Thursday, October 17, 2024
Binsar Antoni Hutabarat: Kebohongan Sekte Setan!
Binsar Antoni Hutabarat: Kebohongan Sekte Setan!: Kebohongan Satanic atau Sekte Setan! Informasi terkair beredarnya kitab satanic yang menjadi pedoman pengikut satanic, serta derita ya...
Tuesday, October 15, 2024
Binsar Antoni Hutabarat: Dahlan Iskan pindah agama?
Binsar Antoni Hutabarat: Dahlan Iskan pindah agama?: Jawaban Dahlan Iskan, Soal pindah agama Heboh terkait isu pindah agama Dahlan Iskan menjadi pokok bahasan KBN Nusantara. Tayangan Pida...
Monday, October 14, 2024
Binsar Antoni Hutabarat: Dahlan Iskan pindah agama?
Binsar Antoni Hutabarat: Dahlan Iskan pindah agama?: Jawaban Dahlan Iskan, Soal pindah agama Heboh terkait isu pindah agama Dahlan Iskan menjadi pokok bahasan KBN Nusantara. Tayangan Pida...
Sunday, October 13, 2024
Binsar Antoni Hutabarat: Moderasi beragama
Binsar Antoni Hutabarat: Moderasi beragama: Menjadi moderat: Menguatkan moderasi beragama di Indonesia Semakin seseorang mempelajari agamanya dengan sungguh-sungguh, dan sedia be...
Binsar Antoni Hutabarat: Mengerjakan yang terbaik
Binsar Antoni Hutabarat: Mengerjakan yang terbaik: Mengerjakan yang terbaik Petrus belajar banyak tentang kasih, betapa sabarnya Yesus terhadap Petrus yang berkali-kali menyangkal Yesus...
Thursday, October 3, 2024
Dialog Damai Agama: Indiferentisme vs Non-Indiferentisme
Dialog Damai Agama: Indiferentisme vs Non-Indiferentisme: Indiferentisme vs Non-Indiferentisme Hari ini saya akan menjawab tuduhan Patris Allegro yang diterbitkan pada t...
Tuesday, September 24, 2024
Deklarasi kampanye damai Pilkada 2024
http://dlvr.it/TDcGhxKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDcVs9
Kampanye damai 2024
Kampanye damai 2024
Deklarasi kampanye damai pemilihan kepala daerah
(Pilkada) 2024 tentu saja perlu mendapat dukungan semua elemen bangsa. Karena berlangsungnya pildakada damai menjadi
jaminan akan hadirnya perubahan kearah yang lebih baik. Pilkada tahun ini juga kita berharap tak terjadi politisasi agama yang sempat mewarnai pemilihan Gubernur Jakarta pada 5 tahun yang lampau.
Tujuan dari
pilkada, yaitu berlangsungnya perubahan secara damai untuk menghadirkan
kesejahteraan masyarakat, karena itu agama-agama perlu bekerjsama menghadirkan pilkada damai untuk kebaikan semua rakyat Indonesia,
Tidak salah jika calon kepala daerah mengusung Visi,
Misi keren, bahkan kadang-kadang di luar nalar. Kebijakan-kebijakan asal
menarik tanpa kajian mendalam kerap terlontar begitu saja.
Masyarakat yang selalu menantikan perubahan pada
setiap pilkada harus menelan rasa kecewa, karena janji-jnaji paslon hanya hadir
ketika kampanye, dan setelah usai kampanye, janji-janji itu seperti ditelan
bumi. Repotnya lagi, konflik yang berlangsung saat kampanye terus berlanjut meski kampanye telah usai.
Mereka yang terpilih menjadi kepala daerah lebih focus
mengembalikan dana kampanye yang telah digelontorkan dibanding memerhatikan
kesejahteraan rakyat. Tertangkapnya banyak kepala daerah yang tersangkut kasus
korupsi merupakan bukti yang tak terbantahkan.
Masyarakat Indonesia perlu memiliki kemampuan berpikir kritis,
politik sejatinya memang sesuatu yang mulia, yaitu untuk menghadirkan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Tapi, para calon kepala daerah yang umumnya
didukung partai politik tentu saja memiliki agenda untuk mendongkrak
popularitas partai. Artinya , bukan mustahil para calon itu akan menghalalakan segala cara untuk dapat memenangkan pilkada dengan mensiasati aturan yang ada.
Kemenangan pasangan calon penting bagi partai politik sebagai gerbong yang digunakan, yaitu agar partai politik itu bisa terus menjadi gerbong bagi
mereka yang ingin menjadi pejabat public, pada sisi lain, pasangan calon bisa mendapatkan
ganti biaya kampanye yang relative aduhai itu melalui kemenangan yang didapatkan.
Salah satu yang perlu disikapi masyarakat secara
kritis adalah propaganda kebijakan pasangan calon dengan Visi,Misi nya yang
kerap kelihatan ciamik. Masyarkat perlu sadar, kebijakan itu sesungguhnya tak
berbeda dengan barang dagangan.
Artinya, wajar saja jika pasangan calon mengemas
kebijakan sebagai barang dagangan itu dengan keren, dan tidak jarang melibatkan
para artis, seperti layaknya pameran mobil mewah. Itulah
sebabnya, acara kampanye kerap dipenuhi pengunjung, entah mereka datang dengan
sukarela, atau memang disengaja untuk meramaikan acaa kampanye yang menjadi
salah satu alat ukur popularitas pasangan calon.
Deklarasi kampanye damai penting untuk menghadirkan pemilihan kepala daerah yang berbiaya mahal itu agar berbanding lurus dengan kesejahteraan yang akan dihadirkan oleh mereka yang menjadi pemenang.
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/kampanye-damai-2024.html
/>
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDc0yq
Monday, September 23, 2024
#criticalthinking #moderasiberagama
http://dlvr.it/TDYsftKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDYzSN
Sekolah keagamaan perlu menggunakan critical thinking.
http://dlvr.it/TDYhx7Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDYmZl
Kemampuan berpikir kritis
Kemampuan berpikir kritis
Kemampuan berpikir kritis perlu diajarkan pada sekolah-sekolah keagamaan agar dialog antaragama tidak saling memaksakan, sebaliknya dialog agama akan memperkaya agama-agama yang berbeda, tanpa melepaskan identitas agama yang berbeda-beda.
Kemampuan berpikir kritis itu sendiri sesungguhnya sudah menjadi mata kuliah yang jamak diajarkan pada perguruan tinggi, bahkan siswa kelas menengah juga sudah belajar berpikir Tingkat tinggi, yaitu terkait kemampuan analisis, evaluasi dan pengembangan penerapan-penerapan teori.
Kemampuan berpikir kritis penting karena saat ini data tersebar luas, sumber bacaan melimpah, dan dapat diakses dengan mudah oleh setiap orang. Itulah sebabnya kemampuan berpikir kritis, salah satunya kemampuanmenganalisis data diperlukan agar Masyarakat tidak menjadi korban HOAX.
Kemajuan literasi Indonesia juga memaksa semua individu, apalagi mereka yang berada pada sekolah keagamaan untuk mampu berpikir kritis. Literasi di Indonesia saat ini tidak hanya focus pada kemampuan baca tulis, tetapi juga telah meningkat pada kemampuan makna tersirat dan tersurat, pemahaman teori, dan pengembangan teori.
Apabila sekolah-sekolah keagamaan tidak memiliki kemampuan berpikir kritis maka dialog agama akan dipenuhi dengan debat yang kerap menjurus pada konflik untuk memaksakan kebenaran klaim agama, padahal klaim agama hanya benar sebatas data-data atau argumentasi yang mendukung klaim agama itu.
Usaha merumuskan doktrin agama tentu saja memiliki prosedur tertentu, dan itu perlu dikuasai, bahkan perlu pengembangan. Indoktrinasi agama tidak perlu dihadirkan pada kelas-kelas kuliah keagamaan, apalagi kita semua paham dalam pembelajaran orang dewasa, pengetahuan bukan ditransfer, tapi dikonstruksi oleh individu yang terlibat dalam proses pembelajaran. Itulah sebabnya jawaban Tunggal atas pertanyaan-pertanyaan doktrin agam apapun sudah tidak pada tempatnya.
Menurut saya debat antara fundamentalisme atau konservativisme dengan liberalisme dalam konteks agama tidak lagi lagi perlu saling menegasikan yang lain, tetapi menjadi tempat untuk saling belajar dan memperdalam pengetahuan agama-agama serta aliran-aliran atau denominasi agama yang berbeda.
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/kemampuan-berpikir-kritis_0895962014.html
/> Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDYchl
Kemampuan berpikir kritis perlu diajarkan pada sekolah-sekolah keagamaan agar dialog antaragama tidak saling memaksakan, sebaliknya dialog agama akan memperkaya agama-agama yang berbeda, tanpa melepaskan identitas agama yang berbeda-beda.
Kemampuan berpikir kritis itu sendiri sesungguhnya sudah menjadi mata kuliah yang jamak diajarkan pada perguruan tinggi, bahkan siswa kelas menengah juga sudah belajar berpikir Tingkat tinggi, yaitu terkait kemampuan analisis, evaluasi dan pengembangan penerapan-penerapan teori.
Kemampuan berpikir kritis penting karena saat ini data tersebar luas, sumber bacaan melimpah, dan dapat diakses dengan mudah oleh setiap orang. Itulah sebabnya kemampuan berpikir kritis, salah satunya kemampuanmenganalisis data diperlukan agar Masyarakat tidak menjadi korban HOAX.
Kemajuan literasi Indonesia juga memaksa semua individu, apalagi mereka yang berada pada sekolah keagamaan untuk mampu berpikir kritis. Literasi di Indonesia saat ini tidak hanya focus pada kemampuan baca tulis, tetapi juga telah meningkat pada kemampuan makna tersirat dan tersurat, pemahaman teori, dan pengembangan teori.
Apabila sekolah-sekolah keagamaan tidak memiliki kemampuan berpikir kritis maka dialog agama akan dipenuhi dengan debat yang kerap menjurus pada konflik untuk memaksakan kebenaran klaim agama, padahal klaim agama hanya benar sebatas data-data atau argumentasi yang mendukung klaim agama itu.
Usaha merumuskan doktrin agama tentu saja memiliki prosedur tertentu, dan itu perlu dikuasai, bahkan perlu pengembangan. Indoktrinasi agama tidak perlu dihadirkan pada kelas-kelas kuliah keagamaan, apalagi kita semua paham dalam pembelajaran orang dewasa, pengetahuan bukan ditransfer, tapi dikonstruksi oleh individu yang terlibat dalam proses pembelajaran. Itulah sebabnya jawaban Tunggal atas pertanyaan-pertanyaan doktrin agam apapun sudah tidak pada tempatnya.
Menurut saya debat antara fundamentalisme atau konservativisme dengan liberalisme dalam konteks agama tidak lagi lagi perlu saling menegasikan yang lain, tetapi menjadi tempat untuk saling belajar dan memperdalam pengetahuan agama-agama serta aliran-aliran atau denominasi agama yang berbeda.
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/kemampuan-berpikir-kritis_0895962014.html
/> Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDYchl
Sunday, September 22, 2024
Menjadi pelaku firman Tuhan
http://dlvr.it/TDX8vmKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDXDlC
Agama agama perlu berjuang bersama menghadirkan perdamaian
http://dlvr.it/TDX1pHKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDX5L9
Saturday, September 21, 2024
Agama untuk keadilan, kebaikan untuk semua
http://dlvr.it/TDVxYtKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDVzGQ
Mencari Tuhan, Satu Tuhan banyak agama.
http://dlvr.it/TDVkZVKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDVm27
Ketidakberdosaan bunda Maria
Ketidakberdosaan bunda Maria
Salah satu perdebatan antara Katolik dan Protestan adalah soal ketidakberdosaan Maria. Umat Katolik percaya bahwa sebagai ibu Tuhan, Maria tidak berdosa, dan Maria tidak memiliki anak kecuali Yesus yang dikandung dari Roh Kudus.
Menurut saya pengagungan umat Katolik terhadap Maria wajar saya. Sebagai ibu Tuhan, tentu saja Maria adalah orang pilihan Tuhan yang dikarunia Tuhan keagungan. Jika kita bersedia mendengarkan mengapa umat katolik berdoa kepada Maria ibu Yesus sebagai tradisi yang diwarisi umat Katolik terlihat bahwa posisi Maria sebagai Ibu Tuhan sangat sentral.
Menariknya serangan mereka yang menolak ketidakberdosaan Maria justru tidak menggunakan data-data Alkitab, seperti misalnya yang terkandung dalam pernyataan berikut, Jika Maria tidak berdosa, maka berarti bukan hanya Yesus yang tidak berdosa, dan berarti Maria juga tidak memerlukan penebusan dosa.
Mereka yang menyerang ketidakberdosaan Maria, dan kuatir bahwa pwngakuan ketidakberdosaan Maria akan membuat orang kehilangan iman, yaitu iman terhadap Yesus mati untuk semua orang, termasuk Maria. Lucunya lagi, kemudian mereka langsung berdiri sebagai hakim, menerima ketidakberdosaan Maria berarti mengakui ada kesalahan dalam Alkitab.
