Wednesday, November 8, 2023

Politik Rekonsiliasi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

 Politik Rekonsiliasi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi










Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan  ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersalah dan melakukan pelanggaran berat, namun tidak mencopotnya sebagai anggota Mahkamah Konstitusi dan hanya memberhentikan Anwar Usman sebagai  Ketua Mahkamah Konstitusi menurut saya adalah penerapan dari politik rekonsiliasi. 

Alasan Jimly jelas, agar Anwar Usman tidak dapat melakukan banding, maka Anwar Usman tidak dipecat sebagai anggota mahkamah konstitusi, yang mengakibatkan tidak berlakunya keputusan majelis kehormatan mahakamah konstitusi. Lebih jauh Jimly mengatakan, keputusan itu untuk mengamankan pemilu tahun 2024, agar ada kepastian hukum.

Disenting opinion yang dinyatakan Bintan Saragih meneguhkan hal itu, karena jika memang Anwar Usman melakukan pelanggaran berat, seharusnya Anwar Usman dilengserkan dari jabatannya sebagai anggota Mahkamah Konstitusi. 

Keputusan itu pun membuat Anwar Usman meradang. Ternyata politik rekonsiliasi bisa meminggirkan individu tertentu. Apa untungnya untuk Anwar Usman tidak dipecat dan dijadikan tontonan masyarakat Indonesia dengan tetap bertengger di Mahkamah Konstitusi?

Pada konteks keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi saya melihat adanya keterbatasan hukum. Jika kita ibaratkan hukum sebagai peta untuk menuju kehidupan damai dalam kehidupan bersama, maka hukum yang adalah produk manusia yang terbatas itu kadang tak mampu memberikan kebaikan bersama. 

 Ketika kita melihat kehidupan publik dalam perpektif kebijakan “game theory” , hukum, kebijakan sebagai aturan permainan yang adil tetap saja tidak memuaskan semua. Bukan hanya hukum yang mampu memuaskan semua pihak itu tidak ada, tetapi Individu atau kelompok-kelompok yang ada diruang publik itu kerap berusaha memaksakan pandangannya yang diklaimnya absolut, demi mempertahankan eksistensinya. Ibarat pertarungan kejahatan dan kebenaran yang tak pernah selesai hingga berakhirnya dunia ini.

Demokrasi ternyata bisa menghadirkan individu atau kelompok-kelompok yang kerap ingin menunjukkan hegemoninya. Demokrasi yang dimimpikan dapat memberikan keadilan kepada semua pihak, layaknya sebuah permainan, ternyata hanya utopia. 

Ada yang mengatakan keputusan MK berpihak kepada Gibran, padahal hukum berlaku untuk semua orang. Kemudian Keputusan MKMK berpihak kepada siapa? Apakah tidak mungkin keputusan MKMK hanyalah hasil dari tekanan publik? Pertanyaannya kemudian, siapa publik yang ingin dipuaskan dengan mengorbankan Anwar Usman?

Politik rekonsiliasi dalam keterbatasan aturan dan hukum memang tak bisa memberikan  kepuasan kepada semua elemen bangsa ini. Apakah masih ada diantara kita yang merasa memiliki solusi tunggal untuk negeri ini? 





https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/11/politik-rekonsiliasi-majelis-kehormatan.html />
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/SyYWTt

Monday, October 23, 2023

Prabowo-Gibran menyatukan Indonesia?

 

Akankah Prabowo-Gibran menyatukan Indonesia?










Hirup pikuk hadirnya Gibran sebagai Bacawapres Prabowo kian panas, bahkan cenderung tidak produktif. Saya mencoba mencari teori untuk membaca realitas yang menimbulkan hirup pikuk bukan hanya di dalam negeri, tapi juga mendapatkan respon dari mancanegara dengan jargon "Politik Dinasti".

Aksi Jokowi memasukkan Prabowo yang adalah pesaing Pilpres dalam kabinet nya sempat menimbulkan tanda Tanya besar, mengapa Jokowi membuka peluang pesaing beratnya itu duduk nyaman dalam kabinetnya. Beberapa tahun berjalan pemerintahan rekonsiliasi Jokowi-Prabowo justru membuat khalayak terpana, ternyata Prabowo teman setia Jokowi. Prabowo sangat mengagungkan Jokowi.

