Saturday, November 11, 2023

Menguji kepakaran?

 Pada era informasi dengan kemajuan teknologi informasi saat ini, kita kerap disuguhi pemikiran-pemikiran yang tak berlandaskan karya ilmiah, meski pembicara bergaya layaknya pakar, dan herannya, pembicara itu bergairah mengutarakan kajian yang amat beragam, wajar jika kita bertanya pakar apa orang itu?










Hari-hari ini kita sering mendengar istilah kajian Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin. Istilah ini secara khusus akrab untuk mereka yang biasa merancang kurikulum perguruan tinggi.  Apakah perbedaan kualifikasi ketiganya? Uraian ini sekaligus menjadi alat untuk menguji kepakaran.

Pada program sarjana, secara khusus jika kita melihat dari sudut Kerangka Kualifikasi Nasional Idonesia (KKNI), kualifikasinya adalah level 6 (enam), yaitu analisis deskriptif. Pada level ini, luaran atau lulusan memiliki kemampuan membangun teori, secara khusus teori yang menjadi konsentrasi program studi itu. Membangun teori ini kemampuan awal seorag ilmuwan, karena tanpa teori kita tidak bisa membaca realitas.

Untuk memperluas wawasan level 6 (enam) ini lulusan di bekali dengan teori-teori yang memiliki kaitan dengan teori utama yang menjadi konsentrasi program studi itu, teori-teori yang diperlukan untuk membaca realitas yang terkait dengan kerja atau pelayanan lulusan.Suasana akademik yang terbentuk adalah terciptanya kajian-kajian multidisiplin. 

Lulusan dipersiapkan untuk memiliki wawasan bahwa teori yang dipahaminya bukan jalan tunggal untuk jawaban segala sesuatu. Pada level multi disiplin ini luaran belum memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan disiplin ilmu yang berbeda, atau teori-teori yang berbeda dengan konsentrasi keilmuannya, karena kualifikasi level itu hanya pada analitis deskriptif, menganalis apakah sebuah bangunan teori yang dibentuk itu memenuhi prosedur yang telah dipelajari.

Pada level 8 KKNI barulah luaran memiliki kemampuan interdisiplin. Saya tidak membahas level 7 KKNI, karena kualifikasi level 8 akademik ini setara dengan level 8 profesi 2, sedang level 7 adalah profesi 1. Pada level 8 akademik ini kualifikasi luaran adalah interdisiplin, luaran bukan hanya menguasai satu teori, seperti pada level sarjana, dan perlu diingat kemampuan membangun teori level sarjana ini lebih kepada prosedur pembangunan teori.

Tamatan Magister memiliki kualifikasi evaluasi, artinya luaran mampu melakukan kritik atau perbandingan dua teori. Kedua teori itu tentunya adalah berasal dari dua disiplin ilmu atau kajian yang bisa diintegrasikan . Luaran memiliki penguasaan minimal dua teori yang diintegrasikan. 

Pekerjaan kajian interdisiplin akan menghasilkan solusi atau sebuah masalah yang disoroti dengan menggunakan dua teori dengan hasil yang lebih baik dibandingkan kajian multi disiplin yang masing-masing menyoroti masalah dalam perspektif teori yang berbeda, serta tanpa usaha integrasi. 

Berbeda dengan kajian multi disiplin yang hanya pada tataran wawasan, bahwa jawaban terhadap satu masalah bukan hanya pada teori tertentu, tetapi juga pada teori lain, maka dalam kajian interdisiplin berpusat pada usaha untuk menghasilkan jawaban terhadap sebuah masalah. 

Kajian interdisiplin menghasilkan Jawaban yang lebih baik terhadap satu persoalan dibandingkan muti disiplin. Jangan lupa, penelitian merupakan usaha untuk memberikan solusi bukan bergenit-genit dengan teori.