Debat ketidakberdosaan Maria menurut saya tidak perlu dilanjutkan, karena usaha mengumpulkan bukti-bukti ketidakberdosaan Maria itu mustahil. Demikian juga karena Maria adalah ciptaan Allah, dan janji penebusan manusia berdosa terjadi pada saat kejatuhan Adam dan Hawa, maka dalam perspektif Tuhan taka da persoalan dengan ketidakberdosaan Maria, karena pengampunan dosa itu sudah dinyatakan sebelum kelahiran Maria.
Jika kita memahami bahwa ketidakberdosaan Maria adalah iman umat Katolik, dan itu tidak memerlukan bukti apapun, apalagi saksi-saksinya tidak mungkin lagi dijumpai, maka untuk apa memperdebatkan iman umat Katolik?
Umat Protestan sebaiknya lebih mengambil sikap mendengarkan pengakuan iman Katolik, demikian juga umat Katolik dapat memahami mengapa umat protestan tidak mempercayai ketidakberdosaan Bunda maria.
Dialog agama antara umat katolik dan Protestan, tak perlu saling memaksakan klaim yang berbeda, aplagi klaim itu sendiri taka ada yang absolut. Dan jika dihubungkan dengan iman, klaim ketidakberdosaan Bunda Maria bisa dikatakan sebagai identitas umat Katolik, dan yang berbeda itu perlu menghargai.
Kita semua adalah manusia yang terbatas, Biarlah Allah yang menghakimi, apalagi meneriakkan yang berbeda itu sesat. Mewartakan nilai-nilai eksklusive perlu dilandaskan semangat persaudaraan sebagai sesama manusia.
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/ketidakberdosaan-bunda-maria.html
/> Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDVQVH
Friday, September 20, 2024
Mencari Tuhan?
Mencari
Tuhan
Manusia yang mencari
Tuhan akan menemukan Tuhan, tapi pada sisi lain manusia yang mencari Tuhan itu sedang meninggalkan Tuhan. Bukankah Adam dan Hawa menyembunyikan diri dari Tuhan yang mencari manusia berdosa. Ini tentulah sebuah paradoks menurutku.
Bagaimana mungkin manusia yang menyembunyikan diri dari
Tuhan itu berkeinginan mencari Tuhan? Sebuah paradoks yang tak mudah memahaminya.
Sejak kecil
aku dibimbing orang tua untuk mencari Tuhan, atau setidaknya belajar mengenal
Tuhan, itu sebabnya aku di bawa orang tua ke gereja.
Tapi herannya, Ayah tak
rajin ke gereja, beliau pergi ke gereja pada hari-hari tertentu, biasanya pada
acara Natal dan Tahun Baru. Tapi aku belajar banyak terkait idealisme dan
dedikasi pada pekerjaan yang tak banyak kujumpai dari mereka yang rajin beribadah sekalipun.
Pada tahun 1986 saat itu aku berada pada semester
akhir perkuliahan, aku sedang gundah gulana, karena tak tahu apa
yang menjadi capaian masa depan. Pada saat genting itu hadirlah beberapa teman SMA
yang sangat bergairah bersaksi bahwa mereka telah menemukan Tuhan yang sejati.
Beberapa
teman yang bersaksi itu tak memiliki pengetahuan agama yang luar biasa, tapi
mereka mengatakan telah menemukan Tuhan yang sejati, dan menerimanya dalam hati
mereka.
Lagi-lagi sebuah paradoks, Allah hadir dimana-mana, karena dia maha
hadir, menurutku wajar saja jika Allah itu hadir pada hidup temanku itu, tapi sebelumnya
dia mungkin tak menyadari kehadiran Yang Maha Hadir.
Ketika pertama kali mendengar istilah menemukan Tuhan itu aku
juga bingung, apalagi ketika mereka menyaksikan pengalaman-pengalaman baru yang
membahagiakan hidup mereka.
Karena
ingin menghargai teman-teman yang baik dan rajin mendoakan agar aku menemukan
Tuhan seperti mereka, dalam arti mengalami perubahan hidup, aku ikut saja apa
yang mereka katakan, jadilah aku layaknya murud mereka.
Kesaksian mereka aku telan bulat-bulat dalam arti aku
percaya mereka jujur, tapi aku bingung karena itu kan pengalaman pribadi, Sering aku berpikir, apa
perlu dipaksakan pada yang lain, atau tepatnya, apa perlu semua orang mengalami hal
yang sama dengan teman ku itu?
Beberapa
bulan kemudian, aku pun mengalami pengalaman seperti mereka, aku merasa ada
perubahan hidup yang dapat ku lihat secara nyata, dari orang yang biasa
minum-minuman keras, merokok dan beberapa kebiasaan buruk, aku bisa terbebas.
Aku menemukan Tuhan!
Perjalanan
menemukan Tuhan ternyata tidak pernah final, aku terus menyusuri jejak Tuhan,
dan jejak Tuhan itu kerap kulihat hilang dari mereka yang menyaksikan menemukan
Tuhan.
Aku mulai berpikir, mengapa jejak-jejak Tuhan itu tidak semakin jelas,
bahkan pada kebanyakan mereka yang bersaksi menemukan Tuhan jejak Tuhan tidak lagi terlihat.
Dengan
belajar teologi aku mulai mencari jawab, bukan manusia yang mencari Tuhan,
tetapi Tuhan yang mencari manusia. Tapi bukankah Tuhan tidak pernah meninggalkan
ciptaanNya?
Bukankah Tuhan menyatakan diri secara umum kepada semua manusia,
dan juga secara khusus kepada siapapun yang Tuhan ingin jumpai?
Siapa yang menjamin Tuhan hanya
akan menjumpai orang-orang tertentu, atau orang-orang dalam agama tertentu?
Perjumpaan
Tuhan secara khusus itu kerap diklaim sebagai perjumpaan yang nyata, obyektif,
dan berarti absolut. Padahal, jika manusia tidak tahu segala sesuatu, maka manusia
tidak bisa mengklaim pernyataannya adalah benar, tanpa salah. Klaim kita hanya
benar sebatas argument atau data serta fakta yang mendasari argument itu.
Aku mencari
Tuhan, semua agama mencari Tuhan, tapi bagaimana yang transenden bisa dijumpai
manusia? Bagaimana manusia yang terbatas bisa mengklaim perjumpaan dan
pengalamannya dengan Tuhan adalah pengalaman yang sempurna?
Bukankah kita masih
berada dalam perjalanan mencari Tuhan, dan secara bersamaan mendapatkan
pengetahuan tentang Tuhan melalui anugerah penyingkapan diri Tuhan?
Jangan menghakimi!
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/mencari-tuhan.html
/>
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDTHJX
Agama untuk perdamaian, nilai inklusif agama-agama.
http://dlvr.it/TDStdCKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDSwsW
Kerajaan tak tergoncangkan
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut. (Ibrani 12:28)
Sejak kejatuhan manusia kedalam dosa, dunia kerap bergoncang.
Goncangan air bah, peristiwa Menara Babel, hingga pembuangan umat Allah yang mengakibatkan umat Allah hidup dalam diaspora, menjadi bukti, bahwa goncangan akan terus ada dalam dunia, bahkan makin hebat.
Pada saat kedatangan Yesus kedunia, hingga kematian Yesus disalib, Kerajaan Allah yang dibawa Yesus telah menggoncangan kerajaan-kerajaan dunia. Kerajaan Iblis dan pengikut-pengikutnya tergoncang karena kehadiran kerajaan Allah.
Kehadiran kerajaan Allah telah menggoncangkan Iblis dan pengikutnya. Meski, kerajaan yang bergoncang itu kerap berusaha menggoncangkan kerajaan Allah yang tak tergoncangkan.
Namun, kerajaan Allah tetap tak tergoncangkan, sebaliknya kerajaan-kerajaan dunialah yang tergoncang dengan kehadiran kerajaan Allah. Pada akhir zaman Allah akan menggoncangkan dan melenyapkan semua kerajaan yang bergoncang itu.
Kemuliaan Kerajaan yang Tak Tergoncangkan
Ibrani 12: 18-24 menjelaskan tentang kemuliaan Kerajaan Allah yang tak tergoncangkan. Kehadiran 10 Hukum Allah telah menggoncangkan umat Israel yang dipimpin Musa.
Tuhan Allah yang memberikan hukum-hukum Allah untuk diterapkan dalam kehidupan umat Israel telah menggocangkan bangsa yang tegar tengkuk itu. Bangsa yang kerap melawan Allah meski kasih Allah setia menaungi mereka.
Gambaran ketidaktaatan umat Allah dalam Perjanjian Lama dilukiskan dengan kehadiran Yosua dan Kaleb ke tanah Kanaan. Kecuali Yosua dan Kaleb tidak ada umat Allah yang keluar dari Mesir yang masuk ke tanah Kanaan.
Kitab Ibrani melukiskan dengan jelas keutamaan Kristus. Kristus yang mati disalib untuk menebus dosa manusia telah hadir ditengah-tengah dunia. Imanuel, Allah beserta kita.
Apabila umat Allah dalam Perjanjian Lama begitu gemetar dan takut saat Tuhan memberikan sepuluh hukum. Kejadian berbeda terjadi pada waktu kehadiran Yesus, firman yang hidup itu, hadir dalam kehidupan umat manusia berdosa justru untuk mendamaikan manusia dengan Allah yang suci
Kristus yang mati menebus dosa manusia itu adalah Imam Allah yang maha agung, Yesus adalah jalan keselamatan. Melalui pengorbanan Yesus disalib mereka yang percaya, dan menerima percikan darah Yesus akan diselamatkan.
Firman Allah itu diam dalam hati orang percaya oleh karya Roh Kudus, dan firman Itu diam dalam pikiran kita oleh karya Roh Kudus. Karya keselamatan Allah di kayu salib diterapkan melalui kehadiran Roh Kudus dalam hidup orang percaya.
Orang percaya dapat menghadap Allah tanpa takut dan gentar, seperti orang-orang dalam perjanjian lama. Karena itu kitab Ibrani mengingatkan orang percaya untuk bersyukur atas kasih karunia Allah yang dinyatakan melalui pengorbanan Yesus di salib.
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah cara kita menerapkan kasih karunia Allah yang dilimpahkan kepada kita?
1. Bersyukur menjadi bagian dari Kerajaan yang tak tergoncangkan.
Menerima Kristus sebagai Tuhan dan juruselamat pribadi berarti menerima kerajaan yang tak tergoncangkan. Secara bersamaan juga menghantarkan orang percaya untuk dapat menghampiri hadirat Allah tanpa takut dan gentar.
Apabila pada masa Perjanjian Lama umat Allah gemetar menerima sepuluh hukum Allah, dan imam-imam hanya dapat memasuki ruang maha kudus dengan pengorbanan darah binatang.
Berbeda dengan masa Perjanjian Baru, tirai yang memisahkan ruang kudus dan ruang maha kudus itu telah terkoyak. Karena itu, mereka yang percaya kepada pengorbanan kristus di salib dapat menghampiri hadirat Allah tanpa pengorbanan darah binatang.
Menerima kerajaan yang tak tergoncangkan berarti menerima pengampunan dosa dan terus menerus hidup dalam pengudusan untuk tiap-tiap hari berubah menjadi seperti Kristus.
Orang percaya pada masa kini patut bersyukur atas anugerah Tuhan yang besar. Kasih karunia Allah diberikan kepada orang percaya secara cuma-cuma. Karena itu pada masa sulit seperti saat ini, kita mesti tetap bersyukur kepada Allah yang berdaulat yang telah menganugerahkan keselamatan bagi orang percaya.
2. Bersyukur atas goncangan yang kita alami dengan memaknai goncangan sebagai didikan Tuhan untuk kebaikan orang percaya.
Kitab Ibrani menasihati umat Allah untuk tetap bertekun dalam melayani Tuhan dan tetap hidup memuliakan Tuhan ketika menghadapi penderitaan. Contoh-contoh pahlawan iman mengingatkan mereka bahwa Allah tetap setia.
Pahlawan-pahlawan iman menyaksikan, bahwa meskipun mereka tidak mendapatkan apa yang harus mereka terima di dunia ini, mereka tetap percaya, bahwa mereka akan menerima jauh lebih banyak pada kehidupan di surga kekal.
Mereka yang percaya kepada Yesus akan masuk ke Yerusalem baru, hidup selama-lamanya bersama dengan Yesus sang kepala gereja. Karena itu umat Allah perlu mengarahkan pandangan mereka pada kehidupan kekal yang dijanjikan kepada orang percaya.
Apabila umat Allah mengikuti teladan Yesus dan memandang pada janji Allah akan hidup yang kekal, maka penderitaan apapun yang dialami orang percaya tidak akan mengalihkannya pada harapan yang diberikan oleh Yesus, yakni hidup bersama-sama dengan Yesus dalam kehidupan kekal.
