kesejahteraan rakyat Indonesia.
Rakyat perlu menjaga agar pemerintahan saat ini berhat-hati menjalankan amanat rakyat. Namun, pengungkapan kemarahan, kekecewaan, kebencian jangan menjadi lebih utama dibanding tugas mengawal agar demokrasi di Indonesia tidak terkubur dan menjelma menjadi politik dinasti, meskipun politik dinasti itu tidak pernah ada, karena pemilu ditentukan di kotak suara.
Drama politik yang terjadi saat ini tidak boleh dilihat hanya dari satu sisi saja, boleh saja individu atau kelompok memandang bahwa drama politik saat ini tidak lagi menghadirkan nurani, meski nurani yang dimaksud tentu saja perlu diinterpretasikan secara hati-hati, karena suara nurani itu sendiri sangat subyektif, dan dipengaruhi banyak kepentingan serta ikatan-ikatan politik.
Secara legal formal pencalonan Presiden dan wakil Presiden sudah memenuhi persyaratan KPU, dan mestinya secara legal formal tiga pasangan capres itu telah memenuhi ketentuan yang berlaku di KPU. Boleh-boleh saja ada kelompok yang ingin menuntut Jokowi, Anwar Usman dan KPU, tentunya perlu melewati jalur hukum yang berlaku. Vonis-vonis yang dilontarkan di publik perlu mengacu kepada ketetapan pengadilan.
Politik pemenangan pilpres itu banyak variabelnya, jangan cepat-cepat mengutarakan bahwa negara ini sedang menuju kehancuran, demikian juga jangan cepat-cepat mengatakan demokrasi telah mati di negeri ini.
Bukankah suara-suara yang secara tidak sopan menyerang orang nomor satu dinegeri ini secara bersamaan juga menyakiti hati seluruh rakyat Indonesia?
Boleh-boleh saja melontarkan tuduhan Jokowi membangun politik dinasti, tetapi tidak perlu menyatakan bahwa tuduhan itu mutlak benar. Jangan lupa masih banyak orang dinegri ini yang mendukung Jokowi, dan mereka juga Indonesia.
https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/11/panggung-sandiwara-pilpres-2024.html
/> Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/SykcGb
Drama politik yang terjadi menjelang pilpres 2024 ini sesuai dengan isi sair lagu “Panggung Sandiwara” yang dinyanyikan Ahmad Albar, vokalis band “God Bless”yang pernah tersohor, “Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah…”
Popularitas Jokowi tiba-tiba menukik tajam, para pendukung yang dulu berjanji berjuang bersama Jokowi untuk menghadirkan pemerintahan yang berpihak kepada rakyat tiba-tiba menjadi lawan Jokowi.
Dengan alasan ketakutan kembalinya kekuatan orde baru yang absolutis melalui dinasti Jokowi yang kini menjadi berita utama diberbagai media, baik dalam negeri maupun luar negeri, secara khusus ketika keputusan MK, dan keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), suara kekecewaan, marah, benci memenuhi ruang publik.
Cinta dan Benci
Cinta dan Benci menjadi pesan drama yang kita tidak tahu siapa sutradarnya. Serangan terhadap Jokowi tiba-tiba saja muncul secara berantai, rupanya cinta berlebihan terhadap Jokowi berbalik meluap menjadi kebencian. Ungkapan kemarahan, kekecewaan menggantikan pujian selangit yang pernah dikumandangkan untuk Jokowi.
Hubungan PDIP dan Jokowi yang mulai retak membuat serangan terhadap Jokowi kian bertubi-tubi. Apalagi Tim pemenangan partai melibatkan para presenter kondang yang terbiasa menggelar press release untuk memengaruhi massa, membentuk opini publik. Disana juga ada figur yang pernah mendapat julukan "peternak LSM", yang memberikan bantuan dana dalam dan luar negeri untuk mereka yang menyebut diri pejuang demokrasi.
Kita tentu berharap kerja keras mereka bukan hanya untuk tampil untuk mendapatkan peluang menikmati kue kekuasaan dari capres yang mereka dukung.