Selanjutnya pada level doktor, level 9 KKNI, luaran memiliki kemampuan pengembangan teori atau merumuskan teori baru. Dalam kajian-kajian konseptual biasanya luaran memiliki kemampuan untuk mengembangkan teori, itulah sebabnya karya akhir kajian konseptual akan menyusuri teori-teori para pakar, kemudian mengembangkan teori-teori pakar yang ada. 

Kajian konseptual ini biasa kita temukan pada kajian filosofis atau metafisika. Pada kajian empiris kualitatif dan kuantitatif, sebelumnya perlu juga dipahami bahwa kajian empiris bisa merupakan kajian eksperimen di laboratorium atau bisa juga kajian eksperimen di luar laboratorium, asalkan memenuhi syarat kajian ekperimen, yaitu peneliti membuat perlakuan terhadap variable-variabel yang diteliti sebagaimana layaknya penelitian eksprimen laboratorium.

Tidak salah jika kita mengatakan, Kemajuan ilmu pengetahuan sesungguhnya menjadi tanggung jawab para lulusan doktor secara khusus, itulah sebabnya para doktor itu perlu membimbing dosen yunior, demikian juga mahasiswa untuk menemukan hal-hal baru, atau memberikan jawaban terhada permasalahan masyarakat. 

Kajian pada level doktor selain meneumukan teori baru atau mengembangkan teori, bisa juga merupakan penerapan baru sebuah teori, maksudnya dari berbagai pandangan pakar tentang teori yang sama dicari sintesisnya, kemudian dicari penerapan baru yang merupakan solusi terhadap permasalahan yang ada.

Pada penelitian kuantitatif level doktor ini umumnya minimal variabel yang diteliti adalah 3 variabel. Penelitiannya juga  bukan hanya hubungan sebab akibat, tetapi juga hubungan interaksi. Itu dimungkinkan karena pada level ini kemampuan penelitian program doktor sudah mencapai puncaknya, dan sejatinya mampu menghasilkan karya-karya baru, tentu saja terkait dengan program studi yang ditekuninya. 

Pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud dengan kajian transdisiplin yang menjadi kualifikasi level doktor untuk memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan dalam masyarakat?

Berbeda dengan level magister dengan kualifikasi interdisiplin, dimana kedua teori yang dievaluasi merupakan kajian yang dipelajari dalam proram studi itu, maka pada kajian transdisiplin, kajian yang digunakan untuk memberikan solusi terhadap sebuah permasalahan, tidak hanya dilihat dari kajian yang dipelajari pada program studi. Tapi, seorang tamatan doktor bisa menggunakan kajian yang dipelajari sendiri di luar program studinya untuk memberikan jawaban yang lebih baik terhadap sebuah permasalahan.

Tentu saja tidak tiba-tiba seorag doktor menggunakan beberapa teori untuk menjawab permasalahan, tetapi terlebih dulu memahami teori itu. Jangan lupa, seorang tamatan doktor mestinya mampu membangun teori dari data yang dikumpulkannya. Kemampuan grounded theory, membangun teori dari data perlu dikuasai seorang lulusan docktor, itulah sebabnya seorang doktor memiliki kemampuan mengerjakan kajian transdisiplin.

Kita tentu tidak heran jika Calvin seorang doktor hukum mampu menghasilkan karya-karya teologi bermutu, karena kemampuan Calvin sebagai seorang doktor hukum dalam membangun teori-teori hukum, tentu saja dapat digunakan untuk membangun teologi sebagaimana telah dikerjakannya. Tapi sayangnya, teologi Calvin kerap dibekukan, seakan itu rumusan baku dan tidak bersalah. Teologi Calvin seakan berada di atas Alkitab.

Kita tentu setuju setiap luaran sarjana, magister dan doktor perlu bicara pada bidang keahliannya, demikian juga seorang tamatan doktor. Itulah sebabnya karya-karya seorang ilmuwan di jurnal ilmiah perlu merujuk pada kajian-kajian sebelumnya. 
https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/11/menguji-kepakaran.htmlKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/Sygxlq

Thursday, November 9, 2023

Kapan Kegaduhan Akan Berakhir?

 




Kapan Kegaduhan Akan Berakhir?