Orang percaya perlu waspada terhadap bahaya kemurtadan, yakni mengalihkan pandangannya bukan kepada Yesus, tetapi kepada yang lain. Baik itu ajaran-ajaran yang tidak benar, atau kehidupan dalam dosa.
Esau adalah sebuah pelajaran penting bagi orang percaya agar menghargai kasih karunia Allah yang diberikan melalui pengorbanan Kristus di salib. Mereka yang menyangkali Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, dan beralih kepada kepercayaan lain, serta hidup dengan tidak menjaga kekudusan, akan mengalami kemurtadan, dan bisa jadi tak akan menerima kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus.
Kitab Ibrani juga menasihati umat Allah, bahwa penderitaan yang mereka alami dalam Tuhan, harus dianggap sebagai didikan, agar mereka menjadi dewasa dalam Tuhan.
Orang percaya yang menerima didikan Tuhan akan memahami betapa pentingnya hidup dalam kekudusan, hidup dalam kerajaan yang tak tergoncangkan.
Orang percaya akan digoncangkan dengan berbagai goncangan, namun ketika mereka bertahan dalam tantangan dan penderitaan, mereka akan menyadari bahwa mereka telah menerima kerajaan yang tak tergoncangkan.
Karena itu, apapun yang menggoncangkan orang percaya, apabila mereka tetap tekun mengiring Tuhan, mereka tidak akan tergoncangkan, bahkan mereka akan makin kuat berpegang pada kerajaan yang tak tergoncangkan.
3. Dedikasi warga kerajaan yang tak tergoncangkan.
Kerajaan-kerajaan dunia akan terus bergoncang, dan suatu saat Allah, Raja kerajaan yang tak tergoncangkan itu akan menggoncangkan semua kerajaan-kerajaan itu.
Yang ada hanyalah kerajaan yang tak tergocangkan. Karena itu sebagai warga kerajaan yang tergoncangkan kita harus hidup dalam ketaatan kepada Allah.
Mereka yang menjadi warga kerajaan tak tergoncangkan itu wajib:
1. Bertumbuh dalam Firman Tuhan
2. Hidup dalam ketaatan terhadap firman Tuhan.
3. Mengasihi Allah dan sesama.
4. Tetaplah beribadah kepada Allah dengan benar.
5. Bekerja dengan dedikasi tinggi.
6. Bersaksi tentang kehadiran Injil, kabar sukacita keselamatan Allah dalam Yesus Kristus.
7. Menjalankan Misi Allah, panggilan Allah untuk kita masing-masing.
Badai corona memang belum sepenuhnya berlalu, tapi kedaulatan Tuhan tidak beranjak sedikitpun dari bumi ini.
Jadilah bagian dari kerajaan yang tak tergoncangkan, agar kita tak tergocangkan oleh goncangan apapun juga.
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Dr. Binsar Antoni Hutabarat
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDScvH
Wednesday, September 18, 2024
Dunia dicipta oleh Tuhan Yang Maha Esa
http://dlvr.it/TDMvNNKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDN5Sm
#satutuhan, #banyakagama #plural #pluralisme
http://dlvr.it/TDMgd4Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDMpjg
Pluralisme agama
Memahami pluralisme agama secara baru
Pluralisme
agama menurut saya lebih baik dipahami sebagai pengakuan bahwa agama-agama itu
pada realitasnya berbeda, tetapi sama-sama mengakui adanya Tuhan yang satu,
untuk Indonesia istilah Pluralisme agama itu dinyatakan dalam pernyataan sila
pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Agama-agama
yang berbeda itu berjalan bersama di atas dasar niai-nilai agama yang eksklusif
dan inklusif, dan terus memperkaya diri dalam perjumpaan-perjumpaan yang saling
memperkaya diri dengan berpegang pada nilai-nilai inklusif agama, dan secara
bersamaan menguatkan nilai-nilai eksklusif agama yang berbeda itu.
Perjumpaan agama-agama yang jujur menurut saya adalah
keterbukaan akan adanya nilai-nilai eksklusif agama, dan secara bersamaan juga
dapat bergaul dengan jujur dengan agama-agama yang berbeda karena semua
agama-agama itu pada realitasnya memang memiliki nilai-nilai inklusif.
Nilai-nilai eksklusif agama perlu diakui dengan jujur,
karena itu adalah perjumpaan khusus individu atau komunitas agama tertentu
dengan Tuhan. Namun perlu diakui bahwa nilai-nilai itu absolut untuk diri individu
atau komunitas agama itu , dan tidak perlu dipaksakan kepada yang lain.
Nilai-nilai agama itu absolut relative, absolut karena
merupakan pengalaman nyata perjumpaan individu ata komunitas agama itu, tapi
tak dapat digeneralisasi apalagi dipaksakan untuk semua. Pengalaman subyektif
hanya benar untuk mereka yang mengalaminya, namun agama yang berbeda tidak
perlu menjadi hakim mana agama yang benar dan mana yang salah.
Biarlah Yang Maha Kuasa itu yang akan menghakimi mana
agama yang benar, bukan manusia yang terbatas. Cerita Natan yang bijaksana
mungkin perlu diangkat kembali untuk memperkaya perjumpaan agama-agama pada
saat ini.
Menurut saya pemahaman terkait pluralism agama menjadi
penting untuk menghadirkan perjumpaan agama-agama dalam menghadirkan
nilai-nilai bersama yang menjadi pijakan bersama agama-agama yang berbeda itu
untuk bergaul dengan saling menghargai sebagai sesama ciptaan Tuhan.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/pluralisme-agama.htmlKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDMcH2
Tuesday, September 17, 2024
dialog antar agama memperkaya agama agama
http://dlvr.it/TDKw6YKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDL8H1
Menghargai keragaman agama tanpa menghakimi
http://dlvr.it/TDKcPvKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDKpVg
Kemampuan berpikir kritis
Kemampuan
berpikir kritis dalam mata kuliah critical thinking perlu diberikan bobot
khusus pada sekolah-sekolah keagamaan. Kemampuan berpikir kritis itu penting
dalam menempatkan Absolutisme relatif agama-agama dalam diskusi dan perjumpaan
agama-agama.
Salah satu
persoalan yang kerap menimbulkan perdebatan bahkan tidak jarag menimbulkan
konflik adalah klaim agama-agama bahwa agama tertentu adalah absolut dan
berasal dari Tuhan yang benar. Padahal, apapun klaim tentang absolutisme agama
adalah klaim yang didasarkan dengan fakta atau data yang terbatas.
Klaim
dikatakan benar, sebatas apabila klaim itu didukung atas data-data atau
argumentasi memadai yang mendukung klaim itu. Itulah sebabnya kritik terhadap agama-agama
yang berbeda sejatinya hanya boleh menunjuk pada persoalan koherensi antara
klaim agama dan data-data pendukung yang terbatas. Pada kondisi ini peru
kemampuan berpikir kritis untuk menganalisis klaim agama-agama itu.
Jika diskusi
ataupun perdebatan agama berada pada tataran implementasi berpikir kritis,
maka agama-agama bisa saling belajar, dan mendapatkan data-data yang lebih baik
untuk mendukung klaimnya.
Itulah sebabnya
tidak jarang kita mendengar bahwa dialog antar agama bukan hanya akan membuat
kita makin mengenal agama-agama lain, tetapi juga pemeluk masing-masing agama agama memiliki pemahaman yang mendalam tentang agamanya melalui perjumpaan dengan yang berbeda agama.
Kemampuan
berpikir kritis juga akan menolong mahasiswa tidak menerima begitu saja apa
yang disampaikan dosen ataupun tokoh-tokoh agama. Apalagi pada sekolah-sekolah
keagamaan yang didirikan oleh lembaga agama tertentu dan bertujuan untuk
melindungi doktrin agama, atau untuk menjalankan misi agama.
Apabila
mahasiswa sekolah keagamaan mampu berpikir kritis, maka doktrin-doktrin agama
rumusan masa lampau yang eksklusif itu tidak akan dipaksakan, apalagi menuduh
yang berbeda itu sesat. Bukankah mereka bisa saling belajar untuk mengembangkan
doktrin agama yang lebih baik?
Pengembangan
doktrin agama pada perguruan tinggi keagamaan itu akan membuat komunitas agama
atau lembaga-lembaga keagamaan itu bisa menyelesaikan konflik masa lampau, dan
menghadirkan kehidupan antaragama yang lebih baik.
Penelitian-penelitian
pada perguruuan tinggi keagaman yang memiiki kemampuan kritis tentu akan sarat
dengan hasil-hasil penelitian untuk membangun hidup antaragama yang lebih
baik.
Tidak salah mengklaim memiliki
pengalaman nyata keagamaan. Namun, karena itu pengalaman subyektif individu, jangan memaksakan pengalaman itu perlu berlaku pada semua agama, ini sama saja menihilkan
kemampuan berpikir kritis.
Dr. Binsar A.
Hutabarat
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/kemampuan-berpikir-kritis.html
/>
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDKJxS
Monday, September 16, 2024
Ayat-ayat eksklusif agama, bagaimana menyaksikan nya.
http://dlvr.it/TDH7D7Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDHJk0
Terima kasih Pak Menteri Nadiem Mskarim untuk Merdeka belajar kampus merdeka.
http://dlvr.it/TDGNZrKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDGbyC
Sunday, September 15, 2024
Merdeka belajar kampus merdeka, terima kasih Pak Menteri Nadiem Makarim
http://dlvr.it/TDG86SKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDGMrz
Yesus mati salib, bangkit, naik ke surga
http://dlvr.it/TDFP6PKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDFPXB
Saturday, September 14, 2024
Kenapa ada keragaman interpretasi terhadap Tuhan yang Esa?
http://dlvr.it/TDDpkBKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDDqrS
Ideologi pendididikan, mana yang kita pilih?
http://dlvr.it/TDDYYnKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDDZqL
Satu Tuhan banyak agama
http://dlvr.it/TDDKYwKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDDLfq
Bagaimana cara menghindari saling memaksakan, #motivation
http://dlvr.it/TDD6BxKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDDGX9
Friday, September 13, 2024
Konstruksi ilmu pengetahuan
http://dlvr.it/TDBXt8Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TDBwQJ
#belajarfirman
http://dlvr.it/TD9VF5Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TD9gMt
Pendidikan memajukan kehidupan manusia
http://dlvr.it/TD8h02Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TD91w3
Thursday, September 12, 2024
Wonderful Indonesia
http://dlvr.it/TD7d44Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TD7wmX
Wednesday, September 11, 2024
Guru, dan pendidikan bermutu.
http://dlvr.it/TD5JDfKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TD5cDt
Tuesday, September 10, 2024
Perdamaian maha karya keadilan
KLIK DISINI!
Perdamaian
adalah mahakarya keadilan
Perdamaian
adalah mahakarya keadilan merupakan pernyataan yang agung dari mereka yang
menjadi penegak keadilan, dan sekaligus pejuang perdamaian.
Perdamaian
sebagai mahakarya keadilan secara sederhana dapat dipahami dengan usaha-usaha
menghadirkan kebijakan unggul untuk menghadirkan kehidupan yang damai. Sebuah
kebijakan unggul adalah kebijakan yang berlandaskan keadilan, dan ketika
kebijakan itu dilaksanakan, maka yang hadir adalah keadilan yang memberikan
kebaikan bagi semua. Secara bersamaan itu akan menghadirka perdamaian.
Pernyataan
Paus Fransiskus yang tersohor, Perdamaian adalah mahakarya keadilan” bukanlah
slogan kosong, tetapi itulah yang dihidupi dan diperjuangkan. Sebuah keyakinan
yang bukan hanya dinyatakan dalam komunikasi verbal, tapi juga dihidupi, dan
hasilnya dirasakan banyak orang. Tidak heran jika kehadiran Paus Fransiskus
begitu memesona. Keadilan adalah inti kasih, mereja yang menegakkan keadilan,
tanpa perlu menjadi hakim, akan memancarkan sinar kasih.
Cita-cita kemerdekaan
bangsa Indonesia untuk menghadirkan masyarakat adil dan makmur tepat sekali,
bumi Indonesia yang kaya dengan sumber alamnya hanya bisa memberi kemakmuran
bagi semua jika pemerintah mengelolanya dengan adil. Demikian juga mereka yang mendapatkan
hak pengelolaan sumber daya alam dari pemerintah, patut menyelenggarkan
usaha-usaha yang berlendaskan keadilan.
Apabila
setiap individu dan komunitas di negeri ini bekerja bersama untuk mencapai
kehidupan masyarakat adil dan makmur dengan dinakhodai pemerintah yang adil,
maka masyarakat adil dan makmur bukan utopia. Sebagaimana alam bisa memberikan
kehidupab pada segala mahkluk, sejatinya alam juga dapat dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran bersama umat manusia.
Dalam
perjuangan keadilan kita akan menemukan kebaikan bersama, dan jika kita hidup
adil dan memberikan kebaikan bersama, maka yang hadir adalah perdamaian antar sesame,
itu semua merupakan mahakarya keadilan.