Jika awalnya Jokowi yang memberikan kursi empuk untuk Prabowo, kini beralih Prabowo yang memberi kursi empuk wakil Presiden kepada Gibran. Keakraban Gibran dan Prabowo tergambar lewat tayangan Gibran yang sedang menunggang kuda koleksi Prabowo yang keren dan apik dan ditayangka televisi berulang-ulang.

Teori rekonsiliasi nasional juga bisa terbaca dengan banyaknya partai pendukung Prabowo dan Gibran, meski ada ombak-ombak kecil yang sempat menghalangi pasangan Prabowo-Gibran, ternyata partai pendukung Prabowo-Gibran sepakat mengusung Prabowo-Gibran.

Kalau saja benar kehadiran pasangan Prabowo-Gibran ini merumpakan rembuk nasional untuk menghdirkan rekonsiliasi nasional yang menguatkan persatuan dan kesatuan Indonesia mungkin kita memiliki peluang untuk menjadi bangsa yang kuat.

Pada sisi lain, pemilu kali ini bisa terhindar dari sentimen radikalisme yang selalu saja membayangi pertarungan politik negeri ini. Indonesi butuh persatuan dan kesatuan untuk menjadi negara yang kuat. 

Semoga saja Pemilu yang sejatinya menjadi alat perubahan secara damai ini bisa berlangsung secara demokratis dan damai untuk menghadirkan pemimpin yang mampu mempersatukan Indonesia sebagai bangsa yang besar. 

https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/10/prabowo-gibran-menyatukan-indonesia.htmlKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia


http://dlvr.it/Sxqjcr

Sunday, September 17, 2023

Perang keadilan

  Menggugat Teori Perang Keadilan Amerika adalah korban konsep war of justice, yang kemudian menjadi teori yang dianggap absolut bahwa untuk ada damai perlu ada peperangan. Teori perang keadilan itu menjadi instrumen yang memosisikan Amerika sebagai polisi dunia, sebuah kesombongan yang mengerikan, dan kesombongan itu mendahulu kejatuhan. Amerika bukannya menghadirkan perdamaian dunia, sebaliknya pencipta perang di berbagai penjuru dunia.  Ketika Amerika menjadi polisi dunia dengan segala hak veto yang dimiliki menetapkan perang demi keadilan untuk hadirnya perdamaian, pada konteks tertentu, ternyata perang tidak dibutuhkan untuk hadirnya perdamaian.  Kejahatan Amerika sebagai polisi dunia, atau yang menempatkan diri menjadi polisi dunia dengan segala fasilitas hak veto untuk menetapkan perang telah menjadikan Amerika seperti hakim yang tidak adil, seperti juga kejahatan yang terjadi di pengadilan.  Usaha-usaha restoratif justice yang diusahakan untuk menyelesaikan konflik di luar pengadilan adalah usaha untuk memberi keadilan kepada yang berkonflik di luar pengadilan. Pengadilan bukan solusi bagi penyelesaian segala konflik yang ada, apalagi ketika pengadilan itu sendiri tidak jarang memproduksi ketidakadilan. Perang keadilan ini konsep Kristen yang perlu hati-hati digunakan, biasanya teori ini dicetuskan berdasarkan konsep Perjanjian Lama (PL) yang memerangi bangsa-bangsa untuk menghadirkan keadilan dan perdamaian. Israel yang merasa menjadi bangsa yang paling hebat bukan hanya tidak mampu menghadirkan perdamaian untuk bangsa-bangsa, tetapi juga dalam kehidupan mereka berbangsa. Itulah sebabnya Israel di buang Tuhan. Menurut saya semua teori-teori yang kita terapkan sebagai landasan dalam mengambil keputusan perlu terus dikaji dan diuji untuk hadirnya landasan yang lebih baik. Sebuah kebijakan yang unggul, atau alternatif teori akan menghadirkan kehidupan bersama yang damai, tapi tidak ada landasan bersama yang sempurna yang dibangun manusia yang tidak sempurna, apalagi manusia yang menerapkannya juga tidak sempurna.  Keyakinan diri paling hebat, paling tahu, paling menguasai kebenaran hanya akan menghadirkan alternatif kebijakan yang buruk  yang kemudian berujung pada konflik yang tidak berkesudahan. Bukankah ini terjadi antar denominasi gereja yang tak pernah bisa rukun, saling menyesatkan, merasa denominasinya paling baik, paling suci, paling kudus, dan tak bisa hidup bersama secara baik untuk membangun hidup bersama yang lebih baik. Dr. Binsar A. Hutabarat
https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/09/perang-keadilan.html Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/SwCRb3