 




(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Atas nama stabilitas politik, Tito Karnavian melabrak ketetapan
pendahulunya dengan menempatkan salah seorang Cagub Jakarta menjadi tersangka. 
Panglima TNI Gatot Nurmantyo sempat mengingatkan bahwa kebijakan tersebut bisa
menjadi preseden buruk pada Pemilihan
Kepala Daerah yang sedang masuk masa kampanye. 

Polisi bisa disibukkan dengan
banyaknya tuntutan kelompok-kelompok  dengan tujuan memenangkan
“jagoannya”.



Kebijakan itu sesaat memang mujarab, karena berhasil meredam aksi
demo besar-besaran yang belum pernah terjadi sebelumnya. 




Meski disinyalir, demo
besar-besaran itu terkait hiruk-pikuk pertarungan perebutan kursi Gubernur.
 

Mungkin ada benarnya, dilihat dari perspektif pengelompokkan partai
politik pendukung pasangan calon, Kompetisi politik di di DKI Jakarta adalah proxy pertarungan Pemilihan Presiden  tahun 2019.




(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});



Kebijakan Kapolri tampaknya
selaras dengan model perumusan kebijakan teori  kelompok. Pada model ini kebijakan
diandaikan sebagai titik keseimbangan kelompok (equilibrium). 

Harus diakui, kebijakan itu tepat sasaran. Kegaduhan
memang masih terjadi, namun interaksi antar kelompok untuk memengaruhi
kebijakan dapat diatur lewat penegakkan hukum, dan semua kelompok mendapatkan
kesempatan yang sama. 

Kelompok-kelompok berhasil digiring  kedalam
interaksi antar kelompok yang “fair” dengan
setiap kelompok mendapatkan independensinya. 

Kelompok-kelompok  suka atau
tidak suka digiring kedalam “model permainan,”setiap kelompok berada pada
pilihan yang sama-sama bebas. 

Istilah ‘game’ mengandung arti pembuat
kebijakan harus memutuskan kebijakan yang hasilnya tergantung pada pilihan
aktor yang terlibat.



 




(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});



Kondisi independen kelompok-kelompok itu kemudian menimbulkan
kegaduhan baru. Atas nama hukum, secara independen satu kelompok kemudian
menuntut kelompok lain yang mengancam eksistensinya.

 Karena kelompok independen
itu cukup banyak, fenomena saling melaporkan menjadi budaya baru di negeri ini. 

Secara bersamaan pemerintah harus memahami, hukum bisa jadi instrumen untuk
kepentingan tertentu, dan jauh dari semangat untuk memberikan keadilan untuk
semua.




(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});



Fenomena saling melapor yang ada saat ini tidak boleh diselesaikan
dengan jalan tebang pilih, pemerintah harus menegakkan hukum untuk menciptakan
kondisi nyaman kembali menaungi negeri ini. 

Apalagi, kegaduhan politik saat ini
mulai memasuki masa mencemaskan, setidaknya para investor harus berpikir ulang
untuk menempatkan dananya di negeri ini.



 




(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});



Mengakhiri kegaduhan



Stabilitas politik yang dijanjikan pemerintah menanggapi
kecemasan masyarakat atas kegaduhan politik saat ini mestinya mengadopsi
cara-cara demokrasi, bukannya cara-cara lama, yang sempat dihembuskan
aktor-aktor politik terkait “isu makar.”




(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});



Harus diakui, hukum di negeri ini belum menjadi panglima. Ketidakadilan
dalam penegakkan hukum bisa dilihat pada sejarah perjalanan panjang negeri ini.
 

Hukum kerap hanya tajam ke bawah, untuk mereka yang lemah, dan tumpul ke
atas bagi mereka yang mempunyai kekuasaan. 

Wajar saja jika fenomena saling
melapor dicurigai membuktikan bahwa hukum masih menjadi alat untuk memaksakan
kehendak kelompok tertentu, bukannya menyemaikan keadilan untuk semua.