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/perdamaian-maha-karya-keadilan.html
/>
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TD2cWm
Perdamaian
adalah mahakarya keadilan
Perdamaian
adalah mahakarya keadilan merupakan pernyataan yang agung dari mereka yang
menjadi penegak keadilan, dan sekaligus pejuang perdamaian.
Perdamaian
sebagai mahakarya keadilan secara sederhana dapat dipahami dengan usaha-usaha
menghadirkan kebijakan unggul untuk menghadirkan kehidupan yang damai. Sebuah
kebijakan unggul adalah kebijakan yang berlandaskan keadilan, dan ketika
kebijakan itu dilaksanakan, maka yang hadir adalah keadilan yang memberikan
kebaikan bagi semua. Secara bersamaan itu akan menghadirka perdamaian.
Pernyataan
Paus Fransiskus yang tersohor, Perdamaian adalah mahakarya keadilan” bukanlah
slogan kosong, tetapi itulah yang dihidupi dan diperjuangkan. Sebuah keyakinan
yang bukan hanya dinyatakan dalam komunikasi verbal, tapi juga dihidupi, dan
hasilnya dirasakan banyak orang. Tidak heran jika kehadiran Paus Fransiskus
begitu memesona. Keadilan adalah inti kasih, mereja yang menegakkan keadilan,
tanpa perlu menjadi hakim, akan memancarkan sinar kasih.
Cita-cita kemerdekaan
bangsa Indonesia untuk menghadirkan masyarakat adil dan makmur tepat sekali,
bumi Indonesia yang kaya dengan sumber alamnya hanya bisa memberi kemakmuran
bagi semua jika pemerintah mengelolanya dengan adil. Demikian juga mereka yang mendapatkan
hak pengelolaan sumber daya alam dari pemerintah, patut menyelenggarkan
usaha-usaha yang berlendaskan keadilan.
Apabila
setiap individu dan komunitas di negeri ini bekerja bersama untuk mencapai
kehidupan masyarakat adil dan makmur dengan dinakhodai pemerintah yang adil,
maka masyarakat adil dan makmur bukan utopia. Sebagaimana alam bisa memberikan
kehidupab pada segala mahkluk, sejatinya alam juga dapat dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran bersama umat manusia.
Dalam
perjuangan keadilan kita akan menemukan kebaikan bersama, dan jika kita hidup
adil dan memberikan kebaikan bersama, maka yang hadir adalah perdamaian antar sesame,
itu semua merupakan mahakarya keadilan.
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/perdamaian-maha-karya-keadilan.html
/>
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TD2cWm
Monday, September 9, 2024
Manusia berjarak dengan kebenaran
http://dlvr.it/TD0KG6Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TD0KKL
Hidup mengecap kebaikan Tuhan
http://dlvr.it/TD091LKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TD095m
Sang Pencipta Dunia
http://dlvr.it/TCzXz8Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TCznwb
Saturday, September 7, 2024
Dialog antar iman
http://dlvr.it/TCx0chKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TCx1m5
Thursday, September 5, 2024
Dialog antar iman
http://dlvr.it/TCr7pVKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TCr982
Bijaksana Deklarasi Fiducia Suplicans
http://dlvr.it/TCqxjcKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TCqyts
Selamat datang Paus Fransiskus, Damai Tuhan bersama kita
http://dlvr.it/TCqxd3Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TCqyjc
Wednesday, September 4, 2024
Iman dan perdamaian
http://dlvr.it/TCnXgTKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TCnb9z
Selamat Datang di Indonesia Paus Fransiskus di Indonesia
http://dlvr.it/TCnLMMKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TCnNbF
Tuesday, September 3, 2024
Kartel politik
http://dlvr.it/TCkdjGKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TCkh69
Monday, September 2, 2024
Moderasi beragama
DETERMINAN MODERASI BERAGAMA DI
INDONESIA
BAB I.
PENDAHULUAN.
A.
Latar Belakang Masalah.
Hadirnya Peraturan Presiden Republik Indonesi Nomor 58
Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama merupakan terobosan penting
untuk menghadirkan kehidupan antarumat beragama yang damai di Indonesia. Pada
peraturan tersebut dijelaskan terkait factor-faktor penting yang berpengaruh
langsung terhadap penguatan moderasi beragama. Penelitian ini bertujuan untuk
menguji factor-faktor yang mempengaruhi penguatan moderasi beragama di
Indonesia.
Pada
tahun 2019 istilah moderasi beragama mulai mencuat seiring dengan hadirnya buku-buku yang membahas terkait perlunya
menghadirkan moderasi beragama di Indonesia., secara khusus yang dimotori oleh kementerian agama. Pemerintah tentu tidak salah mengumandangkan pentingnya moderasi beragama di Indonesia untuk menghadirkan kehidupan antar umat beragama di
Indonesia.
Namun,
elemen penting dalam menguatkan moderasi beragama itu adalah rakyat Indonesia itu sendiri.
Penguatan moderasi beragama yang menjadi misi
pemerintah tertuang secara jelas dalam Peraturan Presiden Republik Indonesi
Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Hadirnya Peraturan
Presiden tentang moderasi beragama itu telah dikumandangkan oleh Menteri Agama
terkait pencabutan Peraturan Bersama Menteri Tentang Pendirian Rumah Ibadah.
Memang Peraturan Presiden tentang moderasi beragama itu tidak secara eksplisit
mencabut Peraturan Bersama Menteri yang telah menjadi instrument penutupan
rumah ibadah. Tapi, terbitnya peraturan itu menjadi landasan kebijakan bagi
penyesuaian semua peraturan menteri yang tidak mengacu pada peraturan Presiden
tentang moderasi beragama.
Penguatan moderasi beragama di Indonesia menjadi
penting untuk usaha deradikalisasi agama. Menguatnya radikalisme agama di
Indonesia yang hadir dalam konflik-konflik yang membawa-bawa nama agama telah
menggerus nama Indonesia yang tersohor dengan toleransinya.
Menguatnya radikalisme agama itu
kemudian meledakkan aksi-aksi terorisme yang meresahkan masyarakat di Indonesia
serta mengancam persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia. Tindakan bom bunuh
diri yang menghancurkan tubuh terorisme, juga orang-orang yang menjadi sasaran
bom bunuh diri membuat masyarakat Indonesia tidak tenanng. Peristiwa Bom Natal,
Bom Bali, Bom Mariot membuat masyarakat tidak bisa tenang menikmati liburan
pada tempat-tempat rekreasi, bahkan di mall-mall yang kerap jadi sasaran bunuh
diri. Apalagi kantor polisi juga telah menjadi sasaran bom bunuh diri itu.
Radikalisme
agama dalam pengertian politik adalah sebuah gerakan yang menginginkan
perubahan dengan cepat atau radikal dengan meruntuhkan pemerintahan yang ada,
dan kemudian menghadirkan negara yang didasarkan pada agama tertentu. Jadi
radikalisme agama sangat berbahaya karena ingin menguasai negara dengan
cara-cara tidak demokrasi untuk menguasai pemerintahan.
Agama
sepatutnya membuat pemeluknya ramah terhadap sesamanya, itulah sebabnya
kerukunan merupakan semangat agama. Umat beragama yang taat tentu ingin
menaburkan benih kasih kepada sesamanya. Pengenalan akan sang pencipta yang penuh kasih, adil,
memberikan hujan dan panas kepada semua orang tanpa kecuali mengajarkan bahwa
mengasihi sesama adalah sebuah kerahurasan.
Moderasi
beragama yaitu sebuah sikap moderat, toleran, dapat menerima perbedaan, bahkan
menjadikan perbedaan kesempatan untuk saling memperkaya pemahaman agama
masing-masing sejatinya perlu muncul dari masyarakat. Menguatkan moderasi
beragama merupakan tugas setiap umat beragama, bukan hanya pemerintah, meski
pemerintah punya kepentingan, yaitu untuk menguatkan persatuan dan kesatuan
umat beragama di indonesia. Karena dengan persatuan dan kesatuan umat beragama
itu, Indonesia bisa terus maju, hadir sebagai negara maju yang diperhitungkan
dunia.
Dengan
demikian jelaslah, usaha pemerintah untuk menguatkan moderasi beragama tidak
ada yang salah. Moderasi beragama menekan radikalisma agama yang meledakkan
terorisme. Tapi, peran masyarakat menjadi kunci keberhasilan dalam menguatkan
moderasi beragama yang dikumandangkan pemerintah itu. Penguatan moderasi beragama secara bersamaan perlu
memperhatikan factor-faktor yang mempengaruhi penguatan moderasi beragama.
Variabel determinan moderasi beragama yang akan diteliti antara lain, Variabel
Pemerintah, Tokoh agama, Tokoh Masyarakat dan Partai politik.
B.
Identifikasi Masalah.
1. Pemerintah berperan penting dalam penguatan
moderasi beragama namun realitasnya terdapat kebijakan pemerintah yang tidak
mendukung penguatan moderasi beragama, seperti hadirnya kebijakan-kebijakan
yang deskriminatif.
2. Tokoh Agama sejatinya perlu berperan penting dalam
menguatkan moderasi beragama di Indonesia, namun pada realitasnya masih
terdapat tokoh agama yang menentang moderasi beragama dengan hadirnya
gerakan-gerakan agama yang radikal.
3. Tokoh Politik sejatinya perlu berperan penting
dalam menguatkan moderasi beragama di Indonesia, namun pada realitasnya masih
ditemukan tokoh politik yang melakukan politisasi agama yang dekriminatif dan
antitoleransi.
4. Pendidikan merupakan factor penting yang dapat
menguatkan moderasi beragama di Indonesia, tapi hadirnya buku-buku yang berisi
ajaran-ajaran yang intoleran telah melemahkan moderasi beragama di Indonesia.
5. Radikalisme
agama merupakan sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila yang mengusung
toleransi beragama, tapi realitasnya radikalisme agama masih menjadi persoalan
bagi Indonesia, menguatnya radikalisme agama telah menimbulkan kecurigaan antarumat
beragama di Indonesia.
C.
Pembatasan Masalah.
Dari berbagai factor yang mempengaruhi penguatan
moderasi beragama di Indonesia, penulis membatasi hanya pada faktor Pemerintah,
Tokoh Agama, dan Tokoh politik. Faktor-faktor itu menurut analisis penulis
menjadi faktor penting yang mempengaruhi penguatan moderasi beragama di
Indonesia. Pemerintah ditetapkan sebagai Variabel X1, Tokoh Agama sebagai
Variabel X2, dan Tokoh Politik sebagai variable X3. Variabel Y, sebagai
Variabel dependent adalah Moderasi Beragama.
D.Rumusan
Masalah.
1.
Apakah X1 berpengaruh terhadap Y?
2.
Apakah X2 berpengaruh tehadap Y?
3.
Apakah X3 berpengaruh terhadap Y?
4. Apakah
X1, X2, X3 secara berama-sama mempunyai pengaruh atau berpengaruh terhadap Y?
E.
Kegunaan Penelitian.
Kegunaan
Teoritis.
Penelitian in berguna untuk pengembangan teori terkait
penguatan moderasi beragama di Indonesia, dan hasil peneltian ini dapat menjadi
sumber bagi uji teori dan pengembangan teori.
Kegunaan
Parktis.
Hasil penelitian ini berguna bagi pemerintah dan
lembaga-lembaga yang terlibat pada penguatan moderasi beragama di Indonesia
dalam pengembangan strategi praktis penguatan beragama.
BAB II
KAJIAN
TEORETIK
A. Deskripsi
Konseptual
Pada bagian ini dipaparkan mengenai deskripsi
konseptual moderasi beragama sebagai variable Y, juga Variabel X1 (Pemerintah),
X2 (Tokoh Agama), X3 ( Tokoh Politik).
1. Variabel Y, Moderasi beragama.
Pertanyaan penelitiannya adalah, factor-faktor apakah
yang paling dominan yang mempengaruhi penguatan moderasi beragama di Indonesia.
Responden dalam penelitian ini secara khusus berasal dari mahasiswa perguruan
tinggi keagamaan Kristen beserta dosen-dosen perguruan tinggi keagamaan
Kristen.
B. Penelitian yang relevan.
Penelitian terkait moderasi beragama sudah banyak
dikerjakan oleh para peneliti. Publikasi hasil-hasil penelitian dalam buku-buku
yang berjudul moderasi beragama merupakan bukti bahwa tema moderasi beragama
menjadi hal penting bagi Indonesia. Kebaruan dari penelitian ini adalah
dikaitkannya peraturan Presiden tentang moderasi beragama yang kemudian di
prediksi akan berpengaruh terhadap hadirnya undang-undang moderasi beragama di
Indonesia.
Kerangka Teoretik.
1. Variabel X1 dan Y
2. Variabel X2 dan Y
3. Variabel X3 dan Y
4. Varian3l X1, X2,X3 secara bersama-sama dengan Y
Hipotesis
Penelitian
1. X1 berpengaruh positif/negative terhadap Y
2.X2
berpengaruh positif/negative terhadap Y
3. X3 berpengaruh positif /negative terhadap Y
4. X1,X2,X3, berpengaruh positif /negative secara
bersama-sama terhadap Y
BAB
III Metodologi Penelitian.
