Hermeneutika Lintas Tekstual: Alternatif Pembacaan Alkitab dalam Merekonstruksi Misiologi Gereja Suku di Indonesia
Pelita H. Surbakti & Noel GPB Surbakti
STT Cipanas, Indonesia & STT Sriwijaya Palembang, Indonesia
ABSTRACT: On November 7, 2017, the Constitutional Court of the Republic of Indonesia through the decision 97/PUU-XIV/2016 finally granted an accusation against several points of the Demography Administration Law. If not properly addressed, the decision will erode the number of members of the ethnic churches in Indonesia. Several members of these churches still believe in their ancestral beliefs and are even actively involved in a number of these rituals of belief. The decision will be a driving force for them to reformulate their identities as believers and not Christians. The two historical backgrounds that made the decision of the Republic of Indonesia will have such an effect, namely the excesses of the G30S/PKI 1965 events that caused a large number of local believers to become Christians and the European nation’s missionary legacy that was less friendly to Indonesian local cultures. To address this, the author proposes an alternative reading of the Bible that is more friendly to local beliefs in Indonesia-namely Cross- textual Hermeneutics. In this paper, the author will use the Protestant Batak Karo Church (GBKP) as a case study.
KEYWORDS: hermeneutics, mission, identity, Karo, cultural-belief, cross-textual hermeneutics.
ABSTRAK: Pada 7 November 2017 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) melalui putusan nomor 97/PUU-XIV/2016 akhirnya mengabulkan gugatan terhadap beberapa bagian dari Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Bila tidak disikapi secara tepat, keputusan MK-RI ini akan menggerus jumlah anggota jemaat gereja-gereja suku di
Indonesia. Sejumlah anggota jemaat gereja-gereja tersebut masih memer- cayai keyakinan leluhur mereka, bahkan masih terlibat aktif dalam sejumlah ritual kepercayaan tersebut. Keputusan MK-RI ini akan menjadi pendorong bagi mereka untuk merumuskan ulang identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan, dan bukan Kristen. Dua latar sejarah yang membuat keputusan MK-RI tersebut akan berdampak demikian adalah ekses peristiwa G30S/PKI 1965 yang menyebabkan sejumlah besar pemeluk kepercayaan lokal menjadi Kristen, dan warisan misi negara di Eropa yang kurang ramah terhadap kebudayaan-kepercayaan lokal Indonesia. Untuk menyikapi hal tersebut, penulis mengusulkan alternatif pembacaan Alkitab yang lebih ramah kepada kepercayaan lokal di Indonesia – yaitu Cross-textual Hermeneutics. Selanjutnya ia disebut Hermeneutika Lintas Tekstual. Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) sebagai sebuah studi kasus.
KATA-KATA KUNCI: hermeneutika, misi, identitas, Karo, kebudayaan-keper- cayaan, hermeneutika lintas-tekstual.
Pendahuluan
Pada 7 November 2017 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK- RI) akhirnya mengabulkan gugatan terkait dengan Undang-Undang (UU) Administrasi Kependudukan.1 Dengan keputusan ini status keper- cayaan dapat dicantumkan dalam Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) tanpa harus merinci aliran kepercayaan yang dimaksud. Pascakeputusan tersebut, pemerintah harus lebih konkret menjamin hak-hak penganut kepercayaan lokal, selanjutnya disebut “penghayat kepercayaan”, sama dengan penganut enam agama resmi yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia (RI). Penghayat kepercayaan yang dimaksud adalah para penganut kepercayaan lokal atau masyarakat adat yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum istilah “agama” dike- nal. Istilah kepercayaan lokal sekarang lebih dikenal dengan istilah agama leluhur, yang sebelumnya secara bergantian menggunakan istilah agama asli, agama lokal, agama Nusantara, dan bahkan sering diidentikkan
1 Keputusan ini merupakan hasil pengujian terhadap Pasal 61 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan pasal 64 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan di MK-RI, terkait dengan pengosongan kolom agama dalam kartu identitas bila tidak mau memilih salah satu dari enam agama resmi di RI. Pengujian ini dimotori oleh beberapa orang dari penghayat kepercayaan pada tanggal 28 September 2016 yang lalu. UU tersebut sebenarnya tidak lagi mewajibkan WNI penghayat kepercayaan mengisi kolom agama, yakni salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah, dalam setiap dokumen kependudukan mereka. Namun kenyataannya para penghayat kepercayaan ini masih mengalami diskriminasi serta kesulitan dalam memeroleh sejumlah hak mereka sebagai WNI. Karena hal ini mereka pun akhirnya mengajukan pengujian kembali terhadap UU tersebut. https://mkri.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1&cari=97%2FPUU-XIV%2F2016 (diakses 1 Oktober 2019).
dengan kearifan lokal.2 Semangat keputusan MK-RI di atas tentu saja agar diskriminasi yang selama ini dirasakan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) penghayat kepercayaan ini dihentikan.3
Dalam pandangan penulis, bila keputusan MK-RI di atas tidak direspons secara tepat, sangat mungkin akan menggerus jumlah anggota jemaat dari gereja-gereja suku di Indonesia di kemudian hari. Hipotesis ini dilandasi oleh dua latar sejarah yang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan kekristenan di Indonesia. Yang pertama adalah ekses dari peristiwa G30S/ PKI4 tahun 1965 yang telah menyebabkan pertambahan jumlah anggota gereja dengan sangat signifikan.5 Dengan fakta sejarah ini keputusan untuk menjadi Kristen pada masa itu tidak selalu dengan sukarela tetapi dengan keterpaksaan atau kepentingan pragmatis. Yang kedua adalah warisan misi Eropa pada zaman kolonial yang kurang ramah terhadap realitas kepercayaan lokal di Indonesia. Cukup banyak warisan misi Eropa tersebut melihat kepercayaan lokal bukan sebagai kekayaan yang perlu digali bagi keunikan kekristenan di Indonesia, namun justru dianggap sebagai ancaman bagi kemurnian iman Kristen. Kedua latar sejarah di atas ada kalanya belum mendapat perhatian yang cukup serius. Hal ini ditandai dengan sejumlah kebijakan gereja yang melarang anggota jemaatnya untuk terlibat dengan hal-hal yang dinilai dekat dengan kepercayaan leluhur tanpa adanya pen- jelasan yang komprehensif. Upaya untuk mengkaji kepercayaan tersebut secara lebih mendalam kurang diberi ruang.
Mungkin ada yang berpikir, bukankah kedua latar sejarah tersebut telah terjadi pada masa lalu, dan sampai saat ini toh tidak ada gerakan massal anggota gereja kembali kepada kepercayaan lokal. Hal ini bisa ter- jadi, karena diskriminasi yang dialami oleh para penghayat kepercayaan di atas masih terjadi. Bila mereka keluar, sebelum keputusan MK-RI tersebut, ada kekhawatiran mereka akan menghadapi kesulitan, antara lain kesulitan mengakses berbagai dokumen kependudukan, bantuan sosial, kesempatan
2Bdk. Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia
(Yogyakarta: CRCS, 2018), 3.
3Beberapa kesulitan dan diskriminasi yang dihadapi oleh penghayat kepercayaan adalah: kesu- litan mendapatkan berbagai dokumen seperti Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Perkawinan, Akte Kematian, dll. Selain itu mereka juga mengalami kesulitan dalam mengakses berbagai bantuan sosial yang disediakan oleh pemerintah. Mereka juga mendapat kesulitan dalam hal masuk sekolah, mendapat pekerjaan, dll. Lebih lengkap lihat Salinan Putusan MK-RI Nomor 97/ PUU-XIV/2016. https://mkri.id/public/content/ persidangan/putusan/97_PUU-XIV_2016.pdf (diakses 12 Februari 2019).