Menghargai Otoritas


http://dlvr.it/SwCG83

Tuesday, September 5, 2023

Bukit Seribu


http://dlvr.it/Svfczk

Pengunduran Diri Pendeta Hebat

 Minggu lalu, saya menyampaikan khotbah terakhir saya sebagai pendeta di First Presbyterian Church of Arlington Heights. Saya telah mengambil keputusan bahwa saya tidak hanya meninggalkan jabatan saya sebagai kepala staf, tetapi saya juga akan meninggalkan pekerjaan sebagai pendeta. Saya tidak lagi mempunyai keinginan untuk melayani sebagai pendeta di gereja. Dalam khotbah saya, saya mengatakan kepada jemaat saya bahwa saya kelelahan menulis, menghafal dan menyampaikan khotbah minggu demi minggu selama 10 tahun, dan itu memang benar adanya. Namun, ada alasan lain mengapa saya keluar yang tidak sempat saya bahas dalam khotbah saya dan saya ingin menggunakan artikel ini untuk menyelami lebih dalam bagaimana saya mengambil keputusan. Pengunduran Diri Pendeta Hebat Saya telah menjadi bagian dari apa yang dikenal sebagai Pengunduran Diri Pendeta Hebat yang terjadi setelah pandemi ini. Barna melakukan survei nasional terhadap para pendeta dan, pada Maret 2022, 42% pendeta mempertimbangkan untuk berhenti. Alasannya bermacam-macam, namun lima alasan utama yang diberikan adalah sebagai berikut: Stres yang sangat besar dalam pekerjaan: 56% Saya merasa kesepian dan terisolasi: 43% Perpecahan politik saat ini: 38% Saya tidak senang dengan dampak peran ini terhadap keluarga saya: 29% Saya tidak optimis mengenai masa depan gereja saya: 29%. Saya dapat memahami semua hal ini, tetapi secara khusus, dua hal teratas adalah hal-hal yang sangat berperan dalam keputusan saya. Menjadi seorang pendeta sama seperti menjadi orang tua. Anda dapat membayangkan bagaimana rasanya memiliki anak, namun sampai Anda berperan, Anda tidak dapat sepenuhnya menghargai bagaimana rasanya memikul tanggung jawab merawat kehidupan 24/7. Hal yang sama juga berlaku untuk menjadi seorang pendeta. Anda pikir Anda tahu apa yang diharapkan, namun pengalaman hidup sangat berbeda dari imajinasi Anda tentang apa yang akan terjadi. Jika saya harus mengartikulasikan perspektif saya tentang perbedaan antara keduanya, apa yang tidak Anda sadari adalah betapa Anda akan terlibat dalam kehidupan orang lain. Sebagai seorang pendeta, Anda berada di sana untuk semua puncak dan lembah. Anda berada di sana untuk merayakan pernikahan dan kelahiran. Anda juga berada di sana untuk penyakit, tragedi, dan kematian. Saya rasa tidak ada orang yang menjadi pendeta tanpa mengetahui bahwa Anda sedang mendaftar. Namun, kenyataan bahwa hal ini berdampak pada Anda secara mental dan emosional akan membebani Anda dalam jangka panjang. Sebagai contoh, selama sebagian besar masa jabatan saya di First Pres, kami memiliki sekitar 1000 anggota. Dari 1000 orang tersebut, hanya sekitar 50 persen yang hadir secara rutin. Dari 500 orang itu, saya benar-benar mengenal sekitar 300 orang yang tidak dapat dikenali namanya. Artinya, saya mengetahui kisah-kisah mereka, sejarah mereka, detail-detail mendalam kehidupan mereka. Terkadang hal ini terjadi karena mereka sedang dalam krisis. Kadang-kadang saya mempelajari hal-hal ini saat menjalankan acara seperti pemakaman, pernikahan, dan pembaptisan. Terkadang ini terjadi karena kami menjadi teman. Terlepas dari bagaimana saya mempelajari kisah mereka, saya membawa sejarah itu ke mana pun saya pergi. Setiap kali saya melihat mereka, mereka tahu bahwa saya mengetahui detail mendalam tentang kehidupan mereka; detail yang jarang