A.
Tujuan Penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Pengaruh X1 terhadap Y
2. Pengaruh X2 terhadap Y
3. Pengaruh X3 terhadap Y
4. Pengaruh X1,X2,X3 secara bersamasama terhadap Y
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian
kuantitatif, penelitian eksperimen. Penulis memberikan perlakuan terhadap
pilihan responden dalam instrument survey, demikian juga dalam wawancara
terstruktur.
B.
Tempat dan Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Jakarta, Jawa Barat dan
Banten. Waktu penelitian sejak penulisan hingga selesainya penulisan
direncanakan selama satu tahun.
C.
Metode Penelitian.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif,
penelitian eksperimen.
BAB
IV. TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A.
Deskripsi Data.
Peneliti memaparkan hasil deskripsi data Y,X1,X2,X3.
B.
Pengujian Hipotesis
Bagian ini berisi hasil penghitungan uji statistika
terkait hasil pengujian hipotesis statistika.
C.
Pembahasan Hasil penelitian.
Hipotesis yang teruji akan dibahas berdasarkan teori
serta hasil-hasil penelitian yang relevan dengan tujuan memaparkan apakah hasil
penelitian mendukung atau menolak teori.
BAB V.
KESIMPULAN
Pada bagian ini disimpulkan tesis atau hipotesis
penelitian yang teruji atau di dukung data empiris dari hasil pengumpulan data
langsung.
Daftar
Pustaka
Abidin, Said Zainal.(2016) Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba
Humanika.
Abidin, Zainal Bagir dan M.I. Jimmy Sormin. (2022)
Politik Moderasi Beragama dan Kebebasan Beragama Suatu Tinjauan Kritis,
Jakarta, Kompas Gramedia.
Arikunto, Suharsimi. (2013) Prosedur Penelitian.
Jakarta: Rineka Cipta.
Creswell, John W. (2012), Educational Research,
Boston: Pearson.
Ditjen Bimas Kristen Kemenag RI. (2019), Mozaik
Moderasi Beragama Dalam Perspektif Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia.
Dunn, William N. (2013) Introduction to Public Policy
Analysis. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Haryani, Elma.(2020), Pendidikan Moderasi Beragama
Untuk Generasi Millenia: Studi kasus “Lone Wolf” pada Anak di Medan, Edukasi,
Jurnal Penelitian dan Pendidikan Agama dan Keagamaan 18(2); 145-158.
https://doi/org/10/32729/edukasi/v18i2.710.
/>
Hutabarat, Binsar Antoni. “Evaluasi
terhadap Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah” Societas Dei: Jurnal Agama Dan Masyarakat,
(Vol/3/1/2017).
Hutabarat, B.A, HH Panjaitan, “Tingkat
Toleransi Antaragama di Masyarakat Indonesia,” Societas Dei: Jurnal Agama dan Masyarakat,
(Vol 4/1/2016).
Hutabarat, Binsar Antoni. “Perda
Manokwari Kota Injil: Makna dan Konsekuensi bagi Gereja-gereja di Indonesia,” Societas Dei: Jurnal Agama dan
Masyarakat, (Vol 2/1/2015).
Hutabarat, Binsar Antoni, “Pendapat
Pimpinan-Pimpinan Gereja Di Bekasi Tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah dalam
Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006,” Societas Dei: Jurnal Agama dan
Masyarakat, (Vol. 2/2/2015).
Hutabarat, Binsar Antoni, “Masa
Depan Pluralisme Agama di Indonesia dengan Kebijakan Penodaan Agama,” Jurnal Stulos, 2020.
Hutabarat, Binsar Antoni, “Kebijakan Deskriminatif dan
kekerasan Agama,” Jurnal Voice of Wesley: Jurnal Ilmiah Musik dan Agama,
2018.
Hutabarat, Binsar Antoni (2006) Tinjauan Kebebasan
Beragama di Indonesia Tahun 1945-1998(Institut Reformed: Tesis).
Frank Fisher, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney. (2015)
Handbook of Public Policy Analysis. Imam translator Baihaqie, Bandung: The Nusa
Media.
Hutabarat, Binsar Antoni dan Mariana M (2005), Tragedi
di Bulan Desember, Jakarta:STTG Press, 2005.
Joas Adiprasetya.(2018), An Imaginative Glimpse,
Trinitas dan Agama-agama, Jakarta, BPK Gunung Mulia.
Parsons, Wayne. (2006). Public Policy. Jakarta:
Kencana.
Sugiyono (2012). Metode Penelitian Pendidikan.
Bandung: Alfa Beta.
Subhi Azhari Halili.(2020) Indeks Kota Toleran,
Jakarta, Pustaka Masyarakat Setara.
Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006Tentang
pembangunan Rumah Ibadah.
Peraturan Presiden Republik Indonesi Nomor 58 Tahun
2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama
Permalink
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/moderasi-beragama.html
/>
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TCjTRh
Critiquing research articles
CRITIQUING
RESEARCH ARTICLES
(Use these questions for all
article critiques, Number and answer item-by-item;
not in prose form. You do not need to rewrite the questions.)
Answer the following questions yes or no and
explain your answer !
I
What type of research most accurately
describes this study?
Penelitian jenis apa yang paling akurat menggambarkan studi
ini?
II.
THE PROBLEM
NO
QUESTIONS:
TERTERA (Ya/Tidak)
PENJELASAN SEHARUSNYA
1
Was
the problem clearly
defined?
Apakah masalah didefinisikan dengan
jelas?
2
Were
hypotheses, research
questions, or objectives stated?
Apakah hipotesis, pertanyaan
penelitian, atau pernyataan obyektif?
3
Was the problem logically deduced from some theory?
Apakah masalah secara logis dideduksi
dari beberapa teori?
4
What is (are) the independent variable(s)?
Apa variabel independennya (s)?
5
What is (are) the dependent variable(s)?
Apa variabel dependennya?
III. DESIGN
NO
QUESTIONS:
TERTERA
SEHARUSNYA
1
Was
an appropriate research design utilized to answer the problem? Apakah desain riset yang tepat digunakan untuk menjawab masalah?
2
Was the population studied clearly specified? Apakah populasi ditentukan dengan jelas?
3
Were the sampling methods clearly outlined? Apakah metode sampling yang diuraikan
dengan jelas?
4
Was a control or comparison group chosen in the same
manner and from the
same population as the sample? Apakah
kontrol atau kelompok pembanding dipilih dalam cara yang sama dan dari
populasi yang sama sebagai sampel?
5
Were
the :reatments randomly assigned to the groups? Adakah treatments secara acak kepada kelompok-kelompok?
6
Did
the study include a replication? Apakah
studi termasuk replikasi?
7
Was
the alpha level specified a priori? Apakah tingkat alfa ditentukan a priori?
IV. THE PROCEDURE
NO
QUESTIONS:
TERTERA
SEHARUSNYA
1
Were treatments and/or data
collecting methods described so that you could replicate the study? Apakah treatmen dan / atau metode
pengumpulan data dijelaskan sehingga Anda bisa meniru studi?
2
Were the size and
characteristics of the sample adequately described? Apakah ukuran dan karakteristik
sampel cukup dijelaskan?
3
Were the treatments administered so that extraneous
sources of error were either held constant for all treatments and control groups
or randomized among
subjects within all groups? Apakah diberikan
treatmen ekstra sehingga sumber kesalahan
entah tetap konstan untuk semua perlakuan dan kelompok kontrol atau secara
acak di antara mata pelajaran di semua kelompok?
V. THE MEASUREMENT
NO
QUESTIONS:
TERTERA
SEHARUSNYA
1
Was
any evidence of the reliability of
the measurements given? Apakah ada bukti keandalan dari pengukuran yang diberikan?
2
Was any evidence of the validity of the measurements given? Apakah ada
bukti validitas dari pengukuran yang diberikan?
VI.
THE INTERPRETATION
NO
QUESTIONS:
TERTERA
SEHARUSNYA
1
Were the conclusions consistent with
the obtained results? Apakah kesimpulan yang konsisten
dengan hasil yang diperoleh?
2
Were the generalizations confined to
the population from which the sample was drawn? Apakah
generalisasi terbatas pada populasi dari mana sampel tersebut diambil?
VII.
GENERAL
NO
QUESTIONS:
TERTERA
SEHARUSNYA
1
Was this a significant study?
Why? (Your opinion, not graded). Apakah ini sebuah penelitian penting?
Mengapa? (Pendapat Anda, tidak bergradasi).
Adapted
from:
William W. Farquahr, and John D. Krumboltz, "A
Check List Evaluating Experimental Research in Psychology and Education," Journal
of Educational Research.
III (May, 1959) 353-354.
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/critiquing-research-articles.html
/>
Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TCjTCy
Soal Kurikulum Pendidikan
http://dlvr.it/TCh8zJKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TChF3r
Mengelola pendidikan tinggi dengan kesadaran akreditasi
http://dlvr.it/TCg3fDKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TCg88z
Sunday, September 1, 2024
National Qualifications Framework
EVALUATION OF INDONESIAN NATIONAL POLICY FRAMEWORK ON HIGHER EDUCATION
Binsar Antoni Hutabarat
antonihutabarat@gmail.com
Abstract: The article entitled " EVALUATION OF INDONESIAN NATIONAL POLICY FRAMEWORK ON HIGHER EDUCATION" focuses on how the application of Indonesian National Qualifications Framework has been implemented in college. So far there has been no evaluation of policy implementation research related to this research. This study was conducted at three universities in Jakarta and Tangerang. Data were collected through interviews, observation given questionnaire and documents, as well as a variety of sources. The results of this study indicate that the implementation of policies Indonesian National Qualifications Framework influenced by policy formulation components, characteristics Implementing, Managing Attitudes, Activities components, that have a linear relationship to the results of policy implementation. Policy objectives to improve the quality of Indonesian workers by improving the quality of college graduates has not been in line with expectations.
Keywords, Public policy, policy evaluation, Indonesian national qualifications framework.
INTRODUCTION
Indonesia is currently facing global competition in the field of higher education in line with the passing of globalization in all areas of life. Higher education in Indonesia entered a new decade after the Indonesian government ratified several treaties and global commitments. In the context of ASEAN, beginning on December 31, 2015 is the era of the beginning of the Era of the ASEAN Economic Community (AEC), from 1 January 2016, not only goods can move freely between all 10 ASEAN member countries, but also of labor, among others, nurses, architects , doctors and accountants (Sailah, 2014)
Conditions of global competition in the area of special education by the Ministry of Education responded by launching a study as outlined in the booklet on Indonesian National Qualifications Framework (KKNI) which contains about the implications and implementation strategy KKNI (2010/2011), to answer the challenges of education in the global era , which was then poured in Presidential Decree (Presidential Decree) No. 8 of the National Qualifications Framework Indonesia (KKNI) in 2012. The application of the policy implementation guideline KKNI showcased in the Regulation of the Minister of Education and Culture, number 73 in 2013.
The research focus is on how the application of KKNI been implemented in college, and whether implementation in accordance with the objectives and targets set. For more operational focus is lowered in some problem questions: 1. Are the structure and policy formulation is an alternative KKNI proper policy for universities in Indonesia in facing today's global challenges. 2. Is the application of KKNI policy can be implemented by universities in Indonesia are very diverse? 3. Is government intervention in higher education through the implementation of policies KKNI successfully improve the quality of higher education in Indonesia?
The term "public policy" as used in this study is a decision made by the government as a strategy to realize the goal of a country (Tilaar and Nugroho, 2009). According to Thomas R. Dye, the Center for public policy attention not only on what government does but including also whatever is not done by the government (Dye, 1978, Wahab, 2008).
Model of public policy has a lot of models, depending on the power system (Dunn, 2003). In general, models of public policy that can be divided into two typologies of models, namely process model (based on the stage of policy making), and the model of power (power), which is making policy decisions shaped and determined by the structure of power (Parsons, 2006).
The Model implementation of public policy. divided three models, namely the rational model of top-down (top down), the rational model of bottom-up (bottom-up) and the model theories synthesis (hybrid theories) (Parson, 2006). Top-down models emphasize mainly on the ability of decision makers to produce a firm policy purpose and the control of the implementation phase. bottom-up models are models who view the process as a negotiation and consensus formation (Frank, et al., 2015).
Study of policy evaluation is based on the understanding that the policy evaluation can be done at any stage of the policy Policy evaluation can be divided into the evaluation of policy formulation, evaluation of policy implementation, and evaluation of environmental policies, and to further evaluate the results or the impact of the implementation of a policy (Nugroho, 2006).