 Terlebih
lagi dalam kondisi kompetisi antar kelompok di negeri ini sangat kuat, ditambah
lagi, persaingan politik pemilihan kepala daerah yang kian memanas.




(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});



Untuk mengakhiri kegaduhan politik yang terjadi saat ini mustahil
mengadopsi  cara memuaskan semua kelompok, karena dalam permainan pasti
ada yang kalah dan ada yang menang.

Pemerintah harus berpegang pada
aturan hukum, dan menjadikan hukum sebagai panglima, bukannya berpihak pada
kelompok yang bersuara keras, atau menggerakan massa besar.




(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});



Tiap kelompok independen boleh saja menuntut lahirnya kebijakan
yang adil untuk mereka, tapi kebijakan itu belum tentu baik untuk semua,
apalagi dengan persaingan antar kelompok yang saling menuntut dominasinya, kebijakan rasional tidak mungkin bisa dihadirkan.




(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});



Berharap kegaduhan politik dinegeri ini tenang dengan sendirinya
adalah mustahil. Kelompok independen, apalagi yang tak perduli dengan cita-cita
negeri ini yang di dasarkan pada Pancasila, tentu saja akan merongrong
pembangunan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang kuat. 

Tidak mustahil, di negeri
ini ada kelompok-kelompok yang tidak menginginkan hadirnya pemerintah yang
kuat, sehingga bertindak semaunya. 

Pemerintah harus bertindak tegas menegakkan
kebijakan yang telah dirumuskan untuk kemuliaan bangsa dan negara ini. 

Tindakan
nyata pemerintah menenangkan kegaduhan untuk memberikan kenyamanan menjadi harapan
semua rakyat Indonesia yang mencintai negeri ini, yang tersohor dengan
keramahtamahannya.







(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});



Dr. Binsar A. Hutabarat




https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2020/11/kapan-kegaduhan-akan-berakhir.html />




(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});



 Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/Syc6Mw

Demokrasi Indonesia Tersandera Opini Publik

 



 Demokrasi Indonesia Tersandera Opini Publik



 






Opini publik sukses memenjarakan Ahok, Yessica dan
kini menelan korban baru, Panglima penjaga konstitusi Indonesia, ketua Mahkamah
Konstitusi Anwar Usman.



Keputusan MK yang dibacakan Anwar Usman selaku ketua
MK yang memutuskan bahwa calon presiden dan wakil presiden minimal berusia 40
tahun atau pernah dan sedang menjabat jabatan publik secara cepat membentuk
opini yang menuduh Anwar Usman terlibat konflik kepentingan ketika MK
menetapkan keputusan itu. Lucunya yang menjadi sasaran hanyalah Anwar Usman.



Opini publik yang menghakimi bahwa Anwar Usman
terlibat konflik kepentingan itu beredar liar, entah siapa yang menciptakannya,
padahal tuduhan-tuduhan itu minim bukti kecuali memang Anwar Usman memiliki
hubungan keluarga dengan Gibran, meski keputusan itu tidak hanya menguntungkan
Gibran.



Saya tidak tahu siapa yang menciptakan opini publik itu,
sayangnya opini public yang liar itu dan hanya menyasar Anwar Usman kemudian menyandra
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Keputusan MKMK yang menyatakan
Anwar Usaman melakukan pelanggaran etik berat, tapi tidak dipecat sebagai
anggota MK mengindikasikan adanya tekanan opini publik. Data media yang menjadi
dasar keputusan MKMK, serta kekuatiran konon akan ada chaos pada pemilu 2024
telah menyandra MKMK.



Anehnya lagi, publik seakan terpuaskan dengan
pelengseran Anwar Usman yang mendapatkan hukuman berat dibandingkan
rekan-rekannya sesama anggota MK. Yang tak masuk nalar adalah Anwar Usman dinyatakan
terbukti melakukan lobi-lobi memengaruhi keputusan MK.



Apakah betul anggota MK itu begitu lemahnya sehingga
terbius nyanyian Anwar Usman untuk mendukung keputusannya? Bukankah  mahkamah konstitusi itu bersifat kolegial,
dan mereka semua adalah pendekar hukum di negeri ini?