dibagikan kepada orang lain. Karena saya paling sering bertemu orang-orang ini setiap minggu, informasi pribadi itu selalu ada di benak saya karena saya sering menanyakan kabar mereka. Saya ingin tahu apakah mereka sedang berjuang atau membuat kemajuan. Saya ingin tahu apakah saya dapat menawarkan sumber daya untuk membantu. Apa yang tidak Anda sadari adalah, seiring berjalannya waktu, akumulasi semua pengetahuan tersebut mulai membebani Anda. Pikiran Anda adalah gudang segala macam rahasia dan, jika Anda manusia, Anda merasakan simpati dan empati atas penderitaan mereka. Oleh karena itu, lebih dari sekedar mencatat semua informasi tersebut, Anda juga menyadari kesulitan dan tantangan besar yang dihadapi jemaat Anda sehari-hari. Selain itu, mereka mengharapkan bimbingan dan harapan dari Anda. Seperti hampir setiap aspek dari menjadi seorang pendeta, ini adalah pedang bermata dua. Merupakan suatu kehormatan untuk diberikan kesempatan untuk melihat aspek-aspek kehidupan orang-orang yang sangat pribadi ini, namun tanggung jawab yang menyertai hak istimewa tersebut sering kali sangat membebani sehingga mereka yang berada di luar pekerjaan penggembala tidak dapat sepenuhnya memahaminya. 1000 Bos Aspek lain dari menjadi seorang pendeta adalah Anda tidak hanya mempunyai satu atasan. Tentu saja, sebagai seorang pendeta, Anda pada akhirnya bertanggung jawab kepada dewan atau badan pimpinan yang mengawasi pelayanan Anda. Namun, dalam praktiknya, atasan Anda adalah setiap orang yang memasuki komunitas Anda. Saat semua orang menyukai apa yang Anda lakukan, mungkin tidak terasa seperti itu, namun saat sekelompok orang merasa tidak puas dengan pesan atau keputusan Anda, maka Anda merasakan beban pengaruh mereka terhadap hidup Anda. Dalam hal ini, penggembalaan mirip dengan politik. Seorang politisi dipilih oleh rakyat dan hanya aman jika para pemilih menyetujui pekerjaan mereka. Saat keadaan berubah, politisi yang dicintai itu bisa dengan cepat menjadi paria. Orang mungkin mengira dinamika seperti itu tidak akan terjadi di dalam gereja, namun yang tidak disadari oleh banyak orang adalah bahwa hal ini sering kali lebih buruk. Di jemaat saya sebelumnya, seorang anggota yang merupakan mantan senator negara bagian di badan legislatif Pennsylvania menolak menjadi sukarelawan di dewan kami karena dia merasa bahwa dewan gereja terlalu kejam. Menurut saya itu luar biasa! Pria ini bekerja di tingkat tertinggi pemerintahan negara bagian dan dia merasa politik tidak terlalu beracun dibandingkan dengan menjadi sukarelawan untuk peran kepemimpinan di dewan gereja lokalnya. Saya telah menjadi sasaran lemparan lumpur tersebut. Beberapa anggota komunitas saya sangat menentang kepemimpinan saya sehingga mereka mengambil langkah untuk menciptakan gerakan agar saya dicopot dari jabatan saya. Pada awalnya, ini adalah gerakan bawah tanah untuk meyakinkan pengurus gereja bahwa mayoritas umat paroki tidak puas dengan kepemimpinan saya. Ketika upaya itu tidak berhasil, mereka mengumumkan kepada publik dengan mengirimkan email ke seluruh jemaat untuk membangun momentum yang cukup untuk memecat saya secara paksa. Sebagai seorang pendeta, Anda tahu bahwa Anda tidak akan bisa menyenangkan semua orang. Anda tahu bahwa beberapa orang akan tidak menyukai apa yang Anda lakukan. Anda berharap untuk mendatangkan orang-orang baru yang mengidentifikasi diri Anda dengan khotbah Anda, sementara orang lain akan keluar karena tidak setuju atau tidak menyukai gaya Anda. Namun