National qualifications framework is not only in Indonesia but also in many countries of the world. Qualification learning outcomes (learning outcomes) nationally and internationally this is what distinguishes the qualifications that ever existed (Chakroun, 2010). National qualifications framework is intended to provide guidelines to qualify educational levels are different and compared both nationally and internationally in a way that is possible. Thus, the national qualifications framework is an essential instrument for college (opaque, 2000). In general, the qualification framework can be defined as a systematic description of the qualifications of a system of education (Heron Gavin & Pam Green Lister, 2014). Following this approach, it is possible to claim that every country has a national qualifications framework (Spûdytë, et al., 2006).
Indonesian National Qualifications Framework (KKNI) stipulated in Presidential Regulation which refers to Government Regulation No. 31 of 2006 and has the same purpose as a framework. Government Regulation No. 31 of 2006 Section 1 explains, "National Qualifications Framework Indonesia hereinafter abbreviated KKNI, is the framework competence and qualifications to pair, equalizes and integrate the field of education and the field of vocational training and work experience in order to award the recognition of the competence of work in accordance with the structure of employment in the various sectors.
To evaluate the factors affecting the performance of policy implementation KKNI this study using CIPP Evaluation Model (Context Input Process Product) (Stutfflebeam, 2014). Stufflebeam is a very influential to promote the concept of this evaluation. Among these four components, the element of "context" focuses on the question, What is the purpose of the program? Is that program objectives reflect the needs of the participants, in this case, the college targeted implementation policies KKNI (Frank Fisher et al., 2015).
Research requires policy evaluation criteria, or definition of a state to be achieved regarding something that was planned. The smaller the gap (gap) between the results of the implementation of the evaluation criteria, it can be an indicator of the success of a policy. The evaluation criteria in this article refer to the Minister of Education and Culture No. 73 The year 2013 concerning the implementation of education KKNI High.
RESEARCH METHODS
The method used in this study is a qualitative research method. The qualitative methods used by the reason for the problems of research needs to be dug to gain a deeper understanding (Cresswell, 2012). Furthermore, Creswell explained: This exploration is needed, in turn, because of a need to study a group of the population, identify variables that can then be measured, or hear voices silenced. "(Creswell, 2007: 39-40).
Qualitative data can be in the form of a document or record of interview, observation records, the results of the questionnaire, the results of photos, videos, email and the results of the meeting with the respondent (Patricia J. Rogers, Delwyn Goodrick, Qualitative Data Analysis, in the Joseph S. Wholey, et.al ., 429).
Qualitative data allows readers gain an understanding that goes beyond numbers and statistical inference (Wholey, et al, 429). Qualitative data collection techniques are done by using natural conditions, the primary data source, and observation, interview, and documentation (M Djunaidi Ghony and Fauzan Almanshur, 2012). Data collection techniques used in this evaluation study were interviews (interview) to know things deeper than respondents (Sugiyono, 2012). The technique used is not structured interviews to obtain in-depth information (Sugiyono, 2012).
Qualitative data analysis techniques typically follow the steps of collecting the data collected into the categories of information compiled (John W. Cresswell and Vicki L. Plano Clark, 2007). Qualitative data collection techniques using triangulation techniques means that data collection is done continuously until getting data saturation (Sugiyono, 2012).
Furthermore, techniques for qualitative data analysis was conducted by compiling data collected through interviews, field notes, and other materials are systematically so that the findings can be material information. Data analysis was performed with data in the form of organizing that information, translate it into units to synthesize, then arrange in a pattern, choosing important to be learned, and then made a conclusion (Sugiyono, 2012).
RESULT AND DISCUSSION
Structural Evaluation and Policy Formulation KKNI
Presidential Decree No. 8 of 2012 on KKNI is set to implement Government Regulation No. 32 of 2006 on System Job Training National, then the model of policy formulation KKNI in the regulation of the President can be grouped into incremental model, the model of policy formulation see public policy is essential to a continuation of the activities that have been undertaken by the government in the past. So the incremental model only policy resulted in the formulation of policy such changes are necessary (Wahab, 2008). This incremental policy weakness evident from the reasons underlying the use of this model, such as policymakers do not have the time, intellect and adequate costs for research on values that are the foundation for policy formulation (Authority, 1994).
Based on the results of the study found that there are variations in the understanding of the policy lecturer KKNI. There are professors who revealed that the policy content KKNI it is still something foreign policy determination KKNI although it has lasted a long time, ie since 2012. This shows the socialization of KKNI have not managed to unify understanding of the implementers of the structure, contents, foundation and benefits of policy implementation KKNI.
Evaluation of Environmental Policy Implementation
College as an implementer of policy application KKNI have different characteristics, because of the different colleges are implementing policies KKNI application in different ways dependent on the input provided.
external environment policy in Indonesian universities associated with the global era explained that universities in Indonesia are facing challenges that are not easy to survive in global competition. The era of openness it for quality higher education can use it to establish cooperation with universities abroad to improve the quality of higher education. However, the condition of the global competition as well as being a threat to the quality of higher education is low, and in general, the quality of education in Indonesia is still low seen from the level of accreditation institute mostly college-accredited C and has not been accredited.
Viewing Events college education is facing the threat of the global era, the policy should KKNI can be an alternative education policy to address the threat of global era. However, the findings of the data states have not yet all agree that higher education KKNI policy implementation in accordance with the goals and objectives of higher education.
KKNI Implementation Evaluation in Higher Education
Results KKNI policy implementation in higher education does not meet the expectations set. KKNI, the maximal application of this policy just as the Parsons, a policy judged in terms of its policy-makers rather than in terms of the implementation of the local and national policy makers (Parsons, 2006). KKNI policy implementation is underlying the formulation and implementation of policies, such as what is said Parsons, citing the works of Rousseau's Emile, everything is good if it is directed into the hands of the creator. Everything bad in the human hand (Parson, 2006). That is, the application of KKNI rely on government control, as appropriate, top-down models. Where implementation of a policy started with the decision made the central government. Top-down models show that this study is based on a "black box model" policy process that is inspired by the analysis system (Parsons, 200).
Without implementation, the policies just a dream or plan stored in the archive (Institute of Public Administration, 2008). Based on the above conditions in accordance with the findings of the data, at the time of application KKNI has not been accompanied by sanctions, not all colleges have committed to implementing KKNI, at least it looks from the unavailability of the products expected from the results of applying policy KKNI, let alone policy objectives KKNI itself is not considered the goal of higher education.
Performance KKNI implementation of the application based on the findings of research influenced the important factors that affect the application of KKNI in college that are not available with sufficient and consistent. Still, the professors who do not understand the policy KKNI and their variations KKNI understanding of the policy proves that the lack of understanding of KKNI policies, objectives, and benefits KKNI policy implementation, the reality according to data findings affect the commitment of lecturers and universities to implement KKNI. Factors government communications and colleges that are not yet well enough.
Evaluation of Policy Implementation KKNI
KKNI assess the implementation of policy implementation, in this case, means assessing the results of policy implementation KKNI. Based on data from interviews and questionnaires it appears that the level of achievement of the objectives and implementation of policy objectives in the college KKNI not been in line with expectations. KKNI implementation of policies based on data from a recent interview in accordance with the expectations of KKNI policy goals and objectives, namely to improve the quality of university outcomes and outputs universities closer to the world of work. Based on data from interviews found that improved product quality college curriculum has not been as expected, this happens because of the competence of lecturers not support the implementation of the policy on the application KKNI. Likewise, the attitude of the implementing influenced by the competence of lecturers and other resources, consequently, the resulting output is not as expected. Findings curriculum refers to data on products KKNI not all professors agree that the application KKNI meets expectations as a benchmark qualification to equalize college graduates with the world of work. Factors that are needed to be able to make formal and informal education equivalency was not provided with sufficient. So the resulting product does not comply with the expected input.
See cooperation among the implementing agencies that have not been in line with expectations, and not all courses have a similar association study program, by itself can not result in line with expectations. Report data on the understanding lecturers and universities to goals and objectives of the policy to improve the quality of human resources through graduate college where not all colleges meet the criteria of competence in accordance with the result, objectives, and goals of policy application KKNI not been in line with expectations.
KKNI Policy Is Elite Products
KKNI policy formulation following the mixed model, ie, between the elite model, model of the rational and public model. Model more dominant elite than two other models. Thus it can be said that this policy "is an elite product, and can be said to reflect the values of the elite to strengthen the interests of the elite (Winarno, 2007).
Based on the process of its formulation, it can be seen that the KKNI policy is the result of interaction between state institutions, like the type of policy Continental. Unlike the Anglo-Saxon policy that understands public policy as a derivative of democratic politics, and sees public policy as an interaction between the people of the state or public (Nugroho, 2009). Thus it can be understood that the model of policy formulation KKNI elitist, incremental this, not in accordance with the constitution of this country that sets Indonesia as a democracy. It should be a model formulation of education a democratic country like Indonesia adopted a model of democratic public policy. KKNI elitist policy formulation is less attention that a policy is regarded by the government, may not be good for colleges and universities. The success of the actual policy is closely linked with the right policy strategy, which could accommodate various views and interests are diverse (Abidin, 2016).
Rationally, it is difficult to understand how the government could find it out, that the best solution to make universities more quality there is in the bureaucracy, but the actor's high education indeed more understanding about how to make universities can produce outputs universities qualified to improve the quality Indonesian human resources. That is why the Government Regulation No. 4 of 2014 on the Implementation of Higher Education and Management of Higher Education article 22 paragraph 1 stipulate that universities have the autonomy to manage their own institution as a central for Tridharma College.
Autonomous management of universities includes academic autonomy, namely in terms of setting norms and operational policies and the implementation of the three responsibilities of Higher Education. Education, Research, and Community Services. Based on Government Regulation regarding the autonomy of universities is clear, that the Presidential Decree on KKNI policy contrary to the autonomy of universities.
KKNI application policy has caused controversy. One of the reasons of those who opposed the policy on the application KKNI that aims to integrate outcomes of higher education and the world of work are the concerns as it says Tilaar, higher education will lose its moral strength because its function is mainly to meet the needs of labor and industrial development solely (Tilaar, 2005). Controversy about it looks at the use of the term "competence". On the job training system used the term, job competence, and competence of the word is also used for the competence of graduates. That, job competence, in contrast to "the ability of graduates", the ability of graduates is not appropriate to use the competence of graduates, as part of the competency is the ability of graduates. Use of the term "graduate's ability" to replace "the competence of graduates" for higher education outcomes seems as a clarification of the meaning of work competency controversy. The term "graduate competence" gave birth to the view that the vision, the mission of educational institutions in the reduction only to be suppliers of labor. Higher education is used as an arena development of attitudes competing for the demand of the industry. Motif competition into the motor to improve the quality with little consideration for moral considerations. That is why there is no correlation between the output of higher education with moral improvement in society. The greater the output of higher education, but the greater corruption and nepotism (Tilaar, 2005).
KKNI policy formulation should be easily understood by higher education if its formulation involves universities (public choice model), and before the formulation was determined, to the formulation of policies KKNI socialization has been done on each college with adequate time allocation. The government should allow universities provide revisions to this policy can be implemented KKNI in college, because the issue of the management of higher education, who understand are the actors who are in college. It is due to the autonomy of universities have also been set out in the government's policy on the management of higher education. Therefore in terms of application KKNI college more appropriate way is the top model of the bottom (bottom-up), the government's role is to facilitate the needs of higher education in terms of the application KKNI. The top-down approach means that the government provides wider opportunities for universities apply KKNI (Frank, et al., 2015).
Contents President regulation No. 8 of 2012 on KKNI, just load things are a little different with the provisions KKNI in Government Regulation No. 31 The year 2006 concerning the National Employment System. The main difference is simply, if the rules of national employment system KKNI set as the qualification for graduates of vocational training, then in Presidential Decree KKNI include competence and qualifications of graduates for all types of education, either vocational training (non-formal education), formal education and informal education.
To align with Government Regulation No. 4 of 2014 on the Implementation of Higher Education and Management of Higher Education is specifically related to university autonomy, the application KKNI in college rather in the form of the guidelines, in which the application is given a wider opportunity at college.
CONCLUSION
Policy formulation KKNI incremental and elitist yet successfully socialized at all college lecturers and managers. Not to all the lecturers understand well the contents, foundation, benefits, goals, and objectives KKNI policy.
KKNI implementation of policies in universities to improve the quality of human resources through college graduates have not been in line with expectations due to due to unavailability of human resources, and access to information. Another influence is the lack of cooperation institution for KKNI implementation, as well as cooperation between other agencies that have an influence on improving the quality of higher education. This is partly because KKNI policy contrary to the autonomy of universities.
Conditions universities in Indonesia are diverse, and the unavailability of the factors affecting the resources needed executor attitude which ultimately affects the results of applying KKNI in college. Plus, KKNI policy has not been attentive to the needs of universities in Indonesia who are facing the threat of global competition in the field of higher education.
The application of KKNI in universities is mainly influenced by factors such as KKNI policy formulation that is not well understood by all universities, and it is proven by the variation of understanding about KKNI. Other factors are related to human resources, funds and access to information. Characteristics of higher education in Indonesia are generally still low, measured by accreditation levels of institutions that are generally accredited C and have not been accredited affect the commitment of implementers to implement the policy of KKNI in universities.