4G30S adalah akronim dari Gerakan 30 September yang sering juga disebut sebagai gerakan yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI). Berdasarkan Tap MPRS No. XXV/1996, G30S/PKI ditetap- kan sebagai partai terlarang di Indonesia.
5Bdk. Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, terj. Maria Th. Sidjabat dan W.B. Sidjabat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), 180; Gavin W. Jones, “Religion and Education in Indonesia,” JSOTR No. 22 (Oct. 1976): 24-25; John Benia Narciso, “Christianization in New Order Indonesia (1965- 1998): Discourses, Debates and Negotiatians,” MELINTAS 24.3 (2008): 410-411. http://journal.unpar.ac.id/index.php/melintas/article/view/943 (diakses 1 Oktober 2019).
dalam pendidikan dan pekerjaan. Selain itu stigma yang kurang baik pada penghayat kepercayaan misalnya penyembah berhala, tidak beragama, atau bahkan anggota PKI – juga masih berlangsung hingga saat ini. Dengan demikian, dalam “wajah” yang berbeda, residu alasan pragmatis akibat peristiwa tahun 1965 di atas masih berlangsung hingga saat ini.
Yang menjadi fokus perhatian penulis dalam tulisan ini adalah para penghayat kepercayaan yang telah berafiliasi dengan kekristenan, entah karena peristiwa 1965 atau karena bentuk lain dari residu alasan pragma- tis masa lalu tersebut. Walaupun sudah menjadi Kristen, tidak sedikit di antara mereka masih meyakini kepercayaan leluhur mereka bahkan masih mempraktikkan sejumlah ritual kepercayaan itu hingga saat ini. Karena itu bila kedua latar sejarah di atas tidak direspons secara tepat maka keputu- san MK-RI ini akan menjadi pemicu upaya merumuskan ulang identitas mereka untuk selanjutnya keluar dari kekristenan dan menjadi penghayat kepercayaan.
Salah satu solusi yang hendak penulis usulkan dalam rangka menyikapi kedua latar sejarah di atas adalah pembacaan Alkitab yang lebih ramah kepada kepercayaan lokal di Indonesia – yaitu Cross-textual Hermeneutics. Selanjutnya ia disebut Hermeneutika Lintas Tekstual (HLT). Tujuannya tentu saja agar mereka yang telah memutuskan untuk berafiliasi dengan kekristenan pada masa yang lalu semakin meyakini bahwa identitas mereka adalah Kristen yang memang memiliki irisan6 yang sangat lebar dengan kepercayaan leluhur mereka. Tujuan ini akan memperkaya manfaat praksis dari HLT yang telah diintroduksi oleh Daniel K. Listijabudi. Bila perdamaian individu maupun kelompok antarpenganut kepercayaan di Indonesia, khususnya Kristen dan Kejawen, manfaat praksis yang dimak- sud oleh Listijabudi,7 maka tulisan ini akan berfokus pada internal gereja. Tulisan ini akan menyorot pergulatan identitas dari mereka yang masih meyakini kepercayaan leluhur, bahkan masih mempraktikkan berbagai ritual dalam kepercayaan tersebut namun telah telanjur berafiliasi dengan gereja yang tidak selalu ramah terhadap kepercayaan leluhur mereka. Untuk lebih mengonkretkan pembahasan ini, penulis akan menggunakan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)8 sebagai objek sebuah studi kasus, baik atas
6Dalam geometri, “titik singgung” merujuk kepada satu titik pertemuan antara dua atau lebih lingkaran atau bentuk lain, sedangkan “irisan” merujuk kepada sebuah bidang pertemuan yang lebih luas.
7Daniel K. Listijabudi, “Hermeneutika Lintas Tekstual Atas Teks Mistik: Dewa Ruci (Teks Jawa) dan Yakub di Yabok (Kej. 32),” dalam Y.M. Seto Marsunu, Vitus Rubianto, Marnangkok Situmorang (peny.), Hermeneutika Poskolonial (Toraja: Simposium Nasional VIII ISBI, 2016). Dalam artikel tersebut setidaknya sembilan kali muncul kata “perdamaian” dan satu kali kata “damai”. Tulisan tersebut mer- upakan ringkasan disertasinya di Vrije Universiteit Amsterdam pada tahun 2016.
8Sebuah denominasi gereja Protestan yang berpusat di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera
Utara. Anggota jemaat dari gereja ini didominasi oleh orang yang bersuku Karo.
kebijakannya terhadap kepercayaan lokal maupun jejak-jejak warisan misi Barat yang kurang ramah terhadap kepercayaan lokal tersebut.
Peristiwa G30S/ PKI dan Gereja
Berdasarkan UU No.1/PNPS/1965, pemerintah RI hanya mengakui enam agama resmi, yaitu: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.9 Selain penganut enam agama resmi, di Indonesia juga terdapat sejumlah penghayat kepercayaan. Masing-masing daerah di Indonesia memiliki nama dan keunikannya masing-masing. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri RI, jumlah penghayat kepercayaan hingga 31 Juli 2017 sebanyak 138.791 orang.10 Namun menurut Dirjen Dukcapil tidak semua penghayat keper- cayaan itu mendaftarkan dirinya.11 Pada sisi lain, menurut data Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), setidaknya ada 12 juta orang penghayat kepercayaan di Indonesia.12 Yang 12 juta tersebut terbagi menjadi dua, yakni penghayat kepercayaan murni dan penghayat kepercayaan yang memeluk satu dari enam agama resmi.
Bila kita membaca sejarah Indonesia, utamanya pascaperistiwa G30S/ PKI tahun 1965, ternyata banyak penghayat kepercayaan ini kemudian terpaksa berafiliasi dengan satu dari enam agama resmi di atas. Mereka memang telah menjadi anggota salah satu agama resmi, namun masih meya- kini kepercayaan sebelumnya, bahkan masih terlibat aktif dalam sejumlah ritual kepercayaan tersebut.13 Karena itu secara de facto jumlah penghayat kepercayaan di Indonesia bisa saja jauh melampaui 12 juta orang.
Karena itulah keputusan MK-RI dalam dua latar belakang dan konteks sejarah kekristenan di atas dapat mendorong warga jemaat dari gereja-gereja suku, yang masih meyakini kepercayaan leluhur bahkan mem- praktikkan ritual kepercayaan leluhur tersebut, merumuskan ulang identitas mereka. Sebagai bahan perbandingan, misalnya, pada tanggal 20 Februari 2019 yang lalu Bonie Nugraha Permana14, berstatus sebagai Pegawai Negeri
9Dua tahun kemudian Konghucu dilarang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Namun Konghucu diakui kembali berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.
10Putra, “Sebetulnya, Berapa Jumlah Penghayat Kepercayaan di Indonesia?” https://sains.kompas. com/read/2017/11/22/124500723/sebetulnya-berapa-jumlah-penghayat-kepercayaan-di-indonesia (diakses 1 Februari 2019).
11Putra, “Sebetulnya, Berapa Jumlah Penghayat Kepercayaan di Indonesia?” https://sains.kompas. com/read/2017/11/22/124500723/sebetulnya-berapa-jumlah-penghayat-kepercayaan-di-indonesia (diakses 1 Februari 2019).