ketika Anda melihat ada sekelompok orang yang tujuan utamanya adalah menghancurkan karier Anda, hal tersebut merupakan hal yang sangat berbeda yang tidak diharapkan oleh siapa pun, terutama dari orang-orang yang mengaku dirinya Kristen. Syukurlah, kampanye mereka tidak berhasil, namun upaya mereka tentu saja menimbulkan kerusakan dan membuat saya bertanya-tanya: Apakah memimpin gereja benar-benar bernilai investasi jika ini adalah imbalan yang saya dapatkan? Harapan yang Tidak Realistis Meskipun persyaratannya berbeda dari satu denominasi ke denominasi lainnya, untuk menjadi pendeta di Gereja Presbiterian (AS), Anda harus memiliki gelar sarjana dan kemudian Anda harus pergi ke seminari dan menerima gelar Master of Divinity (M.Div). Bagi banyak profesi, gelar master mungkin merupakan program satu atau dua tahun. M.Div membutuhkan waktu minimal tiga tahun. Selain itu, Anda harus mengikuti berbagai ujian profesional (lebih dikenal sebagai ujian penahbisan) dan menjalani serangkaian magang di gereja dan rumah sakit. Jika Anda melihat dari sisi lain, gaji rata-rata untuk seorang pendeta PC (AS) adalah sekitar $55,000, yang hampir tidak cukup untuk hidup dan hampir tidak cukup untuk membayar kembali pinjaman mahasiswa Anda. Selain itu, ada tujuh bidang di mana seorang pendeta diharapkan mahir. Pertama dan terpenting, Anda diharapkan menjadi pembicara profesional. Secara pribadi, saya menyukai bagian pekerjaan ini, namun banyak orang yang bersekolah di seminari yang saya temui mengalami kesulitan dalam berbicara di depan umum. Jika Anda termasuk dalam kategori ini, Anda langsung mendapat masalah, karena yang dilihat kebanyakan orang adalah Anda berbicara di depan umum di hari Minggu. Keterampilan kedua yang diperlukan adalah bahwa Anda seperti CEO sebuah perusahaan, tidak hanya mengantisipasi apa yang diinginkan orang-orang di gereja Anda saat ini, tetapi juga bagaimana mendatangkan orang-orang baru. Anda harus mengembangkan bisnis dan, dalam kondisi yang kita alami saat ini, hal itu sangat sulit karena, seperti yang telah saya bahas di postingan sebelumnya, budayanya sedemikian rupa sehingga orang-orang tidak lagi ingin pergi ke gereja. Anda juga harus menjadi penggalang dana profesional. Anda tidak hanya menggalang dana untuk gaji Anda sendiri dan staf apa pun yang bekerja bersama Anda, namun Anda juga menggalang dana untuk memelihara gedung dan membantu orang-orang yang mengalami kesulitan keuangan. Berbicara tentang membantu orang yang sedang berjuang, Anda juga diharapkan bisa menjadi konselor bagi orang yang membutuhkan bantuan. Seperti yang saya bahas di atas, terkadang Anda bertindak sebagai orang kepercayaan. Di lain waktu, Anda membantu orang memediasi konflik dan perselisihan. Di gereja seperti saya, saya juga bertindak sebagai direktur sumber daya manusia. Ya, saya mempunyai komite yang bekerja bersama saya dan memberikan nasihat kepada saya, namun pada akhirnya saya bertanggung jawab untuk merekrut dan memberhentikan serta menciptakan budaya kerja yang positif. Di luar semua tugas sehari-hari ini, Anda berperan sebagai Pembawa Acara pada pembaptisan, pernikahan, dan pemakaman, yang berarti Anda jarang mendapat istirahat karena acara ini sering terjadi pada akhir pekan. Selain itu, sebagai Pembawa Acara, orang-orang juga memandang Anda sebagai penjaga Alkitab dan penjaga ortodoksi yang berarti mereka bergantung pada Anda untuk menafsirkan Alkitab dengan benar untuk mereka. Hal ini sebenarnya sangat penting karena jika