The performance of the university's KKNI policy is also influenced by the cooperation between implementing agencies that have not met expectations. It can be supported by the data that the elitist KKNI policy in its formulation is less involving university, it is seen from the failure of socialization of KKNI where not all lecturers understand well the content of KKNI policy.
RECOMMENDATION
The policy of KKNI in universities is recommended to continue with the improvement. The socialization of KKNi policy needs to be improved to gain a common understanding of the structure and formulation of KKNI's policies. References KKNI as a qualification college graduate should remain open to the development of science, and equalization between the world of work and the world of education and submitted to universities with autonomy.Implementation KKNI in college recommended proceeding with the repair, based on the autonomy of universities. Therefore the application of KKNI on high education should still appreciate the Vision, Mission college is not only a supplier of labor. Reference KKNI as qualified college graduates should remain open to the development of science, and equality between the world of work and the world of education submitted to the college to its autonomy, to then provide the important factors that affect the performance of the application KKNI in college. Determination KKNI application deadline need not enforced, and the government should put as a facilitator by providing access to information is consistent both at the college and the college graduates.
BIBLIOGRAPHY
Abidin, Said Zainal. (2016), Public Policy. Jakarta: Salemba Humanika.
Chakroun, Borhene. (2010), National Qualification Frameworks: from policy to policy learning borrowing. European Journal of Education, 45 (2).
Creswell, John W., Vicki L. Plano Calrk. (207), London: Sage Publications.
Creswell, John W. (2012), Educational Research, Boston: Pearson.
Creswell, John W. (2007), qualitative Inquiry and Research Design, London: Sage Publications.
Dunn, William N. (2013) Introduction to Public Policy Analysis. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Dye, Thomas R. Understanding Public Policy. (1978). Florida: Euglewood Cliffs.
Frank Fisher, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney. (2015) Handbook of Public Policy Analysis. Imam translator Baihaqie, Bandung: The Nusa Media.
Ghony, M Djunaidi and Fauzan Almanshur. Qualitative Research Methodology. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Heron, Gavin, and Pam Green Lister. (2014), Influence of National Qualifications Frameworks in conceptualising Feedback to Students, Social Work Education, 33 (4).
Institute of Public Administration. (2008), Public Policy Analysis. Jakarta.
Marliyah, Lili. (2015), National Qualifications Framework Policy Analysis Indonesia (KKNI). Pawayitan Scientific Magazine, 22 (1).
Opaque C. Van Der Wend. (2000) The Bologna Declaration: Transparency and Enhancing the Competitiveness of European Higher Education, Higher Education in Europe, XXV (3).
Nugroho, Riant. (2006), Public Policy. Jakarta: PT Gramedia.
Nugroho, Riant. (2009), Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Parsons, Wayne. (2006). Public Policy. Jakarta: Kencana.
Sailah, Illah.dkk, (2014). Handbook of Higher Education Curriculum. Jakarta: Ministry of Education and Culture.
Spûdytë, Irma. Saulius Vengris, Mindaugas Misiûnas. (2006). Qualification of Higher Education in the national Qualification Framework. Vocational education: Research and reality.
Stufflebeam, Daniel L. Chris L. S. Coryn. (2014). Evaluation, Theory, Models, and Aplications. New York: Josse-Bass.
Tilaar, H.A.R. and Riant Nugroho. (2008), Education Policy. Yogyakarta. Student Library.
Tilaar, H.A.R. (2005), the National Education Manifesto. Jakarta: Kompas.
Wahab, Abdul Solichin. (2008). Introduction to Policy Analysis. Malang: UMM Press.
Authority, Samodra. (1994), Public Policy. Jakarta: Intermedia.
Wholey, Joseph S. (2010). Handbook of Practical Program Evaluation. San Francisco: Jossey-Bass.
Widodo, Joko. (2006) Public Policy Analysis. Malang: Bayu Media.
Winarno, Budi. (2007), Public Policy: Theory, Process, Case. Jakarta: Center of Academic Publishing Serivice.
Opaque C. Van Der Wend. (2000) The Bologna Declaration: Transparency and Enhancing the Competitiveness of European Higher Education, Higher Education in Europe, XXV (3).
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/national-qualifications-framework.htmlKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TCflpB
Binsar Antoni Hutabarat
antonihutabarat@gmail.com
Abstract: The article entitled " EVALUATION OF INDONESIAN NATIONAL POLICY FRAMEWORK ON HIGHER EDUCATION" focuses on how the application of Indonesian National Qualifications Framework has been implemented in college. So far there has been no evaluation of policy implementation research related to this research. This study was conducted at three universities in Jakarta and Tangerang. Data were collected through interviews, observation given questionnaire and documents, as well as a variety of sources. The results of this study indicate that the implementation of policies Indonesian National Qualifications Framework influenced by policy formulation components, characteristics Implementing, Managing Attitudes, Activities components, that have a linear relationship to the results of policy implementation. Policy objectives to improve the quality of Indonesian workers by improving the quality of college graduates has not been in line with expectations.
Keywords, Public policy, policy evaluation, Indonesian national qualifications framework.
INTRODUCTION
Indonesia is currently facing global competition in the field of higher education in line with the passing of globalization in all areas of life. Higher education in Indonesia entered a new decade after the Indonesian government ratified several treaties and global commitments. In the context of ASEAN, beginning on December 31, 2015 is the era of the beginning of the Era of the ASEAN Economic Community (AEC), from 1 January 2016, not only goods can move freely between all 10 ASEAN member countries, but also of labor, among others, nurses, architects , doctors and accountants (Sailah, 2014)
Conditions of global competition in the area of special education by the Ministry of Education responded by launching a study as outlined in the booklet on Indonesian National Qualifications Framework (KKNI) which contains about the implications and implementation strategy KKNI (2010/2011), to answer the challenges of education in the global era , which was then poured in Presidential Decree (Presidential Decree) No. 8 of the National Qualifications Framework Indonesia (KKNI) in 2012. The application of the policy implementation guideline KKNI showcased in the Regulation of the Minister of Education and Culture, number 73 in 2013.
The research focus is on how the application of KKNI been implemented in college, and whether implementation in accordance with the objectives and targets set. For more operational focus is lowered in some problem questions: 1. Are the structure and policy formulation is an alternative KKNI proper policy for universities in Indonesia in facing today's global challenges. 2. Is the application of KKNI policy can be implemented by universities in Indonesia are very diverse? 3. Is government intervention in higher education through the implementation of policies KKNI successfully improve the quality of higher education in Indonesia?
The term "public policy" as used in this study is a decision made by the government as a strategy to realize the goal of a country (Tilaar and Nugroho, 2009). According to Thomas R. Dye, the Center for public policy attention not only on what government does but including also whatever is not done by the government (Dye, 1978, Wahab, 2008).
Model of public policy has a lot of models, depending on the power system (Dunn, 2003). In general, models of public policy that can be divided into two typologies of models, namely process model (based on the stage of policy making), and the model of power (power), which is making policy decisions shaped and determined by the structure of power (Parsons, 2006).
The Model implementation of public policy. divided three models, namely the rational model of top-down (top down), the rational model of bottom-up (bottom-up) and the model theories synthesis (hybrid theories) (Parson, 2006). Top-down models emphasize mainly on the ability of decision makers to produce a firm policy purpose and the control of the implementation phase. bottom-up models are models who view the process as a negotiation and consensus formation (Frank, et al., 2015).
Study of policy evaluation is based on the understanding that the policy evaluation can be done at any stage of the policy Policy evaluation can be divided into the evaluation of policy formulation, evaluation of policy implementation, and evaluation of environmental policies, and to further evaluate the results or the impact of the implementation of a policy (Nugroho, 2006).
National qualifications framework is not only in Indonesia but also in many countries of the world. Qualification learning outcomes (learning outcomes) nationally and internationally this is what distinguishes the qualifications that ever existed (Chakroun, 2010). National qualifications framework is intended to provide guidelines to qualify educational levels are different and compared both nationally and internationally in a way that is possible. Thus, the national qualifications framework is an essential instrument for college (opaque, 2000). In general, the qualification framework can be defined as a systematic description of the qualifications of a system of education (Heron Gavin & Pam Green Lister, 2014). Following this approach, it is possible to claim that every country has a national qualifications framework (Spûdytë, et al., 2006).
Indonesian National Qualifications Framework (KKNI) stipulated in Presidential Regulation which refers to Government Regulation No. 31 of 2006 and has the same purpose as a framework. Government Regulation No. 31 of 2006 Section 1 explains, "National Qualifications Framework Indonesia hereinafter abbreviated KKNI, is the framework competence and qualifications to pair, equalizes and integrate the field of education and the field of vocational training and work experience in order to award the recognition of the competence of work in accordance with the structure of employment in the various sectors.
To evaluate the factors affecting the performance of policy implementation KKNI this study using CIPP Evaluation Model (Context Input Process Product) (Stutfflebeam, 2014). Stufflebeam is a very influential to promote the concept of this evaluation. Among these four components, the element of "context" focuses on the question, What is the purpose of the program? Is that program objectives reflect the needs of the participants, in this case, the college targeted implementation policies KKNI (Frank Fisher et al., 2015).
Research requires policy evaluation criteria, or definition of a state to be achieved regarding something that was planned. The smaller the gap (gap) between the results of the implementation of the evaluation criteria, it can be an indicator of the success of a policy. The evaluation criteria in this article refer to the Minister of Education and Culture No. 73 The year 2013 concerning the implementation of education KKNI High.
RESEARCH METHODS
The method used in this study is a qualitative research method. The qualitative methods used by the reason for the problems of research needs to be dug to gain a deeper understanding (Cresswell, 2012). Furthermore, Creswell explained: This exploration is needed, in turn, because of a need to study a group of the population, identify variables that can then be measured, or hear voices silenced. "(Creswell, 2007: 39-40).
Qualitative data can be in the form of a document or record of interview, observation records, the results of the questionnaire, the results of photos, videos, email and the results of the meeting with the respondent (Patricia J. Rogers, Delwyn Goodrick, Qualitative Data Analysis, in the Joseph S. Wholey, et.al ., 429).
Qualitative data allows readers gain an understanding that goes beyond numbers and statistical inference (Wholey, et al, 429). Qualitative data collection techniques are done by using natural conditions, the primary data source, and observation, interview, and documentation (M Djunaidi Ghony and Fauzan Almanshur, 2012). Data collection techniques used in this evaluation study were interviews (interview) to know things deeper than respondents (Sugiyono, 2012). The technique used is not structured interviews to obtain in-depth information (Sugiyono, 2012).
Qualitative data analysis techniques typically follow the steps of collecting the data collected into the categories of information compiled (John W. Cresswell and Vicki L. Plano Clark, 2007). Qualitative data collection techniques using triangulation techniques means that data collection is done continuously until getting data saturation (Sugiyono, 2012).
Furthermore, techniques for qualitative data analysis was conducted by compiling data collected through interviews, field notes, and other materials are systematically so that the findings can be material information. Data analysis was performed with data in the form of organizing that information, translate it into units to synthesize, then arrange in a pattern, choosing important to be learned, and then made a conclusion (Sugiyono, 2012).
RESULT AND DISCUSSION
Structural Evaluation and Policy Formulation KKNI
Presidential Decree No. 8 of 2012 on KKNI is set to implement Government Regulation No. 32 of 2006 on System Job Training National, then the model of policy formulation KKNI in the regulation of the President can be grouped into incremental model, the model of policy formulation see public policy is essential to a continuation of the activities that have been undertaken by the government in the past. So the incremental model only policy resulted in the formulation of policy such changes are necessary (Wahab, 2008). This incremental policy weakness evident from the reasons underlying the use of this model, such as policymakers do not have the time, intellect and adequate costs for research on values that are the foundation for policy formulation (Authority, 1994).
Based on the results of the study found that there are variations in the understanding of the policy lecturer KKNI. There are professors who revealed that the policy content KKNI it is still something foreign policy determination KKNI although it has lasted a long time, ie since 2012. This shows the socialization of KKNI have not managed to unify understanding of the implementers of the structure, contents, foundation and benefits of policy implementation KKNI.
Evaluation of Environmental Policy Implementation
College as an implementer of policy application KKNI have different characteristics, because of the different colleges are implementing policies KKNI application in different ways dependent on the input provided.
external environment policy in Indonesian universities associated with the global era explained that universities in Indonesia are facing challenges that are not easy to survive in global competition. The era of openness it for quality higher education can use it to establish cooperation with universities abroad to improve the quality of higher education. However, the condition of the global competition as well as being a threat to the quality of higher education is low, and in general, the quality of education in Indonesia is still low seen from the level of accreditation institute mostly college-accredited C and has not been accredited.
Viewing Events college education is facing the threat of the global era, the policy should KKNI can be an alternative education policy to address the threat of global era. However, the findings of the data states have not yet all agree that higher education KKNI policy implementation in accordance with the goals and objectives of higher education.