Anehnya lagi, kenapa Anwar Usman bukan hanya tidak
diberhentikan sebagai ketua MK, bukan sebagai anggota MK sebagaimana dissenting
opinion Bintan Saragih. Alasan Jimly bahwa MKMK kuatir Anwar Usman melakukan banding
dan mengakibatkan keputusan MKMK tidak memiliki kekuatan hukum, menunjukkan
bahwa hukum, aturan tidak bisa memuaskan semua. Pertanyaannya kemudian, siapa
yang dipuaskan dengan keputusan MKMK?



Publik ternyata juga tidak peduli mengapa hakim MK
lainnya tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan Anwar Usman, padahal
menurut MKMK semua hakim konstitusi terbukti melakukan pelanggaran etik. Suara publik
ini suara siapa?



Apakah ini mengindikasikan rakyat Indonesia sudah
kuat, dan negara kian lemah? Jika demikian suara rakyat itu suara siapa? Apakah
mayoritas diam di negeri ini yang mengidolakan Jokowi telah beralih secara
diam-diam?



Menurut saya tuduhan liar yang hanya menyasar Anwar Usman itu mendapatkan tempatnya pada opini yang beredar liar bahwa telah hadir
politik dinasti Jokowi yang menghadirkan Gibran sebagai Calon wakil Presiden. Padahal,
tidak ada politik dinasti di negeri ini.



Kita mengakui ada dinasti Megawati, dinasti Susilo Bambang
Yudoyono, dan dinasti Jokowi, tapi tak ada pemerintahan bentuk kerajaan di
negeri ini. Opini publik terkait politik dinasti Jokowi bergerak liar, seakan
itu sungguh terjadi dengan beragam cerita dan keudian menyandera keputusan
MKMK.



Benarlah ungkapan yang mengatakan barang siapa menguasai informasi akan
menguasai dunia, siapa yang mampu menciptakan keinginannya menjadi opini publik
akan mampu memaksakan kehendaknya pada ruang publik.



Demokrasi adalah sebuah perjalanan, demokrasi ibarat
sebuah permaianan, Tarik menarik antara para pemain untuk memenangkan permainan
kerap terjadi. Repotnya aturan atau hukum yang adil itu sendiri tak pernah ada.
Aturan permaianan kerap dikuasai kelompok yang kuat. Demokrasi di Indonesia
saat ini dikuasai oleh mereka yang memainkan opini publik. Demokrasi Indonesia
saat ini sedang tersandra opini publik, rakyat perlu waspada terhadap mereka
yang memainkan opini public untuk memaksakan kehendaknya, termasuk media-media
asing yang saat ini seakan mempropagandakan telah hadir politik dinasti di Indonesia.





https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/11/demokrasi-indonesia-tersandera-opini.htmlKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/SyZtZl

Wednesday, November 8, 2023

Politik Rekonsiliasi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

 Politik Rekonsiliasi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi










Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan  ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersalah dan melakukan pelanggaran berat, namun tidak mencopotnya sebagai anggota Mahkamah Konstitusi dan hanya memberhentikan Anwar Usman sebagai  Ketua Mahkamah Konstitusi menurut saya adalah penerapan dari politik rekonsiliasi. 

Alasan Jimly jelas, agar Anwar Usman tidak dapat melakukan banding, maka Anwar Usman tidak dipecat sebagai anggota mahkamah konstitusi, yang mengakibatkan tidak berlakunya keputusan majelis kehormatan mahakamah konstitusi. Lebih jauh Jimly mengatakan, keputusan itu untuk mengamankan pemilu tahun 2024, agar ada kepastian hukum.

Disenting opinion yang dinyatakan Bintan Saragih meneguhkan hal itu, karena jika memang Anwar Usman melakukan pelanggaran berat, seharusnya Anwar Usman dilengserkan dari jabatannya sebagai anggota Mahkamah Konstitusi. 