Youtuber-youtuber kondang pencinta Jokowi, kini banyak yang beralih menjadi pembenci Jokowi, dengan Jargon politik dinasti, maka seluruh keluarga dan kerabat dekat Jokowi menjadi sasaran tembak.
Apakah dengan alasan mereka mewakili suara publik, suara mayoritas mereka bisa berbuat semaunya? Jangan terjebak cinta buta, dan kemarahan buta, tataplah Indonesia dengan ratusan juta orang di dalamnya, kita berharap tujuan bersama Indonesia menjadi tujuan utama, bukannya sekadar menghabisi mereka yang dibenci, apalagi mereka juga pernah dicinta.
Tidak tanggung-tanggung beberapa tokoh yang menyebut diri tokoh nasional berkumpul menyampaikan kekuatirannya baru-baru ini di Rembang, Peristiwa seperti ini jamak terjadi sebelum pernyataan dukungan para aktifis dan tokoh-tokoh nasional itu terhadap pemerintahan Jokowi.
Kita tentu prihatin dengan kata-kata kasar yang diutarakan kepada orang nomor satu di Indonesia, ada banyak sindiran dan kata-kata kotor yang tak patut diutarakan kepada orang nomor satu di negeri ini.
Kita berharap mereka yang kecewa, marah terhadap pemerintahan saat ini juga bertindak sesuai aturan yang berlaku. Jangan kalap mengungkapkan kekuatiran, kemarahan dan kekecewaan, utarakanlah dengan bijak dengan tujuan untuk kebaikan Indonesia.
Pada satu sisi saya berbesar hati, karena banyaknya orang yang sadar perlunya mengawal pemerintahan Jokowi agar pemerintahan Jokowi dapat berakhir sesuai mandat rakyat.
Masyarakat perlu mengawal pemerintahan Jokowi agar pemerintah yang memiliki pedang itu menggunakan pedangnya untuk menegakkan keadilan, yang bermuara pada kesejahteraan rakyat Indonesia.
Rakyat perlu menjaga agar pemerintahan saat ini berhat-hati menjalankan amanat rakyat. Namun, pengungkapan kemarahan, kekecewaan, kebencian jangan menjadi lebih utama dibanding tugas mengawal agar demokrasi di Indonesia tidak terkubur dan menjelma menjadi politik dinasti, meskipun politik dinasti itu tidak pernah ada, karena pemilu ditentukan di kotak suara.
Drama politik yang terjadi saat ini tidak boleh dilihat hanya dari satu sisi saja, boleh saja individu atau kelompok memandang bahwa drama politik saat ini tidak lagi menghadirkan nurani, meski nurani yang dimaksud tentu saja perlu diinterpretasikan secara hati-hati, karena suara nurani itu sendiri sangat subyektif, dan dipengaruhi banyak kepentingan serta ikatan-ikatan politik.
Secara legal formal pencalonan Presiden dan wakil Presiden sudah memenuhi persyaratan KPU, dan mestinya secara legal formal tiga pasangan capres itu telah memenuhi ketentuan yang berlaku di KPU. Boleh-boleh saja ada kelompok yang ingin menuntut Jokowi, Anwar Usman dan KPU, tentunya perlu melewati jalur hukum yang berlaku. Vonis-vonis yang dilontarkan di publik perlu mengacu kepada ketetapan pengadilan.
Politik pemenangan pilpres itu banyak variabelnya, jangan cepat-cepat mengutarakan bahwa negara ini sedang menuju kehancuran, demikian juga jangan cepat-cepat mengatakan demokrasi telah mati di negeri ini.
Bukankah suara-suara yang secara tidak sopan menyerang orang nomor satu dinegeri ini secara bersamaan juga menyakiti hati seluruh rakyat Indonesia?
Boleh-boleh saja melontarkan tuduhan Jokowi membangun politik dinasti, tetapi tidak perlu menyatakan bahwa tuduhan itu mutlak benar. Jangan lupa masih banyak orang dinegri ini yang mendukung Jokowi, dan mereka juga Indonesia.
https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/11/panggung-sandiwara-pilpres-2024.html
/> Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/SykcGb
Sikap terhadap pengajar sesat, @BinsarInstitute
http://dlvr.it/SyjrrmKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/Syk78C
Saturday, November 11, 2023
Pemilu dan Jargon Politik Dinasti
Pemilihan umum merupakan cara damai bagi berlangsungnya perubahan kepemimpinan untuk menghadirkan kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Harapan untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik itu dirayakan dalam acara yang biasa disebut pesta demokrasi.