12Saut, “Ada 187 Organisasi dan 12 Juta Penghayat Kepercayaan di Indonesia.” https://news.detik. com/berita/3720357/ada-187-organisasi-dan-12-juta-penghayat-kepercayaan-di-indonesia (diakses 1 Februari 2019).
13Bdk. Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur, 5-6.
14Selengkapnya dapat diakses dalam Ahmad Fauzan, “Bonie, Warga Bandung
Pertama Pemilik KTP Agama Kepercayaan.” http://kabarkampus.com/2019/02/
Sipil, dan beberapa orang warga kota Bandung lainnya menerima KTP Elektronik untuk pertama kalinya dengan identitas “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” pada kolom agama. Secara de jure Bonie, istri, dan anaknya sebelumnya adalah penganut agama Islam. Bonie, keluarganya, dan beberapa orang lainnya akhirnya merumuskan ulang identitasnya dan memutuskan keluar dari Islam dan menjadi penghayat kepercayaan. Dengan gambaran ini “Bonie-Bonie” lain sangat mungkin akan muncul dari kalangan Kristen.
Sebagaimana dicatat dalam berbagai tulisan, perpindahan menjadi Kristen pada masa lalu adalah untuk menghindari ekses peristiwa G30S/ PKI. Paul B. Pedersen misalnya menyatakan, “Salah satu reaksi yang paling dramatis dan mencengangkan, setelah kup (coup) tahun 1965 yang gagal itu ialah gerakan massal orang-orang Indonesia masuk gereja.”15 Hal yang sama juga terjadi pada penghayat kepercayaan di Karo. Selama tahun 1966- 1969 terjadi peningkatan jumlah anggota GBKP yang sangat signifikan. Ada yang menyebut pertambahan jemaat hingga tahun 1966 saja lebih dari 40.000 orang.16 Walau penyebab pertambahan tersebut bisa saja diperdebatkan, karena faktor penginjilan atau peristiwa G30S/PKI atau keduanya, namun mayoritas orang Karo penghayat kepercayaan pascaperistiwa 1965 tersebut berafiliasi ke GBKP, di samping ke agama resmi lainnya.17 Sejumlah besar penghayat kepercayaan di berbagai tempat di Indonesia pada masa itu terpaksa berafiliasi dengan gereja sebagai upaya untuk mencari perlindu- ngan dari upaya penangkapan bahkan pembunuhan terhadap mereka yang dicurigai menjadi anggota atau simpatisan PKI. Data jumlah korban pasca peristiwa G30S/PKI 1965 tersebut memang masih simpang-siur, namun jumlahnya sangat besar. Ada yang dipenjarakan, namun ada yang dibunuh karena dituduh sebagai anggota PKI atau bahkan sekadar simpatisan PKI. Karena itu menjadi Kristen, baik Protestan maupun Katolik, bukan agama resmi lainnya, adalah pilihan yang paling rasional pada masa itu.18
Walaupun sudah menjadi Kristen, tidak sedikit di antara mereka masih meyakini kepercayaan leluhur mereka, bahkan masih memprak- tikkan sejumlah ritual kepercayaan itu secara diam-diam. Di kalangan anggota GBKP juga demikian. Karena itu tidak mengherankan bila pada awal tahun 1970-an sebanyak 75% dari anggota GBKP dinyatakan masih
bonie-warga-bandung-pertama-pemilik-ktp-agama-kepercayaan/ (diakses 27 Februari 2019).
15Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, terj. Maria Th. Sidjabat dan W.B. Sidjabat (Jakarta: BPK GM, 1975), 180. Kesimpulan yang senada dapat dibaca dalam Jones, “Religion and Education in Indonesia,” 24-25; Narciso, “Christianization in New Order Indonesia (1965-1998),” 410-411.
16Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, 182.
17Bdk. Jones, “Religion and Education in Indonesia,” 24-5.
18Untuk melihat besarnya jumlah penghayat kepercayaan menjadi Kristen pasca peristiwa G30S/
PKI baca Narciso, “Christianization in New Order Indonesia (1965-1998),” 410-411.
mempraktikkan ritual kepercayaan leluhur mereka.19 Jumlah ini sangatlah besar. Jones mengafirmasi hal ini dengan mengatakan, “…, most Karo continue to practice their traditional religion.”20 Pada sisi lain data Litbang Moderamen GBKP menyatakan, partisipasi jemaat dalam menghadiri kebaktian Minggu sebesar 34,02% pada tahun 2016, dan 39,72% pada tahun 2017.21 Mungkinkah sebagian di antara 60% jemaat GBKP yang tidak aktif beribadah ini adalah mereka yang selama ini hanya “bersembunyi” di dalam GBKP, dan masih mempraktikkan sejumlah ritual kepercayaan lokal orang Karo?22
Dalam hal kehadiran penghayat kepercayaan yang ada di tengah-te- ngah masyarakat Karo, yang sebagian di antaranya telah menjadi anggota GBKP, GBKP tampaknya perlu memberi respons yang lebih bijaksana lagi dari apa yang sebenarnya telah banyak dilakukan selama ini. Dari dokumen yang ada, masih ada kecenderungan GBKP kurang berminat untuk melaku- kan kajian secara lebih mendalam atas kehadiran mereka di tengah-tengah gereja. Hal tersebut antara lain terlihat dari keputusan Konferensi Pendeta (Konpen) GBKP tahun 2016 No.14 poin ke-2 tentang kearifan lokal, yang berbunyi:
Tentang kepercayaan-kepercayaan lama yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Karo dan bertentangan dengan iman Kristen, tetap ditolak dan tidak perlu dikaji ulang (mengacu pada keputusan sidang sinode sebelumnya seperti sidang BPL 2002 seperti niktik wari, cabur bulung, ndilo wari udan, petalayoken, nengget, perumah begu sebagai hasil konpen).23
Keputusan semacam ini menurut penulis akan menutup ruang bagi GBKP untuk lebih mendalami lagi kepercayaan lokal Karo tersebut. Pada gili- rannya ia juga akan menutup ruang bagi terciptanya sebuah dialog yang konstruktif, utamanya karena adanya frasa “tidak perlu dikaji ulang”.
Pendekatan Misi Kristen Eropa di Asia
Kekristenan awal masuk ke Asia utamanya adalah berkat kegiatan misi bangsa Eropa. Dari sekian banyak isu yang menarik untuk dibicarakan,
19Frank L. Cooley dkk., Benih yang Tumbuh IV (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Dewan Studi Gereja-gereja di Indonesia, edisi revisi 1976), 124.
20Jones, “Religion and Education in Indonesia,” 24.
21Data Litbang Moderamen GBKP tersebut antara lain tertuang dalam dokumen moderamen GBKP dengan judul, “Pesan Moderamen GBKP Ku Sidang Majelis Klasis GBKP September 2018” pada bulan September 2018.
22Berdasarkan komunikasi dengan beberapa pendeta GBKP, memang diakui adanya anggota jemaat yang masih meyakini kepercayaan lokal, bahkan ada yang masih mempraktikkannya. Empat dekade setelah penelitian Cooley dkk. tersebut belum ada data secara sinodal terkait dengan jumlah anggota GBKP yang masih meyakini kepercayaan lokal atau bahkan masih mempraktikkannya.
23http://gbkp.or.id/2016/11/keputusan-konpen-gbkp-2016/ (diakses 12 Februari 2019).
kaitannya dengan kepercayaan lokal adalah salah satu yang menarik. Sebagian dari kegiatan misi itu kurang ramah kepada kepercayaan lokal.