penafsiran Anda melewati batas yang dianggap sesat oleh orang lain, Anda berisiko anggota gereja mempertanyakan otoritas Anda untuk terus menafsirkan Alkitab bagi gereja. Terakhir, Anda diharapkan menjadi pilar kebajikan, artinya Anda harus tidak bercacat atau suci secara moral. Pasangan Anda dan anak-anak Anda semuanya harus sempurna atau dekat dengannya. Yang paling penting, Anda harus mengasihi tanpa syarat, yang berarti Anda harus mengasihi semua orang di jemaat Anda dan menunjukkan kasih karunia dan pengampunan kepada mereka, tidak peduli betapa buruknya mereka memperlakukan Anda. Jika digabungkan, Anda dapat melihat betapa gilanya hal ini: Pembicara Profesional CEO Konselor Penggalangan dana Direktur Sumber Daya Manusia Pembawa acara Pilar Kebajikan Di perusahaan normal, Anda akan memiliki orang berbeda yang melakukan sebagian besar pekerjaan ini; terkadang, banyak orang. Tidak ada seorang pun yang mampu menjadi mahir dalam semua keterampilan ini. Namun, para pendeta diharapkan melakukan semua hal ini dan melakukannya dengan baik dengan bayaran $55.000 setahun. Kerusakan yang Tak Terlihat Dalam podcast First Person New York Times, mereka mewawancarai Dan White, Jr. seorang pendeta Baptis dari New York. Meskipun saya akan merekomendasikan mendengarkan seluruh podcast (di bawah), gerejanya, seperti banyak gereja lainnya, mulai terpecah selama tahun-tahun Trump. Orang-orang di gerejanya terus keluar karena dia dianggap terlalu liberal atau terlalu konservatif. Kemarahan dan pertengkaran yang terus-menerus membuatnya kelelahan. Dalam podcast tersebut, Dan menjelaskan tentang liburan yang telah lama tertunda. Setelah tidur 14 jam pada malam pertama, dia turun ke bawah dan menuang semangkuk sereal untuk dirinya sendiri. Tangannya gemetar hebat hingga dia hampir tidak bisa memegang sendok. Ketika guncangannya tidak mereda, dia meminta dokter melakukan serangkaian tes. Saat dokter menafsirkan hasilnya, dia menjelaskan bahwa mereka tidak menemukan penyakit, namun otak Dan tampak sangat mirip dengan seseorang yang kembali dari zona perang dan mengalami PTSD. Seorang psikolog kemudian menanyakan serangkaian pertanyaan kepada Dan tentang kehilangan yang dialaminya di gereja. Dia akhirnya menghitung 180 hubungan yang hilang karena kematian atau orang-orang yang meninggalkan gereja. Ini semua adalah kehilangan dimana dia tidak pernah diberi kesempatan untuk berduka, namun harus terus menjadi pemimpin di komunitasnya terlepas dari betapa menyakitkannya secara emosional hubungan yang terputus ini. Hasilnya Dan menginternalisasikan semua trauma yang belum diproses ini, yang berkontribusi pada kondisi neurologisnya. Ketika saya mendengar podcast ini, saya sedang menjalani cuti panjang di Inggris pada tahun 2022. Saya sedang mencoba untuk memutuskan apakah saya ingin tetap di pos saya atau meninggalkan tugas penggembalaan bersama-sama. Ketika saya mendengarkan Dan berbicara, saya merasa seperti seseorang akhirnya mengungkapkan pengalaman saya sendiri. Sebagai pendeta, saya merasa seperti karung tinju dan tidak peduli berapa banyak pelecehan yang dilancarkan, saya hanya harus tersenyum dan menanggungnya. Dan akhirnya meninggalkan gereja dan mengatakan itu adalah keputusan terbaik yang pernah dibuatnya. Pola Pikir Pertumbuhan vs. Pola Pikir Tetap Saya telah menghabiskan banyak waktu dalam terapi selama bertahun-tahun sebagai cara untuk mengatasi tantangan gereja. Terapis saya yang terbaru memperkenalkan saya pada konsep pola pikir