Sejatinya, pemilu perlu berlangsung secara damai, dan yang ditampilkan adalah program-program unggul, yang memberikan harapan perubahan bagi semua rakyat. Siapapun pasangan yang menang dalam pemilu, mereka adalah pemimpin terbaik bangsa Indonesia, setidaknya itulah yang dibuktikan di kotak suara.
Jargon politik dinasti
Menjelang pendaftaran calon Presiden dan wakil Presiden terjadi kontroversi yang membelah masyarakat Indonesia. Setidaknya keputusan Mahkamah Konstitusi dianggap menjadi alarm matinya demokrasi di Indonesia, meski indikatornya masih sangat abstrak, apalagi suara publik yang terdengar keras itu berasal dari mereka yang dulunya pendukung Jokowi.
Mereka yang bersuara lantang itu dan membentuk opini publik seakan menjadi suara mayoritas rakyat Indonesia. Secara khusus pada propaganda jargon dinasti politik yang akrab dengan pemerintahan orde baru.
Pada awal pemerintahan Jokowi lima tahun kedua, mereka yang kini menyasar Jokowi juga berteriak keras tidak akan berjuang dijalan-jalan atau demonstrasi mengawal kebijakan pemerintah, tetapi berjuang dari dalam untuk menghadirkaan kebijakan unggul yang menghadirkan kesejahteraan msyarakat dalam pemerintahan Jokowi.
Kita tentu bertanya, mengapa konflik antara PDIP dan Jokowi itu bergerak liar, dan menyasar siapa saja yang dekat dengan Jokowi. Korban pertama adalah Anwar Usman, salah seorang yang memiliki hubungan dekat dengan Jokowi.
Melalui keputusan MKMK, Anwar Usman memang tidak diberhentikan sebagai anggota MK, tetapi vonis yang diberikan menurut saya jauh lebih berat dibandingkan diberhentikan.
Jika diberhentikan Anwar Usman dapat membentuk majelis banding, tetapi dengan hanya diberhentikan sebagai ketua MK, dan tidak sebagai anggota MK, Anwar Usman perlu melewati jalan berliku untuk melakukan pembelaan diri.
Sebenarnya sudah banyak surat-surat kekecewaan yang ditujukan kepada Jokowi dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil Presiden Prabowo. Apalagi survey-survey pemilu menunjukkan peluang Prabowo Gibran berada di atas kedua pasangan. Mungkin karena itu pesaing Prabowo Gibran menjadi kalap.
Pencalonan Gibran sebagai wakil Presiden Prabowo mengakibatkan ikatan Prabowo dan Megawati yang pernah menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden pun retak.
Opini publik penghakiman terhadap politik dinasti Jokowi yang menyasar Hakim MK dimotori oleh Tempo, setidaknya ulasan media itu terkait kebocoran rapat-rapat di MK menjadi bukti pengambilan keputusan MKMK.
Bola salju kekecewaan terhadap Jokowi membesar dengan surat-surat terbuka para aktifis yang menentang pencalonan Gibran dengan tuduhan memainkan konstitusi, meski tak ada bukti pelanggaran konstisui, karena MKMK hanya mengadili pelanggaran etik.
Kekecewaan-kekecewaan yang disuarakan pada ruang-ruang publik itu secara khusus media publik, kemudian membentuk opini publik yang menjatuhkan vonis pada Anwar Usman, dan selanjutnya menyandra keputusan MKMK.
Setidaknya ada indikasi, publik dipuaskan dengan keputusan MKMK, meski kita tentu bertanya, kemana suara publik pendukung Jokowi, dan kemana suara-suara partai pendukung Prabowo dan Gibran?
Tampaknya kita akan bertemu dengan drama baru yang akan mengagetkan publik, apalagi Jokowi sudah memngingatkan drama politik yang terjadi sekitar pemilu 2024.