S. Wesley Ariarajah pernah melakukan penelusuran terhadap gerakan misi Eropa tersebut dan menyimpulkan, “laporan-laporan akan ketidaktahuan, kekurangpekaan, dan penolakan terhadap kebudayaan lain, bahkan tidak jarang mencapnya sebagai ‘primitif,’ ‘penyembah berhala,’ ‘kafir,’ atau ‘biadab’, telah didokumentasikan dengan baik.24 Hendrik Kraemer, seorang tokoh misiologi yang berpengaruh dalam Pekabaran Injil internasional memperkenalkan pendekatan misi bersifat anti-kepercayaan lokal. Dalam tulisannya yang berjudul The Christian Message in a non-Christian World untuk International Missionary Council Conference (IMC) di Tambaram, India tahun 1938, sebagaimana dikutip oleh Ariarajah, Kraemer menegaskan sikap dasar kecurigaan terhadap semua agama dan kepercayaan serta tradisi- tradisi religius di dalamnya dan menyatakan bahwa Injil itu bertentangan dengannya.25 Pemahaman mengenai hakikat Alkitab serta cara memahami teksnya adalah salah satu penyebab dari sikap di atas. Archie Lee misalnya menyatakan,
Most Protestant missionaries with deep conviction of sola scriptura and a strong commitment to evangelical zeal would understand- ably claim the absolute authority and exclusive validity of the Word enstrusted to them. They saw themselves as being commissioned by the Church to spread the Word to the ‘heathens’ and the ‘pagan’ world. Without attempting to learn and understand the other [local] texts in context, they valiantly made the categorical proclamation of the idolatrous nature of all scriptures other than the Christian Bible, which alone embodied the whole truth. The crash of authorities in the face of the plurality of scriptures was inevitable when Christian text was proclaimed the sole authority over and against all other texts of scriptural status.26
R.S. Sugirtharajah pernah melakukan survei terhadap fenomena tersebut di banyak tempat yang pernah mengalami penjajahan bangsa Eropa pada masa lalu, termasuk di Asia. Dalam survei tersebut tampak sejumlah kutipan kalimat para misionaris serta sikap-sikap mereka di daerah misi. Di bawah subbab “Marks of Colonial Hermeneutics”, yang memuat ulasan tentang bagaimana para misionaris memahami hakikat Alkitab dan penafsi- rannya pada era kolonial, Sugirtharajah memperlihatkan bahwa sikap yang merendahkan bahkan penyangkalan atas nilai-nilai budaya lokal memang
24S. Wesley Ariarajah, Injil dan Kebudayaan terj. Liem Sien Kie & Yosafat Kristono (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 9.
25Ariarajah, Injil dan Kebudayaan, 13.
26Archie Lee, “Cross-Textual Hermeneutics and Identity in Multi-Scriptural Asia”, dalam Sebastian
C.H. Kim (ed.), Christian Theology in Asia (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 187-8.
sangat jelas.27Ada enam ciri hermeneutika kolonial yang dikemukakan oleh Sugirtharajah, yaitu: inculcation, encroachment, displacement, analogies and implication, textualization, dan historicization of faith. Tulisan ini tidak akan menguraikan keenam ciri tersebut secara detail, namun secara ringkas dapat dijelaskan sbb.
1.Inculcation, yaitu sikap yang menggunakan Alkitab sebagai medium untuk menanamkan tatakrama orang Eropa yang tersembunyi di balik gagasan “Alkitab yang mentransformasi”;28
2.Encroachment, yaitu sikap yang berupaya menanggalkan budaya lokal karena dinilai tidak mampu menjadi saluran bagi kebenaran Kristen. Bila diperlukan, para misionaris tidak ragu memodifikasi atau bahkan memper- buruk citra budaya lokal atau melepaskannya dari akar aslinya;29
3.Displacement, yaitu sikap yang mengubah budaya lokal agar mampu
mengakomodasi nilai-nilai Injil;30
4.Analogies and implication, yaitu sikap menyejajarkan Alkitab dengan seja- rah sekuler sebagai upaya untuk melawan mereka yang memberanikan diri menentang penjajahan. Penjajah ditafsirkan sebagai alat Tuhan untuk menyatakan kehendak-Nya, baik dalam hal menghukum, mentransformasi, maupun menolong yang terluka. Berbagai narasi Alkitab dipakai untuk mendasari gagasan tersebut;31
5.Textualization, yaitu sikap yang menilai firman tertulis merupakan firman Allah yang sesungguhnya. Dengan demikian tradisi lisan dalam budaya lokal dinilai tidak memuat penyataan Allah. Tradisi lisan itu bersifat menunggu penggenapannya yakni tradisi tertulis–Alkitab. Karena itu pula penafsiran firman Tuhan menjadi sebuah aktivitas literatur (literary activity);32
6.Historicization of faith, yaitu sikap menekankan bahwa iman yang benar adalah kepercayaan yang memiliki akar sejarah. Kepercayaan lokal dinilai hanya sekadar mitologi yang tidak historis dan tidak memuat tujuan historis yakni gagasan eskatologis.33
Gambaran di atas tentu tidak bermaksud menyamaratakan semua
27R.S. Sugirtharajah, The Bible and the Third World: Precolonial, Colonial and Postcolonial Encounter
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 61-73.
28Ibid., 63. Dalam bagian ini Sugirtharajah mengangkat kisah misionaris di Urganda, India Selatan, dan Afrika Selatan.
29Ibid., 64-65. Dalam bagian ini Sugirtharajah mengangkat kisah misionaris di Amerika Tengah terhadap suku Panare.
30Ibid., 65-66. Dalam bagian ini Sugirtharajah mengangkat kisah misionaris di Papua-Indonesia.
31Ibid., 66-67. Dalam bagian ini Sugirtharajah mengangkat kisah misionaris Katolik Roma Spanyol di Amerika Latin. Gagasan Spanyol sebagai alat Tuhan tersebut bahkan digemakan selama belasan abad.
32Ibid., 68-70. Dalam bagian ini Sugirtharajah mengangkat kisah misionaris di berbagai tempat sep- erti Afrika dan Asia.
33Ibid., 70-72. Dalam bagian ini Sugirtharajah memulai dengan mengangkat diskusi tentang Hindu di India. Selanjutnya dia juga mengangkat kisah yang hampir mirip di tempat-tempat lain seprti Afrika dan Asia lainnya.
pendekatan misionaris Barat pada masa kolonial, namun keenam ciri her- meneutika di atas memang pernah ada. Sugirtharajah menyatakan, “… it is neither monolithic nor static.”34 Tentu saja pada era kolonial sekalipun pasti ada misionaris Barat yang menaruh penghargaan yang tinggi kepada kebudayaan lokal.
Sejarah Misi dan Kepercayaan Lokal Karo
Pekerjaan misi kepada orang Karo dimulai sejak tahun 1890. Usaha pengin- jilan ini pada awalnya bukanlah sebuah tugas rohani, melainkan lebih kepada motif bisnis ataupun perdagangan. Antropolog Rita Smith Kipp misalnya menyatakan, “The first mission to the Karo Batak, however, was initiated by a colonial capitalist for political and economic ends.”35 Sikap seperti ini terus berlangsung bahkan pada saat misionaris akhirnya mendi- rikan sekolah-sekolah. Pihak perkebunan Belanda bersedia membiayai seluruh sekolah yang ada dengan harapan hal itu dapat memenuhi kebu- tuhan di kantor pemerintahan dan perkebunan Belanda.