Keputusan itu pun membuat Anwar Usman meradang. Ternyata politik rekonsiliasi bisa meminggirkan individu tertentu. Apa untungnya untuk Anwar Usman tidak dipecat dan dijadikan tontonan masyarakat Indonesia dengan tetap bertengger di Mahkamah Konstitusi?

Pada konteks keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi saya melihat adanya keterbatasan hukum. Jika kita ibaratkan hukum sebagai peta untuk menuju kehidupan damai dalam kehidupan bersama, maka hukum yang adalah produk manusia yang terbatas itu kadang tak mampu memberikan kebaikan bersama. 

 Ketika kita melihat kehidupan publik dalam perpektif kebijakan “game theory” , hukum, kebijakan sebagai aturan permainan yang adil tetap saja tidak memuaskan semua. Bukan hanya hukum yang mampu memuaskan semua pihak itu tidak ada, tetapi Individu atau kelompok-kelompok yang ada diruang publik itu kerap berusaha memaksakan pandangannya yang diklaimnya absolut, demi mempertahankan eksistensinya. Ibarat pertarungan kejahatan dan kebenaran yang tak pernah selesai hingga berakhirnya dunia ini.

Demokrasi ternyata bisa menghadirkan individu atau kelompok-kelompok yang kerap ingin menunjukkan hegemoninya. Demokrasi yang dimimpikan dapat memberikan keadilan kepada semua pihak, layaknya sebuah permainan, ternyata hanya utopia. 

Ada yang mengatakan keputusan MK berpihak kepada Gibran, padahal hukum berlaku untuk semua orang. Kemudian Keputusan MKMK berpihak kepada siapa? Apakah tidak mungkin keputusan MKMK hanyalah hasil dari tekanan publik? Pertanyaannya kemudian, siapa publik yang ingin dipuaskan dengan mengorbankan Anwar Usman?

Politik rekonsiliasi dalam keterbatasan aturan dan hukum memang tak bisa memberikan  kepuasan kepada semua elemen bangsa ini. Apakah masih ada diantara kita yang merasa memiliki solusi tunggal untuk negeri ini? 





https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/11/politik-rekonsiliasi-majelis-kehormatan.html />
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/SyYWTt

Monday, October 23, 2023

Prabowo-Gibran menyatukan Indonesia?

 

Akankah Prabowo-Gibran menyatukan Indonesia?










Hirup pikuk hadirnya Gibran sebagai Bacawapres Prabowo kian panas, bahkan cenderung tidak produktif. Saya mencoba mencari teori untuk membaca realitas yang menimbulkan hirup pikuk bukan hanya di dalam negeri, tapi juga mendapatkan respon dari mancanegara dengan jargon "Politik Dinasti".

Aksi Jokowi memasukkan Prabowo yang adalah pesaing Pilpres dalam kabinet nya sempat menimbulkan tanda Tanya besar, mengapa Jokowi membuka peluang pesaing beratnya itu duduk nyaman dalam kabinetnya. Beberapa tahun berjalan pemerintahan rekonsiliasi Jokowi-Prabowo justru membuat khalayak terpana, ternyata Prabowo teman setia Jokowi. Prabowo sangat mengagungkan Jokowi.

Jika awalnya Jokowi yang memberikan kursi empuk untuk Prabowo, kini beralih Prabowo yang memberi kursi empuk wakil Presiden kepada Gibran. Keakraban Gibran dan Prabowo tergambar lewat tayangan Gibran yang sedang menunggang kuda koleksi Prabowo yang keren dan apik dan ditayangka televisi berulang-ulang.

Teori rekonsiliasi nasional juga bisa terbaca dengan banyaknya partai pendukung Prabowo dan Gibran, meski ada ombak-ombak kecil yang sempat menghalangi pasangan Prabowo-Gibran, ternyata partai pendukung Prabowo-Gibran sepakat mengusung Prabowo-Gibran.

Kalau saja benar kehadiran pasangan Prabowo-Gibran ini merumpakan rembuk nasional untuk menghdirkan rekonsiliasi nasional yang menguatkan persatuan dan kesatuan Indonesia mungkin kita memiliki peluang untuk menjadi bangsa yang kuat.