Prabowo yang sudah nyaman duduk dalam pemerintahan Jokowi tiba-tiba menjadi sasaran tembak kelompok yang berseberangan dengaan Jokowi, apalagi yang menjadi pasangannya adalah Gibran.
Masa lalu Prabowo di usik kembali, apalagi partai pendukung Prabowo diantaranya adalah Golkar. Kekuatiran timbulnya pemerintahan gaya orde baru berhembus keras.
Menariknya, Jokowi menjadi sasaran tembak tunggal. Media dalam negeri dan luar negeri mengarahkan beritanya pada jargon itu. Kita tentu heran, bagaimana mungkin demokrasi mengalami kematian, sedang yang berkuasa terus menerus menjadi sasaran tembak, dan seakan tidak merespon, apalagi menggunakan kekuatan aparat pemerintah.
Jargon pemimpin karbitan.
Sentimen terhadap Jokowi memuncak dengan hadirnya Kaesang sebagai ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Pemilu lima tahun lalu PSI yang dimotori anak-anak muda itu menggetarkan partai nasionalis seperti PDIP. Bukan rahasia banyak pemilih PDIP yang terpikat dengan PSI.
Meski belum mampu menembus Senayan, perolehan PSI sebagai partai baru pada pemilu lima tahun yang lalu sangat siginifikan, bahkan mampu melewati partai-partai lama seperti Hanura dan Partai Bulan Bintang misalnya.
Wajar saja kehadiran Kaesang menggetarkan partai yang sedang bersebrangan dengan Jokowi. Padahal, PSI seperti mendapatkan energi baru untuk tampil di senayan pada pemilu 2024. Tetapi, tentu saja kompetitor PSI tidak tinggal diam, pemimpin karbitan pun menjadi jargon untuk membelenggu pergerakan PSI.
Baru-baru ini saya mendapat kabar terkait pencopotan spanduk partai yang bersebrangan dengan PSI yang dilakukan satpol PP, dan berita-berita tentang sikap represi pemerintah, tapi ketika saya amati data yang disampaikan lebih berisi asumsi-asumsi tanpa data memadai, kecurigaan atau entah ketakutan apa yang tiba-tiba muncul di kepala mereka dan langsung saja menafsirkan realitas yang mereka jumpai. Akibatnya bukan berita damai, kesejukan yang disuguhkan di media-media social atau media-media public, sebaliknya kontroversi yang hadir dalam debat kusir yang tak bermuara pada jalan keluar untuk menghadirkan Indonesia yang lebih baik.
Drama politik apalagi yang akan tampil berikutnya?
Kita tentu berharap pemilu damai menjadi tujuan bersama partai-partai politik dan juga ketiga pasangan calon presiden. Kiranya pesta demokrasi 2024 menghantarkan negeri ini pada perubahan yang lebih baik. Kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia, siapapun pemenangnya.
https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/11/pemilu-dan-jargon-politik-dinasti.html
/>
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/Syj3bb
Sejatinya, pemilu perlu berlangsung secara damai, dan yang ditampilkan adalah program-program unggul, yang memberikan harapan perubahan bagi semua rakyat. Siapapun pasangan yang menang dalam pemilu, mereka adalah pemimpin terbaik bangsa Indonesia, setidaknya itulah yang dibuktikan di kotak suara.
Jargon politik dinasti
Menjelang pendaftaran calon Presiden dan wakil Presiden terjadi kontroversi yang membelah masyarakat Indonesia. Setidaknya keputusan Mahkamah Konstitusi dianggap menjadi alarm matinya demokrasi di Indonesia, meski indikatornya masih sangat abstrak, apalagi suara publik yang terdengar keras itu berasal dari mereka yang dulunya pendukung Jokowi.
Mereka yang bersuara lantang itu dan membentuk opini publik seakan menjadi suara mayoritas rakyat Indonesia. Secara khusus pada propaganda jargon dinasti politik yang akrab dengan pemerintahan orde baru.