Dalam kurun waktu 50 tahun pertama (1890-1940) misi ini hanya berhasil membaptis sebanyak 5.000 orang dengan tenaga penuh waktu sebanyak 6 orang pendeta dari Nederlands Zendelinggenootschap (NZG), 2 orang bakal pendeta dari Karo, serta 38 orang guru Injil.36 Sebagian orang menilai pertumbuhan jemaat ini relatif lambat. Dalam sebuah tulisan untuk konsultasi The Gospel and Frontier People di Chicago tahun 1972 yang dikutip oleh Cooley, Pdt. A. Ginting Suka (Ketua Moderamen GBKP periode 1966- 1989) menyatakan bahwa lambatnya pertumbuhan jemaat tersebut sangat terkait dengan kekurangramahan para misionaris terhadap kebudayaan lokal Karo.37 Argumentasi tersebut semakin meyakinkan ketika banyak ang- gota jemaat GBKP “meninggalkan” gereja38 dan bergabung dengan sebuah organisasi di kalangan suku Karo bernama Balai Pustaka Adat Merga Si Lima (BPAMSL) pada tahun 1967.39 Dengan alasan kurangnya pembinaan dan penggembalaan, Cooley mengakui besarnya jumlah perpindahan ang- gota jemaat tersebut.40 Namun ada pendapat lain bahwa perpindahan yang
34 Ibid., 61.
35Rita Smith Kipp, The Early Years of a Dutch Colonial Mission: Karo Field (Ann-Arbor, Michigan: The University of Michigan Press, 1990), 37. Bdk. Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 5.
36Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 6-7.
37Ibid., 7.
38Tampaknya tindakan ini dilakukan setelah sebelumnya dibaptis dan dinyatakan sudah berag- ama, dengan itu ekses dari peristiwa G30S/PKI tidak lagi menjadi ancaman besar.
39Bdk. Juara Ginting, “The Position of Hinduism in Karo Society (North Sumatra),” dalam Martin Ramstedt (ed.), Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion Between Local, National, and Global Interests (London: Routledge Curzon, 2004), 234. Juara Ginting menyebutkan bahwa banyak anggota GBKP akhirnya memutuskan masuk ke dalam BPAMSL yang akhirnya pernah menjadi organisasi keagamaan terbesar pada saat itu. Cooley juga mencatat kisah yang sama namun menyebut kelompok ini sebagai gerakan “perodak-odak”. Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 74.
40Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 77.
besar itu adalah karena BPAMSL mempertahankan kebudayaan Karo dan mengupayakan Perbegu41 (yang diganti namanya menjadi Pemena) agar diakui sebagai agama resmi oleh pemerintah. Telah sejak lama kata begu mengalami peyorasi. Arti kata ini awalnya adalah “roh orang yang sudah meninggal” namun kini diartikan “setan” atau “hantu”. Sementara arti har- fiah dari “pemena“ adalah “pertama”. Istilah ini lebih positif dan kemudian merujuk kepada kepercayaan pertama leluhur Karo.
Pada tahun 1972 BPAMSL bertransformasi menjadi Parisada Agama Hindu Karo (PAHK) yang berafiliasi di bawah agama Hindu, jumlah pengikutnya mencapai 50.000 orang, dan 50.000 orang simpatisan hingga tahun 1984.42 Jumlah yang besar ini antara lain disebabkan PAHK me- ngampanyekan slogan “Hinduisme dan Pemena adalah sama”. Slogan ini hendak mengatakan, untuk menjadi seorang Hindu orang Karo tidak perlu meninggalkan identitas Karonya. Bila demikian, apakah pada masa itu ada sekelompok orang merasakan identitas ke-Karo-annya mendapat tekanan ketika seseorang menjadi Kristen?
Bila kita menelusuri beberapa catatan di bawah, tampaknya jawaban dari pertanyaan di atas adalah “ya, ada”. Cooley menyatakan,
Mereka [misionaris] menekankan dalam khotbah-khotbah dan pengajaran agar orang Karo meninggalkan kepercayaan kafir, menerima Kristus Yesus, dan hidup sesuai dengan 10 Hukum, se- hingga kehidupan mereka kelihatan jelas sebagai orang Kristen, yang jauh berbeda dari cara hidup kafir. Kepercayaan Kristen lain sekali dari kepercayaan kafir. Orang yang menerima Yesus harus keluar dari masyarakat Karo yang kafir dan masuk persekutuan Kristen (Gereja) di mana kehidupan mereka diawasi benar-benar. Siasat gereja dijalankan secara keras sekali, tetapi secara legalistis. Dengan demikian perbedaan antara “anak-anak terang” dan “anak-anak kege- lapan” amat menonjol.43
Sebagaimana telah disinggung di atas, Cooley juga mengakui bahwa lambannya pertumbuhan jemaat adalah karena sikap pemisahan yang tajam antara Kristen dan kepercayaan atau kebudayaan Karo ini.44 Salah satu contoh siasat gereja yang dijalankan secara keras diberikan kepada seorang raja bernama Pa Mbelgah Purba di Kabanjahe.45 Saat berada di Kabanjahe, seorang misionaris bernama Pdt. Van den Berg datang dan bertutur dengan Raja Pa Mbelgah Purba sampai ia sendiri diterima menjadi marga Purba.
41Perbegu merupakan salah satu istilah yang merujuk kepada kepercayaan leluhur orang Karo.
42Ginting, “The Position of Hinduism in Karo Society (North Sumatra)”, 238.
43Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 4.
44Ibid., 4.
45Ibid., 5.
Melalui raja, dapat dikumpulkan orang-orang untuk berbicara dan bertukar pikiran mengenai agama, hingga pada akhirnya raja dan para pengikutnya dibaptis menjadi Kristen. Tidak lama setelah dibaptis, Pa Mbelgah Purba bertanya kepada Pdt. Van den Berg, apakah orang Kristen dapat meng- gunakan gendang Karo (alat musik tradisional Karo). Pdt. Van den Berg pun tidak mengizinkan pemakaian gendang Karo. Tetapi karena dalam melakukan tugasnya sebagai raja, Pa Mbelgah Purba tetap menggunakan gendang Karo. Pada akhirnya Pa Mbelgah Purba dikeluarkan dari gereja, karena pendeta bersikeras menganggap gendang Karo sebagai suatu unsur kekafiran yang tidak bisa dikawinkan dengan agama Kristen. Karena itu tidak mengherankan bila agama Kristen dianggap sebagai agama Belanda.46 Dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Gereja di Antara Identitas
dan Schizophrenia,” Pdt. Mindawati Peranginangin, Ph.D. (Kabid. Personalia dan SDM GBKP periode 2005-2010) merekam kalimat Pdt. A. Ginting Suka (Ketua Moderamen GBKP periode 1966-1989) yang mengakui bahwa jiwa atau rohnya adalah Karo, tetapi tubuh dan bajunya Kristen.47 Kalimat Ginting Suka tersebut menjadi gambaran bahwa memang ada sejumlah anggota jemaat GBKP yang berada dalam dilema, yakni dua identitas yang belum mendapatkan solusi bagaimana mendamaikan keduanya. Gereja dalam sisi tertentu kurang merespons situasi ini secara tepat, atau bahkan justru seringkali mempertajam perbedaan keduanya.