Pada sisi lain, pemilu kali ini bisa terhindar dari sentimen radikalisme yang selalu saja membayangi pertarungan politik negeri ini. Indonesi butuh persatuan dan kesatuan untuk menjadi negara yang kuat. 

Semoga saja Pemilu yang sejatinya menjadi alat perubahan secara damai ini bisa berlangsung secara demokratis dan damai untuk menghadirkan pemimpin yang mampu mempersatukan Indonesia sebagai bangsa yang besar. 

https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/10/prabowo-gibran-menyatukan-indonesia.htmlKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/Sxqjcr

Sunday, September 17, 2023

Perang keadilan

  Menggugat Teori Perang Keadilan Amerika adalah korban konsep war of justice, yang kemudian menjadi teori yang dianggap absolut bahwa untuk ada damai perlu ada peperangan. Teori perang keadilan itu menjadi instrumen yang memosisikan Amerika sebagai polisi dunia, sebuah kesombongan yang mengerikan, dan kesombongan itu mendahulu kejatuhan. Amerika bukannya menghadirkan perdamaian dunia, sebaliknya pencipta perang di berbagai penjuru dunia.  Ketika Amerika menjadi polisi dunia dengan segala hak veto yang dimiliki menetapkan perang demi keadilan untuk hadirnya perdamaian, pada konteks tertentu, ternyata perang tidak dibutuhkan untuk hadirnya perdamaian.  Kejahatan Amerika sebagai polisi dunia, atau yang menempatkan diri menjadi polisi dunia dengan segala fasilitas hak veto untuk menetapkan perang telah menjadikan Amerika seperti hakim yang tidak adil, seperti juga kejahatan yang terjadi di pengadilan.  Usaha-usaha restoratif justice yang diusahakan untuk menyelesaikan konflik di luar pengadilan adalah usaha untuk memberi keadilan kepada yang berkonflik di luar pengadilan. Pengadilan bukan solusi bagi penyelesaian segala konflik yang ada, apalagi ketika pengadilan itu sendiri tidak jarang memproduksi ketidakadilan. Perang keadilan ini konsep Kristen yang perlu hati-hati digunakan, biasanya teori ini dicetuskan berdasarkan konsep Perjanjian Lama (PL) yang memerangi bangsa-bangsa untuk menghadirkan keadilan dan perdamaian. Israel yang merasa menjadi bangsa yang paling hebat bukan hanya tidak mampu menghadirkan perdamaian untuk bangsa-bangsa, tetapi juga dalam kehidupan mereka berbangsa. Itulah sebabnya Israel di buang Tuhan. Menurut saya semua teori-teori yang kita terapkan sebagai landasan dalam mengambil keputusan perlu terus dikaji dan diuji untuk hadirnya landasan yang lebih baik. Sebuah kebijakan yang unggul, atau alternatif teori akan menghadirkan kehidupan bersama yang damai, tapi tidak ada landasan bersama yang sempurna yang dibangun manusia yang tidak sempurna, apalagi manusia yang menerapkannya juga tidak sempurna.  Keyakinan diri paling hebat, paling tahu, paling menguasai kebenaran hanya akan menghadirkan alternatif kebijakan yang buruk  yang kemudian berujung pada konflik yang tidak berkesudahan. Bukankah ini terjadi antar denominasi gereja yang tak pernah bisa rukun, saling menyesatkan, merasa denominasinya paling baik, paling suci, paling kudus, dan tak bisa hidup bersama secara baik untuk membangun hidup bersama yang lebih baik. Dr. Binsar A. Hutabarat
https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/09/perang-keadilan.html Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/SwCRb3

Binsar Antoni Hutabarat: Kebohongan Sekte Setan!

Binsar Antoni Hutabarat: Kebohongan Sekte Setan! :   Kebohongan Satanic atau Sekte Setan! Informasi terkair beredarnya kitab satanic yan...