Pada awal pemerintahan Jokowi lima tahun kedua, mereka yang kini menyasar Jokowi juga berteriak keras tidak akan berjuang dijalan-jalan atau demonstrasi mengawal kebijakan pemerintah, tetapi berjuang dari dalam untuk menghadirkaan kebijakan unggul yang menghadirkan kesejahteraan msyarakat dalam pemerintahan Jokowi.
Kita tentu bertanya, mengapa konflik antara PDIP dan Jokowi itu bergerak liar, dan menyasar siapa saja yang dekat dengan Jokowi. Korban pertama adalah Anwar Usman, salah seorang yang memiliki hubungan dekat dengan Jokowi.
Melalui keputusan MKMK, Anwar Usman memang tidak diberhentikan sebagai anggota MK, tetapi vonis yang diberikan menurut saya jauh lebih berat dibandingkan diberhentikan.
Jika diberhentikan Anwar Usman dapat membentuk majelis banding, tetapi dengan hanya diberhentikan sebagai ketua MK, dan tidak sebagai anggota MK, Anwar Usman perlu melewati jalan berliku untuk melakukan pembelaan diri.
Sebenarnya sudah banyak surat-surat kekecewaan yang ditujukan kepada Jokowi dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil Presiden Prabowo. Apalagi survey-survey pemilu menunjukkan peluang Prabowo Gibran berada di atas kedua pasangan. Mungkin karena itu pesaing Prabowo Gibran menjadi kalap.
Pencalonan Gibran sebagai wakil Presiden Prabowo mengakibatkan ikatan Prabowo dan Megawati yang pernah menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden pun retak.
Opini publik penghakiman terhadap politik dinasti Jokowi yang menyasar Hakim MK dimotori oleh Tempo, setidaknya ulasan media itu terkait kebocoran rapat-rapat di MK menjadi bukti pengambilan keputusan MKMK.
Bola salju kekecewaan terhadap Jokowi membesar dengan surat-surat terbuka para aktifis yang menentang pencalonan Gibran dengan tuduhan memainkan konstitusi, meski tak ada bukti pelanggaran konstisui, karena MKMK hanya mengadili pelanggaran etik.
Kekecewaan-kekecewaan yang disuarakan pada ruang-ruang publik itu secara khusus media publik, kemudian membentuk opini publik yang menjatuhkan vonis pada Anwar Usman, dan selanjutnya menyandra keputusan MKMK.
Setidaknya ada indikasi, publik dipuaskan dengan keputusan MKMK, meski kita tentu bertanya, kemana suara publik pendukung Jokowi, dan kemana suara-suara partai pendukung Prabowo dan Gibran?
Tampaknya kita akan bertemu dengan drama baru yang akan mengagetkan publik, apalagi Jokowi sudah memngingatkan drama politik yang terjadi sekitar pemilu 2024.
Prabowo yang sudah nyaman duduk dalam pemerintahan Jokowi tiba-tiba menjadi sasaran tembak kelompok yang berseberangan dengaan Jokowi, apalagi yang menjadi pasangannya adalah Gibran.
Masa lalu Prabowo di usik kembali, apalagi partai pendukung Prabowo diantaranya adalah Golkar. Kekuatiran timbulnya pemerintahan gaya orde baru berhembus keras.
Menariknya, Jokowi menjadi sasaran tembak tunggal. Media dalam negeri dan luar negeri mengarahkan beritanya pada jargon itu. Kita tentu heran, bagaimana mungkin demokrasi mengalami kematian, sedang yang berkuasa terus menerus menjadi sasaran tembak, dan seakan tidak merespon, apalagi menggunakan kekuatan aparat pemerintah.
Jargon pemimpin karbitan.
Sentimen terhadap Jokowi memuncak dengan hadirnya Kaesang sebagai ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Pemilu lima tahun lalu PSI yang dimotori anak-anak muda itu menggetarkan partai nasionalis seperti PDIP. Bukan rahasia banyak pemilih PDIP yang terpikat dengan PSI.
Meski belum mampu menembus Senayan, perolehan PSI sebagai partai baru pada pemilu lima tahun yang lalu sangat siginifikan, bahkan mampu melewati partai-partai lama seperti Hanura dan Partai Bulan Bintang misalnya.