berkembang vs. pola pikir tetap. Pola pikir berkembang adalah ketika seseorang bersedia mengambil risiko, senang mempelajari hal-hal baru, dan tidak takut gagal. Sebaliknya, orang dengan fixed minded tidak suka ditantang. Mereka menganggap kegagalan sebagai batas kemampuan mereka. Mereka cenderung takut mempelajari hal-hal baru, terutama jika pendidikan tersebut mengganggu pandangan dunia mereka saat ini. Saya sangat menganut pola pikir berkembang dan saya berasumsi itulah tujuan keseluruhan gereja. Ketika saya menjadi seorang pendeta, saya berpikir bahwa alasan mengapa sekelompok orang ini berkumpul setiap hari Minggu adalah untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang kehidupan dan mendorong diri kita sendiri untuk menjadi manusia yang lebih baik. Apa yang saya pelajari selama 10 tahun terakhir adalah asumsi saya salah. Meskipun pasti ada beberapa orang yang datang ke gereja karena alasan yang saya uraikan di atas (ini adalah beberapa pendukung terbesar saya), mayoritas orang yang menghadiri gereja berada dalam kategori pola pikir tetap. Kebanyakan orang Kristen tidak ingin pemikiran mereka ditantang. Mereka datang ke gereja untuk memperkuat apa yang mereka yakini sepanjang hidup mereka. Dari sudut pandang mereka, tugas pendeta bukanlah mendorong mereka untuk bertumbuh, namun meyakinkan mereka bahwa mereka sudah berada di jalur yang benar. Pembelajaran apa pun harus mendukung garis partai dan meyakinkan mereka bahwa investasi sumber daya mereka di gereja akan membuahkan hasil, terutama setelah mereka mencapai akhirat. Ini adalah kebalikan dari cara saya berfungsi. Meskipun saya selalu berusaha mengakhiri pesan saya dengan harapan, tujuan saya adalah membuat Anda berpikir. Tidak ada yang terlarang. Saya tidak punya masalah membongkar sistem kepercayaan tradisional Kristen demi logika dan nalar, terutama jika sistem itu membantu kita memahami dunia. Meskipun sebagian besar pendeta menghindari perbedaan dan lebih memilih pemikiran hitam dan putih, saya percaya kita menemukan kehadiran Tuhan dengan menggali kompleksitas dari detail tersebut. Oleh karena itu, saya akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa keahlian dan perspektif khusus saya tidak sesuai dengan institusi gereja. Apa yang saya tawarkan bukanlah apa yang dicari kebanyakan orang Kristen, dan itulah alasan lain saya memutuskan untuk melanjutkan. Saya menyadari bahwa jika saya menghabiskan sisa hidup saya melawan sistem yang tidak dirancang untuk orang seperti saya, saya akan menjadi manusia yang marah, getir, dan hancur. Layanan Terakhir Saya mengumumkan pengunduran diri saya dari gereja pada Mei 2023 dan menghabiskan musim panas dengan mengucapkan selamat tinggal kepada jemaat. Seperti yang saya sampaikan di awal artikel ini, saya menyampaikan khotbah terakhir saya pada hari Minggu lalu (27 Agustus 2023). Saya sebenarnya terpesona dengan banyaknya orang yang keluar untuk mengucapkan selamat tinggal. Lebih dari 360 orang hadir dan 80 orang online. Musiknya luar biasa (Coldplay, U2 dan The Beatles) dan menurut saya saya memberikan salah satu khotbah terbaik yang pernah saya khotbahkan berjudul Perubahan (di bawah).
https://www.bhi.binsarhutabarat.com/2023/09/pengunduran-diri-pendeta-hebat.html Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/SvdXZy

Binsar Antoni Hutabarat: Kebohongan Sekte Setan!

Binsar Antoni Hutabarat: Kebohongan Sekte Setan! :   Kebohongan Satanic atau Sekte Setan! Informasi terkair beredarnya kitab satanic yan...