KKNI Implementation Evaluation in Higher Education
Results KKNI policy implementation in higher education does not meet the expectations set. KKNI, the maximal application of this policy just as the Parsons, a policy judged in terms of its policy-makers rather than in terms of the implementation of the local and national policy makers (Parsons, 2006). KKNI policy implementation is underlying the formulation and implementation of policies, such as what is said Parsons, citing the works of Rousseau's Emile, everything is good if it is directed into the hands of the creator. Everything bad in the human hand (Parson, 2006). That is, the application of KKNI rely on government control, as appropriate, top-down models. Where implementation of a policy started with the decision made the central government. Top-down models show that this study is based on a "black box model" policy process that is inspired by the analysis system (Parsons, 200).
Without implementation, the policies just a dream or plan stored in the archive (Institute of Public Administration, 2008). Based on the above conditions in accordance with the findings of the data, at the time of application KKNI has not been accompanied by sanctions, not all colleges have committed to implementing KKNI, at least it looks from the unavailability of the products expected from the results of applying policy KKNI, let alone policy objectives KKNI itself is not considered the goal of higher education.
Performance KKNI implementation of the application based on the findings of research influenced the important factors that affect the application of KKNI in college that are not available with sufficient and consistent. Still, the professors who do not understand the policy KKNI and their variations KKNI understanding of the policy proves that the lack of understanding of KKNI policies, objectives, and benefits KKNI policy implementation, the reality according to data findings affect the commitment of lecturers and universities to implement KKNI. Factors government communications and colleges that are not yet well enough.
Evaluation of Policy Implementation KKNI
KKNI assess the implementation of policy implementation, in this case, means assessing the results of policy implementation KKNI. Based on data from interviews and questionnaires it appears that the level of achievement of the objectives and implementation of policy objectives in the college KKNI not been in line with expectations. KKNI implementation of policies based on data from a recent interview in accordance with the expectations of KKNI policy goals and objectives, namely to improve the quality of university outcomes and outputs universities closer to the world of work. Based on data from interviews found that improved product quality college curriculum has not been as expected, this happens because of the competence of lecturers not support the implementation of the policy on the application KKNI. Likewise, the attitude of the implementing influenced by the competence of lecturers and other resources, consequently, the resulting output is not as expected. Findings curriculum refers to data on products KKNI not all professors agree that the application KKNI meets expectations as a benchmark qualification to equalize college graduates with the world of work. Factors that are needed to be able to make formal and informal education equivalency was not provided with sufficient. So the resulting product does not comply with the expected input.
See cooperation among the implementing agencies that have not been in line with expectations, and not all courses have a similar association study program, by itself can not result in line with expectations. Report data on the understanding lecturers and universities to goals and objectives of the policy to improve the quality of human resources through graduate college where not all colleges meet the criteria of competence in accordance with the result, objectives, and goals of policy application KKNI not been in line with expectations.
KKNI Policy Is Elite Products
KKNI policy formulation following the mixed model, ie, between the elite model, model of the rational and public model. Model more dominant elite than two other models. Thus it can be said that this policy "is an elite product, and can be said to reflect the values of the elite to strengthen the interests of the elite (Winarno, 2007).
Based on the process of its formulation, it can be seen that the KKNI policy is the result of interaction between state institutions, like the type of policy Continental. Unlike the Anglo-Saxon policy that understands public policy as a derivative of democratic politics, and sees public policy as an interaction between the people of the state or public (Nugroho, 2009). Thus it can be understood that the model of policy formulation KKNI elitist, incremental this, not in accordance with the constitution of this country that sets Indonesia as a democracy. It should be a model formulation of education a democratic country like Indonesia adopted a model of democratic public policy. KKNI elitist policy formulation is less attention that a policy is regarded by the government, may not be good for colleges and universities. The success of the actual policy is closely linked with the right policy strategy, which could accommodate various views and interests are diverse (Abidin, 2016).
Rationally, it is difficult to understand how the government could find it out, that the best solution to make universities more quality there is in the bureaucracy, but the actor's high education indeed more understanding about how to make universities can produce outputs universities qualified to improve the quality Indonesian human resources. That is why the Government Regulation No. 4 of 2014 on the Implementation of Higher Education and Management of Higher Education article 22 paragraph 1 stipulate that universities have the autonomy to manage their own institution as a central for Tridharma College.
Autonomous management of universities includes academic autonomy, namely in terms of setting norms and operational policies and the implementation of the three responsibilities of Higher Education. Education, Research, and Community Services. Based on Government Regulation regarding the autonomy of universities is clear, that the Presidential Decree on KKNI policy contrary to the autonomy of universities.
KKNI application policy has caused controversy. One of the reasons of those who opposed the policy on the application KKNI that aims to integrate outcomes of higher education and the world of work are the concerns as it says Tilaar, higher education will lose its moral strength because its function is mainly to meet the needs of labor and industrial development solely (Tilaar, 2005). Controversy about it looks at the use of the term "competence". On the job training system used the term, job competence, and competence of the word is also used for the competence of graduates. That, job competence, in contrast to "the ability of graduates", the ability of graduates is not appropriate to use the competence of graduates, as part of the competency is the ability of graduates. Use of the term "graduate's ability" to replace "the competence of graduates" for higher education outcomes seems as a clarification of the meaning of work competency controversy. The term "graduate competence" gave birth to the view that the vision, the mission of educational institutions in the reduction only to be suppliers of labor. Higher education is used as an arena development of attitudes competing for the demand of the industry. Motif competition into the motor to improve the quality with little consideration for moral considerations. That is why there is no correlation between the output of higher education with moral improvement in society. The greater the output of higher education, but the greater corruption and nepotism (Tilaar, 2005).
KKNI policy formulation should be easily understood by higher education if its formulation involves universities (public choice model), and before the formulation was determined, to the formulation of policies KKNI socialization has been done on each college with adequate time allocation. The government should allow universities provide revisions to this policy can be implemented KKNI in college, because the issue of the management of higher education, who understand are the actors who are in college. It is due to the autonomy of universities have also been set out in the government's policy on the management of higher education. Therefore in terms of application KKNI college more appropriate way is the top model of the bottom (bottom-up), the government's role is to facilitate the needs of higher education in terms of the application KKNI. The top-down approach means that the government provides wider opportunities for universities apply KKNI (Frank, et al., 2015).
Contents President regulation No. 8 of 2012 on KKNI, just load things are a little different with the provisions KKNI in Government Regulation No. 31 The year 2006 concerning the National Employment System. The main difference is simply, if the rules of national employment system KKNI set as the qualification for graduates of vocational training, then in Presidential Decree KKNI include competence and qualifications of graduates for all types of education, either vocational training (non-formal education), formal education and informal education.
To align with Government Regulation No. 4 of 2014 on the Implementation of Higher Education and Management of Higher Education is specifically related to university autonomy, the application KKNI in college rather in the form of the guidelines, in which the application is given a wider opportunity at college.
CONCLUSION
Policy formulation KKNI incremental and elitist yet successfully socialized at all college lecturers and managers. Not to all the lecturers understand well the contents, foundation, benefits, goals, and objectives KKNI policy.
KKNI implementation of policies in universities to improve the quality of human resources through college graduates have not been in line with expectations due to due to unavailability of human resources, and access to information. Another influence is the lack of cooperation institution for KKNI implementation, as well as cooperation between other agencies that have an influence on improving the quality of higher education. This is partly because KKNI policy contrary to the autonomy of universities.
Conditions universities in Indonesia are diverse, and the unavailability of the factors affecting the resources needed executor attitude which ultimately affects the results of applying KKNI in college. Plus, KKNI policy has not been attentive to the needs of universities in Indonesia who are facing the threat of global competition in the field of higher education.
The application of KKNI in universities is mainly influenced by factors such as KKNI policy formulation that is not well understood by all universities, and it is proven by the variation of understanding about KKNI. Other factors are related to human resources, funds and access to information. Characteristics of higher education in Indonesia are generally still low, measured by accreditation levels of institutions that are generally accredited C and have not been accredited affect the commitment of implementers to implement the policy of KKNI in universities.
The performance of the university's KKNI policy is also influenced by the cooperation between implementing agencies that have not met expectations. It can be supported by the data that the elitist KKNI policy in its formulation is less involving university, it is seen from the failure of socialization of KKNI where not all lecturers understand well the content of KKNI policy.
RECOMMENDATION
The policy of KKNI in universities is recommended to continue with the improvement. The socialization of KKNi policy needs to be improved to gain a common understanding of the structure and formulation of KKNI's policies. References KKNI as a qualification college graduate should remain open to the development of science, and equalization between the world of work and the world of education and submitted to universities with autonomy.Implementation KKNI in college recommended proceeding with the repair, based on the autonomy of universities. Therefore the application of KKNI on high education should still appreciate the Vision, Mission college is not only a supplier of labor. Reference KKNI as qualified college graduates should remain open to the development of science, and equality between the world of work and the world of education submitted to the college to its autonomy, to then provide the important factors that affect the performance of the application KKNI in college. Determination KKNI application deadline need not enforced, and the government should put as a facilitator by providing access to information is consistent both at the college and the college graduates.
BIBLIOGRAPHY
Abidin, Said Zainal. (2016), Public Policy. Jakarta: Salemba Humanika.
Chakroun, Borhene. (2010), National Qualification Frameworks: from policy to policy learning borrowing. European Journal of Education, 45 (2).
Creswell, John W., Vicki L. Plano Calrk. (207), London: Sage Publications.
Creswell, John W. (2012), Educational Research, Boston: Pearson.
Creswell, John W. (2007), qualitative Inquiry and Research Design, London: Sage Publications.
Dunn, William N. (2013) Introduction to Public Policy Analysis. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Dye, Thomas R. Understanding Public Policy. (1978). Florida: Euglewood Cliffs.
Frank Fisher, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney. (2015) Handbook of Public Policy Analysis. Imam translator Baihaqie, Bandung: The Nusa Media.
Ghony, M Djunaidi and Fauzan Almanshur. Qualitative Research Methodology. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Heron, Gavin, and Pam Green Lister. (2014), Influence of National Qualifications Frameworks in conceptualising Feedback to Students, Social Work Education, 33 (4).
Institute of Public Administration. (2008), Public Policy Analysis. Jakarta.
Marliyah, Lili. (2015), National Qualifications Framework Policy Analysis Indonesia (KKNI). Pawayitan Scientific Magazine, 22 (1).
Opaque C. Van Der Wend. (2000) The Bologna Declaration: Transparency and Enhancing the Competitiveness of European Higher Education, Higher Education in Europe, XXV (3).
Nugroho, Riant. (2006), Public Policy. Jakarta: PT Gramedia.
Nugroho, Riant. (2009), Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Parsons, Wayne. (2006). Public Policy. Jakarta: Kencana.
Sailah, Illah.dkk, (2014). Handbook of Higher Education Curriculum. Jakarta: Ministry of Education and Culture.
Spûdytë, Irma. Saulius Vengris, Mindaugas Misiûnas. (2006). Qualification of Higher Education in the national Qualification Framework. Vocational education: Research and reality.
Stufflebeam, Daniel L. Chris L. S. Coryn. (2014). Evaluation, Theory, Models, and Aplications. New York: Josse-Bass.
Tilaar, H.A.R. and Riant Nugroho. (2008), Education Policy. Yogyakarta. Student Library.
Tilaar, H.A.R. (2005), the National Education Manifesto. Jakarta: Kompas.
Wahab, Abdul Solichin. (2008). Introduction to Policy Analysis. Malang: UMM Press.
Authority, Samodra. (1994), Public Policy. Jakarta: Intermedia.
Wholey, Joseph S. (2010). Handbook of Practical Program Evaluation. San Francisco: Jossey-Bass.
Widodo, Joko. (2006) Public Policy Analysis. Malang: Bayu Media.
Winarno, Budi. (2007), Public Policy: Theory, Process, Case. Jakarta: Center of Academic Publishing Serivice.
Opaque C. Van Der Wend. (2000) The Bologna Declaration: Transparency and Enhancing the Competitiveness of European Higher Education, Higher Education in Europe, XXV (3).
https://www.binsarinstitute.id/2024/09/national-qualifications-framework.htmlKarya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia
http://dlvr.it/TCflpB
Subscribe to:
Posts (Atom)
Binsar Antoni Hutabarat: Kebohongan Sekte Setan!
Binsar Antoni Hutabarat: Kebohongan Sekte Setan! : Kebohongan Satanic atau Sekte Setan! Informasi terkair beredarnya kitab satanic yan...
-
https://www.binsarhutabarat.com/2023/02/beda-dosen-home-base-dan-dosen-tetap.html Salah satu persoalan yang menyebabkan beberapa Pen...
-
https://bit.ly/3cDiTW5 ALUR PENELITIAN PERMASALAHAN----------------------------------- TEORI PENDUKUNG ...
-
http://dlvr.it/T2bHx8Karya Tulis Ilmiah, Jurnal Akademik, Kurikulum, Evaluasi Pendidikan, Hubungan Agama dan Masyarakat, Hak Asasi Manusia ...