Wajar saja kehadiran Kaesang menggetarkan partai yang sedang bersebrangan dengan Jokowi. Padahal, PSI seperti mendapatkan energi baru untuk tampil di senayan pada pemilu 2024. Tetapi, tentu saja kompetitor PSI tidak tinggal diam, pemimpin karbitan pun menjadi jargon untuk membelenggu pergerakan PSI.
Baru-baru ini saya mendapat kabar terkait pencopotan spanduk partai yang bersebrangan dengan PSI yang dilakukan satpol PP, dan berita-berita tentang sikap represi pemerintah, tapi ketika saya amati data yang disampaikan lebih berisi asumsi-asumsi tanpa data memadai, kecurigaan atau entah ketakutan apa yang tiba-tiba muncul di kepala mereka dan langsung saja menafsirkan realitas yang mereka jumpai. Akibatnya bukan berita damai, kesejukan yang disuguhkan di media-media social atau media-media public, sebaliknya kontroversi yang hadir dalam debat kusir yang tak bermuara pada jalan keluar untuk menghadirkan Indonesia yang lebih baik.
Drama politik apalagi yang akan tampil berikutnya?
Kita tentu berharap pemilu damai menjadi tujuan bersama partai-partai politik dan juga ketiga pasangan calon presiden. Kiranya pesta demokrasi 2024 menghantarkan negeri ini pada perubahan yang lebih baik. Kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia, siapapun pemenangnya.
https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/11/pemilu-dan-jargon-politik-dinasti.html
/>
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/Syj3bb
BISAR INSTITUTE: Pemilu dan Jargon Politik Dinasti
BISAR INSTITUTE: Pemilu dan Jargon Politik Dinasti: Pemilihan umum merupakan cara damai bagi berlangsungnya perubahan kepemimpinan untuk menghadirkan kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Har...
Menakar Visi, Misi Anies
Sewaktu mendengar paparan awal Visi, Misi calon Presiden Anies Baswedan saya sempat terkagum-kagum, tapi ketika Visi, Misi itu berusaha di operasional kan saya berpikir ulang, Program yang diturunkan dari Visi, Misi itu menurut saya masih berada pada tataran ide, atau janji-janji kampanye yang tak menjamin mewujud.
Pemaparan Visi, Misi Anies Baswedan disertai tanya jawab di lembaga riset CSIS baru-baru ini yang disiarkan melalui Televisi memang indah, apalagi pada awal pemaparannya. Tentu saja sebagai seorang yang pernah menjabat rektor di sebuah universitas Anies paham betul bagaimana mekanisme merumuskan Visi,Misi.
Rumusan Visi, Misi Anies bagi saya keren, secara khusus peran internasional Indonesia baik pada Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB), maupun dalam hubungan antar negara, seperti peran yang bisa dimainkan Indonesia dalam mengusahakan damai di Palestina.
Sayangnya, ketika Visi,Misi itu dioperaional kan, saya kecewa karena masih berada pada tataran ide. Tentu saja saya menghargai ide kreatifnya, misalnya menjadikan warga Indonesia tamu yang baik di negeri orang untuk mempromosikan Indonesia, atau untuk Indonesia dapat menancapkan pengaruhnya pada negara-negara lain.
Mengapa saya kecewa dengan operasionalisasi Visi,Misi Anies? Visi, Misi Anies layaknya Visi Misi banyak perguruan tinggi yang hanya berada pada tataran dokumen. Tidak diturunkan secara baik dalam program yang meyakinkan dan dapat dilakukan, tentunya berdasarkan evaluasi program-program terkait, yang kemudian menjadi program pengembangan. Artinya program itu mestinya juga memiliki kaitan dengan program-program yang telah dikembangkan Indonesia, atau juga pada negara-negara lain yang tentunya membutuhkan penyesuaian konteks.
Ide menjadikan warga Indonesia tamu di luar negeri untuk memajukan Indonesia, serta peran Indonesia pada dunia internasional perlu didasari pada evaluasi terhadap persoalan-persoalan yang relevan dengan program yang akan dikembangkan. Jangan seperti perubahan kurikulum yang merepotkan pendidikan tinggi, dan tanpa evaluasi memadai. Itulah sebabnya kebijakan kurikulum yang seharusnyaa sudah bisa diterapkan tiga tahun setelah dikeluarkan, hingga belasan tahun belum juga sukses.