Hermeneutika Lintas Tekstual (HLT)
Seperti yang telah disinggung di atas, salah satu warisan misi Eropa pada era kolonial yang cukup berperan dalam kekurangramahan gereja terha- dap agama lokal adalah cara memandang dan memahami Alkitab dan teks Alkitab. Kesadaran ini mendorong berbagai penelitian untuk menemukan metode hermeneutika Alkitab yang lebih relevan bagi kekristenan di Asia. Beberapa survei telah dilakukan untuk memetakan teori hermeneutika Alkitab di Asia.
Menurut Moonjang Lee, ada empat model penafsiran Alkitab di Asia, yakni: contextual perspective, pluralist perspective, postcolonial perspective, dan religious perspective.48 Menurut Kwok Pui Lan, setidaknya ada tiga model penafsiran yang dinilai memberi ruang yang cukup besar bagi sacred texts, khususnya kearifan lokal Asia.49 Ketiganya adalah: Membandingkan motif
46Cooley, Benih yang Tumbuh IV, 7.
47Mindawati Peranginangin, Gereja di Antara Identitas dan Schizophrenia, http://mindawatiperangi- nangin. blogspot.co.id/ (diakses 2 Maret 2019).
48Moonjang Lee, “Asian Biblical Interpretation,” dalam Kevin J. Vanhoozer (ed.), Dictionary for Theological Interpretation of the Bible (Grand Rapids-Michigan: Baker Academic, 2005), 68-71.
49Kwok Pui Lan, Discovering the Bible in the Non-Biblical World (New York: Orbis Books, 1995), 62-6.
yang sama melalui studi lintas teks (cross-textual), melihat Alkitab melalui perspektif tradisi agama lain, dan menggunakan sumber-sumber Asia sep- erti cerita, mitos atau legenda lokal dalam membaca Alkitab. Sementara Archie C.C. Lee menyatakan ada tiga model penafsiran Alkitab di Asia yakni: The Text-Alone Approach, the Text-Context Interpretative Mode, dan Cross-Textual Hermeneutics.50 Bila kita membaca tulisan Lee di atas secara cermat, ditemukan sebuah matriks dinamika pencarian model penafsiran Alkitab Asia tersebut. Model kedua di atas adalah respons atas kelemahan model pertama, sementara model ketiga adalah respons atas kelemahan model pertama dan kedua. Tulisan ini tidak akan membahas masing-ma- sing model di atas, namun realitas di atas merupakan bukti bahwa upaya untuk memahami teks Alkitab dalam konteks Asia yang multikultur dan multiagama kian mendapat perhatian.
Dalam kaitannya dengan pembahasan kita ini, bisa dikatakan pula bahwa model-model pembacaan Alkitab Asia di atas merupakan upaya untuk merespons kekurangramahan model pembacaan Alkitab pada era kolonial, yang diteruskan hingga saat ini, terhadap realitas kebudayaan dan kepercayaan lokal Asia. Moonjang Lee, Kwok Pui Lan, dan Archie C.C. Lee sama-sama melihat HLT sebagai sebuah alternatif model pembacaan Alkitab di Asia. Moonjang Lee memasukkannya ke dalam model pluralist perspective.51 Di Indonesia, istilah “Hermeneutika Lintas Tekstual” (HLT) bisa jadi belum begitu populer, walau gagasannya telah ada sejak lama.52 Namun realitas keputusan MK-RI di atas membuat model ini menjadi semakin penting dikembangkan.
Archie C.C. Lee adalah pakar yang sangat penting dalam memopuler- kan model ini di Asia. Ia merupakan teolog Asia yang mendapat pendidikan di Barat, dan kini menjadi profesor di The Chinese University di Hongkong. Dari beberapa tulisannya mengenai HLT, Lee memang memiliki pergumu- lan yang sama dengan pergumulan di atas, yaitu realitas kekurangramahan gereja terhadap berbagai kepercayaan (kebudayaan) lokal di tengah-tengah konteks gereja yang multikebudayaan dan multikepercayaan. Lee menggu- nakan istilah “cultural-religious tradition” (tradisi kebudayaan-kepercayaan) yang tampaknya untuk menggambarkan bahwa kebudayaan dan keper- cayaan orang Asia telah teranyam dengan sangat rapi dalam sejarah yang
50Archie Lee C.C. Lee, “Biblical Interpretation in Asian Perspective,” The Asian Journal of Theology, Vol. 7 No. 1 (April 1993): 35.
51Lee, “Asian Biblical Interpretation,” 68.
52Beberapa tulisan yang diterbitkan di Indonesia yang telah menyebutnya secara eksplisit a.l.: Archie C.C. Lee, “Cross-Textual Interpretation and Its Implication for Biblical Studies,” dalam Asnath
N. Natar, Cahyana E. Purnama, Karmito (peny.), Teologi Operatif: Berteologi dalam Konteks Kehidupan yang Pluralistik di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 3-13; Listijabudi, “Hermeneutika Lintas Tekstual Atas Teks Mistik,” 154-63; Daniel K. Listijabudi, “Pembacaan Lintas Tekstual: Tantangan Ber- Hermeneutik Alkitab Asia (I),” Gema Teologika Vol. 3 No. 2 (Oktober 2018): 207-30.
sangat panjang.53 Keduanya telah menjadi sumber pembentuk identitas masyarakat Asia.
Selanjutnya pada era kolonial diperkenalkanlah kebudayaan dan kepercayaan baru, yaitu Barat dan Kristen yang tidak bisa tidak telah memengaruhi identitas awal mereka. Realitas ini membuat masyarakat Asia yang menjadi Kristen berada dalam dua identitas yang tidak selalu mudah diperdamaikan. Dalam istilah teknis, masyarakat Asia hidup dalam “dua” teks, yaitu teks Asia (teks A) dan teks Biblis (teks B).54 Walaupun Lee telah mengintroduksi adanya dua teks, harus dipahami bahwa masyarakat Asia sesungguhnya hidup dalam teks-teks yang sangat banyak, beragam, dan dinamis. Karena itu harus pula dipahami bahwa teks A di atas tidak bersifat monolitik.55 Lee menyatakan, “…, the Asian context contains multiple texts and is itself a text, …”56 Teks itu sendiri terdiri atas teks tertulis dan yang tidak tertulis. Dalam praktiknya teks A memang sering dibatasi pada teks tradisi kebudayaan-kepercayaan lokal Asia yang “dipotret” dalam waktu dan tempat tertentu.57 Karena itulah HLT dapat dikatakan hadir untuk merespons realitas masyarakat yang hidup dalam “dua” teks tersebut, atau bisa pula disebut “dua” identitas.
Dalam rangka upaya mendamaikan keduanya, kalimat-kalimat Lee berikut memuat hal yang sangat mendasar dari HTL.
It is difficult, if not impossible, to image the God of history being totally absent from the historical process and religious progress of the non-Judeo-Christian cultures in the past centuries before the spread of the Gospel.58
Asia and its long history cannot be conceived as being denied the presence of God and divine revelation. The experience of the people cannot be dismissed as ‘pagan’ and ‘heathen’ and therefore treated as being worthless and ignorant.59
53Lee, “Biblical Interpretation in Asia Perspectives,” 35.
54Bdk. Archie C.C. Lee, “Cross-textual hermeneutics and identity in multi-scriptural Asia,” dalam Sebastian C.H. Kim (ed.), Christian Theology in Asia (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 192.
55Isu ini juga dibahas dengan cukup baik dalam Joas Adiprasetya, “Towards an Asian Multitextual Theology,” EXCHANGE 43 (2014):119-131. Dalam artikelnya, Adiprasetya sependapat dengan Namsoon Kang yang mengritik Aloysius Pieris yang cenderung melihat konteks Asia secara mono- litik. Namun demikian Adiprasetya juga mengkritik Namsoon Kang, karena melalui usulannya kita dapat terjebak kepada penyeragaman pengalaman (perempuan) Asia, apalagi pengalaman itu sampai dinormatifkan. Selain mengintrodusir realitas multiteks Asia, Adiprasetya juga menolak normativisasi sebuah metode atau prosedur berteologi di Asia.
56Lee, “Cross-textual hermeneutics and identity in multi-scriptural Asia,” 191.
57Teks A yang dimaksud bisa berupa teks tertulis bisa juga teks yang tidak tertulis. Teks yang tidak tertulis ini bisa saja berupa adat istiadat, kebiasaan, cerita-cerita lisan, sejarah budaya, sejarah politik, dll.
58Archie C.C. Lee, “Cross Textual Hermeneutics on Gospel and Culture,” The Asian Journal of Theology, Vol. 10 No. 1 (April 1996): 38-48.
59Lee, “Cross-textual hermeneutics and identity in multi-scriptural Asia,” 191.
Gagasan di balik kalimat-kalimat di atas tampaknya sulit, untuk tidak mengatakan tidak mungkin, diterima pada era misi zaman kolonial di Indonesia. Hal ini karena adanya pemahaman bahwa Allah yang disem- bah dalam kekristenan dinilai tidak mungkin mewahyukan firman-Nya di luar Alkitab, apalagi kepada komunitas yang kerap disebut sebagai kafir, penyembah berhala, atau animisme. Alkitab dipahami sebagai firman Tuhan yang sesungguhnya, bukan yang lain. Karena itu, dialog antara teks A dan teks B menjadi tidak mungkin. Teks A dinilai sebagai hasil konstruksi orang- orang kafir (gentiles) yang tidak mungkin mengandung kebenaran ilahi.
Dalam Alkitab, Rasul Paulus sesungguhnya pernah menyinggung isu yang hampir sama dalam Roma 2:14-15.
Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka men- jadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.
Dalam teks tersebut tampak jelas bahwa orang-orang yang tidak memiliki Taurat – non-Yahudi yang sering disebut gentiles – memiliki potensi untuk melakukan apa yang dituntut Allah dalam Taurat (ay. 14). Dalam ayat 15 juga ditegaskan bahwa mereka yang tidak memiliki Taurat juga memiliki hati nurani yang mampu membedakan benar dan salah. Hans Conzelmann secara tegas menyatakan, “This applies explicitly even for the Gentiles (Rom. 2.15).”60 Mereka tidak hanya tahu tentang hukum Tuhan itu, tapi juga memiliki kemampuan untuk mempraktikkannya dalam kehidupan mereka. Dengan demikian dalam komunitas di luar Yahudi dan Kristen juga ada standar moral ilahi yang diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi pembentuk identitas mereka.61 Pertanyaannya, dari mana mereka yang disebut gentiles tersebut memiliki kemampuan-kemampuan di atas kalau bukan pewahyuan dari Allah yang adalah Tuhan atas sejarah itu? Bukankah mereka juga adalah gambar dan rupa Allah yang juga mewarisi tabiat Allah Sang Tuhan atas sejarah tersebut? Karena itu “teks lokal” gentiles yang dikonstruk oleh orang-orang tersebut tentu saja memuat kebenaran ilahi. Sayangnya teks Roma 2:14-15 ini sangat jarang dibawa pada diskusi semacam ini.
Pemahaman yang terlalu sempit dalam memahami hakikat Allah
60Hans Conzelmann, An Outline of the Theology of the New Testament (London: SCM Press, 1969), 182.
61Lee, “Asian Biblical Interpretation,” 150.
yang adalah Tuhan atas sejarah di atas tidak saja kuat di kalangan misionaris pada era kolonial, pada saat ini pun masih ada yang memiliki pandangan yang sama. Tidak saja jemaat awam di gereja modern, di antara para teolog pun masih banyak yang berpandangan demikian. Lee mengafirmasi hal ini dalam kalimatnya, “Some scholars with conservative missionary zeal strongly believed that the Bible is the “Text”, the only Word of God.”62 Hal yang senada juga muncul dalam kalimatnya yang lain,
The obstacle to the realization of an enriched religious world embo- died in scriptures is, among other political and institutional factors, the preconceived presupposition of the supremacy of the Bible in Christian understanding, which assumes an absolute authority and an exclusive truth-claim of Christian text that is set against the unreality and idolatrous perversion of other religions.63
Dalam batas tertentu, kalimat Lee di atas sejalan dengan salah satu ciri hermeneutika kolonial yang dipaparkan oleh Sugirtharajah di atas yaitu Textualization.
Warisan misi pada era kolonial tersebut tidak saja bermasalah dalam memahami bagaimana Allah bekerja mewahyukan firman kepada dunia ciptaan-Nya, melainkan juga bermasalah dalam memopulerkan istilah “model penafsiran yang standar”.
The interpretation of the Bible has, until recent years, been done by European and American scholars who consciously or unconsciously assumed universal validity for ways of reading Bible. …, biblical interpretation developed in subsequent ages until most recent times has almost exclusively reflected western perspectives and theological concerns.64
Tidak jarang penafsiran mereka terhadap teks B dinilai sebagai penaf- siran yang paling benar secara absolut dan karenanya ia mengikat kepada semua orang di segala tempat dan segala masa. Kemudian muncullah istilah yang sering kita dengan “metode penafsiran yang standar” atau “metode penafsiran yang paling setia pada teks” dan sejenisnya. Perlu disadari bahwa dalam realitas dunia yang sangat beragam serta realitas permasalahan yang semakin kompleks, istilah “penafsiran atau metode penafsiran yang stan- dar” dan sejenisnya sebaiknya ditinggalkan. Sesungguhnya semua model penafsiran memiliki konteks sejarahnya masing-masing, sebagaimana Asia juga memiliki konteks sejarah bagi upaya mengonstruk model penafsiran
62Bdk. Lee, “Biblical Interpretation in Asian Perspective,” 35.
63Lee, “Cross-textual hermeneutics and identity in multi-scriptural Asia,” 193.
64Bdk. Lee, “Biblical Interpretation in Asian Perspective,” 35.
yang bisa dikembangkan.
Allah yang dikenal dalam kekristenan adalah Pencipta dunia dan segala yang ada di dalamnya. Karena itu, dunia dan segala yang ada di dalamnya adalah milik kesayangan-Nya. Adanya penyimpangan dalam dunia ciptaan-Nya adalah realitas, tapi itu tidak membatalkan hakikat ciptaan tersebut sebagai milik kesayangan-Nya. Jadi dengan memahami bahwa Allah adalah Tuhan atas sejarah yang bekerja mewahyukan fir- man-Nya kepada semua milik kesayangan-Nya tersebut, termasuk yang di luar Yahudi maupun Kristen, maka dialog antara teks A dan teks B menjadi sesuatu yang tidak saja memungkinkan, melainkan juga harus dikembang- kan. Apalagi dalam konteks pascakeputusan MK-RI dan realitas dua latar sejarah kekristenan di atas, tentu HLT ini semakin penting dikembangkan.
Namun demikian HLT tidak semata-mata membandingkan teks A dan teks B untuk melihat persamaan dan perbedaan kedua teks tersebut. Ia juga bukanlah sekadar antitesis dari model “teks ke konteks” – yakni “kon- teks ke teks”. Memang benar model “teks ke konteks” yang telah populer selama ini dinilai telah memosisikan teks A sebagai objek dari teks B. Teks A dinilai tidak memiliki kontribusi apapun dalam hermeneutika Alkitab. Pertanyaan retorik D. Preman Niles berikut memberikan gambaran betapa diskriminatifnya model “teks ke konteks” tersebut dalam hermeneutika Alkitab Asia dan kemudian dalam konstruksi teologi Asia, “Is theology always a matter of relating Text to Context? Is it not also a matter of relating Context to Text so that the Context may speak to the Text? Ia Asian there to receive? Has it nothing to contribute?”65 Namun penulis menilai, HLT tidak kemudian sepenuhnya mengikuti model “konteks ke teks”. Yang menjadi penekanan HLT adalah, baik teks A maupun teks B sama-sama penting, karena itu studi yang mendalam dan komprehensif atas kedua teks itu menjadi sebuah keharusan. Tugas utama penafsir adalah menemu- kan irisan kedua teks tersebut, utamanya berkaitan dengan upaya untuk merespons berbagai persoalan bersama dalam dunia ini. Irisan tersebut adalah pesan yang termuat dalam kedua teks tersebut bagi persoalan yang tengah dihadapi.
Dalam mempraktikkan hermeneutika Alkitab Asia, dan kemudian digunakan untuk mengonstruk teologi Asia, proses penafsirannya tidak harus dari teks B ke teks A atau dari teks A ke teks B. Penafsiran keduanya bisa saja dilakukan secara simultan dalam proses dialog antar-kedua teks secara terus-menerus. Gagasan “simultan” ini juga termuat dalam
65D. Preman Niles, “The Word of God and the People of Asia,” dalam James T. Butler, Edgar W. Conrad dan Ben C. Ollenburger (eds.), Understading the Word, Essay in Honour of Benhard W. Anderson (Sheffield: JSOT, 1985), 283.
usulan Listijabudi agar dalam menafsir dilakukan dialog bolak-balik antar- kedua teks tersebut.66 Frase kuncinya adalah “bolak-balik”. Baik teks A maupun teks B sama-sama bisa menjadi konteks satu dengan yang lainnya. Adiprasetya menyatakan,“One text is also a context for another text. Thus, text is context, and context is text.”67 Karena itu keduanya dapat berperan dalam menolong setiap penafsir untuk memahami baik teks A maupun teks B. Lee menyatakan, “Cross-Textual hermeneutics may be a painful endeavour; but, nonetheless, a necessary one for the enrichment of both the Gospel and culture.”68 Kalimat Lee lainnya yang senada, “Examples are cited, by Pieris, for reciprocal significance of cross-scriptural reading in mutual illuminating of the biblical text by the Buddhist scriptures and vice versa.”69 Dalam mempraktikkan HLT, penafsir hendaknya memperhatikan dua hal yaitu motif peredaksian dari kedua teks dan struktur dari kedua teks tersebut.70 Keduanya akan menggiring kita pada irisan yang hendak dicari.
Sumbangsih “HLT” bagi Perumusan Identitas
Permasalahan dalam tulisan ini adalah adanya orang Kristen yang me- ngalami pergulatan identitas. Mereka hidup dalam dua teks yang pada masa lalu, dan bahkan sampai kini, masih kerap saling dipertentangkan. Yang satu dianggap, bahkan secara sengaja dijadikan, predator bagi yang lainnya. Saat ini mereka tidak keluar dari kekristenan karena residu alasan pragmatis pascaperistiwa G30S/PKI tahun 1956 masih kuat. Dengan adanya keputusan MK-RI No. 97/PUU-XIV/2016 di atas, upaya untuk merumus- kan ulang identitas yang menggiring mereka keluar dari kekristenan bisa terjadi. Namun hal tersebut akan menjadi tidak beralasan bila HLT ini dipopulerkan dan dipraktikkan secara terus-menerus. Hal ini karena jemaat akan menemukan realitas irisan antara teks A dan teks B yang sangat lebar. Ketika menjadi Kristen, mereka tetap menjadi orang Asia dengan kekayaan kebudayaan-religius yang tetap melekat bahkan semakin diperkuat.
Teks A Teks B
Hermeneutika Lintas Tekstual
66Listijabudi, “Pembacaan Lintas Tekstual,” 208.
67Adiprasetya, “Towards an Asian Multitextual Theology,” 128.
68Lee, “Cross Textual Hermeneutics on Gospel and Culture,” 47.
69Lee, “Cross-textual hermeneutics and identity in multi-scriptural Asia,” 193
70Listijabudi, “Hermeneutika Lintas Tekstual atas Teks Mistik: Dewa Ruci (Teks Jawa) dan Yakub
di Yabok (Kej. 32),” 158, 159.
Berdasarkan gambar di atas, irisan kedua teks adalah bidang II, sementara bidang I adalah perbedaan yang belum bisa diperdamaikan. Penulis lebih suka menyebut bidang I bukan sebagai bidang yang tidak bisa diperdamaikan (irreconcilable differences) melainkan bidang yang belum bisa diperdamaikan. Karena sifat HTL adalah dialog yang bersifat bolak-balik maka harapan agar ditemukannya irisan (bidang II) yang semakin lebar di kemudian hari bukanlah sebuah utopia. Semakin lebar irisan (bidang II) yang dihasilkan, semakin sempit pula bidang yang berada di luar irisan itu (bidang I). Berdasarkan gambar di atas, tidak berlebihan bila HLT adalah sebuah aktivitas menggeser teks A ke kanan dan pada saat yang sama juga menggeser teks B ke kiri. Pada saat semakin lebarnya irisan dari kedua teks tersebut maka semakin kecil alasan bagi orang Kristen yang hidup dalam dua teks tersebut merumuskan ulang identitasnya untuk kemudian keluar dari kekristenan dan menjadi penghayat kepercayaan.
Kesimpulan
Seperti yang telah diuraikan di atas, HLT adalah upaya untuk memperle- bar irisan antara teks A dan teks B. Karena realitas beberapa jemaat dari beberapa gereja suku di Indonesia masih hidup dalam dua teks yang kerap saling menegasikan maka upaya memperlebar irisan kedua teks tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah model konstruksi misiologi gereja-gereja tersebut. Keputusan MK-RI No. 97/PUU-XIV/2016 yang berpotensi untuk mendorong perumusan ulang identitas yang menggiring mereka keluar dari kekristenan menjadi tidak beralasan, karena irisan antara teks A dan teks B semakin lebar. Karena itu pula kebijakan gereja semacam keputusan Konpen GBKP tahun 2016 No.14 poin ke-2 tersebut perlu dipertimbangkan untuk dikaji secara lebih komprehensif. Frase “tidak perlu dikaji ulang” yang tertuang dalam keputusan konpen tersebut justru perlu dikaji ulang. Gagasan yang sama, yang mungkin saja ada dalam gereja-gereja suku yang lain, juga perlu dikaji ulang. Gagasan ini tentu ini tidak bermaksud untuk menggantikan konstruksi misiologi yang selama ini telah ada. Namun harapan agar HLT ini dapat memperkaya konstruksi misiologi yang selama ini telah terbangun merupakan tujuannya.
https://www.kti.binsarhutabarat.com/2021/03/misiologi-gereja-suku-di-indonesia.html