Bisa saja ide kreatif Anies itu muncul dari pengalaman keluarga besarnya, yang dianggap menjadi tamu yang baik di Indonesia, bahkan orang tua Anies berperan penting dalam pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia secara internasional, tapi itu belum bisa digenaralisasi memiliki dampak perubahan besar bagi Indonesia, meski Anies menyebut kiprah Sri Mulyani dll.
Saya percaya negeri ini menunggu program-progrma Capres yang bukan hanya janji-janji, tapi bisa memajukan Indonesia.
https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/11/menakar-visimisi-anies.html
/> Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/Sygxw3
Pemaparan Visi, Misi Anies Baswedan disertai tanya jawab di lembaga riset CSIS baru-baru ini yang disiarkan melalui Televisi memang indah, apalagi pada awal pemaparannya. Tentu saja sebagai seorang yang pernah menjabat rektor di sebuah universitas Anies paham betul bagaimana mekanisme merumuskan Visi,Misi.
Rumusan Visi, Misi Anies bagi saya keren, secara khusus peran internasional Indonesia baik pada Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB), maupun dalam hubungan antar negara, seperti peran yang bisa dimainkan Indonesia dalam mengusahakan damai di Palestina.
Sayangnya, ketika Visi,Misi itu dioperaional kan, saya kecewa karena masih berada pada tataran ide. Tentu saja saya menghargai ide kreatifnya, misalnya menjadikan warga Indonesia tamu yang baik di negeri orang untuk mempromosikan Indonesia, atau untuk Indonesia dapat menancapkan pengaruhnya pada negara-negara lain.
Mengapa saya kecewa dengan operasionalisasi Visi,Misi Anies? Visi, Misi Anies layaknya Visi Misi banyak perguruan tinggi yang hanya berada pada tataran dokumen. Tidak diturunkan secara baik dalam program yang meyakinkan dan dapat dilakukan, tentunya berdasarkan evaluasi program-program terkait, yang kemudian menjadi program pengembangan. Artinya program itu mestinya juga memiliki kaitan dengan program-program yang telah dikembangkan Indonesia, atau juga pada negara-negara lain yang tentunya membutuhkan penyesuaian konteks.
Ide menjadikan warga Indonesia tamu di luar negeri untuk memajukan Indonesia, serta peran Indonesia pada dunia internasional perlu didasari pada evaluasi terhadap persoalan-persoalan yang relevan dengan program yang akan dikembangkan. Jangan seperti perubahan kurikulum yang merepotkan pendidikan tinggi, dan tanpa evaluasi memadai. Itulah sebabnya kebijakan kurikulum yang seharusnyaa sudah bisa diterapkan tiga tahun setelah dikeluarkan, hingga belasan tahun belum juga sukses.
Bisa saja ide kreatif Anies itu muncul dari pengalaman keluarga besarnya, yang dianggap menjadi tamu yang baik di Indonesia, bahkan orang tua Anies berperan penting dalam pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia secara internasional, tapi itu belum bisa digenaralisasi memiliki dampak perubahan besar bagi Indonesia, meski Anies menyebut kiprah Sri Mulyani dll.
Saya percaya negeri ini menunggu program-progrma Capres yang bukan hanya janji-janji, tapi bisa memajukan Indonesia.
https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/11/menakar-visimisi-anies.html
/> Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/Sygxw3
Subscribe to:
Posts (Atom)
Binsar Antoni Hutabarat: Kebohongan Sekte Setan!
Binsar Antoni Hutabarat: Kebohongan Sekte Setan! : Kebohongan Satanic atau Sekte Setan! Informasi terkair beredarnya kitab satanic yan...
-
https://www.binsarhutabarat.com/2023/02/beda-dosen-home-base-dan-dosen-tetap.html Salah satu persoalan yang menyebabkan beberapa Pen...
-
https://bit.ly/3cDiTW5 ALUR PENELITIAN PERMASALAHAN----------------------------------- TEORI PENDUKUNG ...
-
http://dlvr.it/T2bHx8Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia ...